Tiba-tiba wanita itu meletakkan buku nikahku ke atas meja, lalu ia mendekap tubuh ini dengan erat. Tubuhnya bergetar akibat isak tangis. Kini ia tenggelam dalam pelukanku.
Seketika itu, rasa iba menyelinap ke relung hatiku. Tak tega rasanya membiarkan wanita cantik itu terus menangis.
Aku menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut. Mencoba untuk menenangkannya.
Perlahan Lina melepaskan pelukan. Matanya telah membengkak nanar menatapku. Aku membalas tatapan mata itu.
"Sebagai sesama wanita, Mbak Lina tentunya dapat mengerti apa maksudku. Sebelum semua ini berlanjut lebih jauh lagi," ucapku penuh keseriusan.
Aku sudah berada di atas angin, kemenangan sebentar lagi aku dapatkan. Rasanya sudah tak sabar lagi ingin mendengar pengakuan kekalahannya.
"Maafkan aku, Bu Rindu." Tangisnya terus berlangsung.
Aku sudah dapat melengkungkan garis bibir, mengembangkan senyum kepuasan.
Tiba-tiba wanita itu kembali memelukku. Kali ini dekapannya sa
Nyali Mas Dimas semakin ciut. Mulutnya terkunci, ia tak dapat menjawab pertanyaanku."Jawab! Mas," pekikku sekali lagi. Kadar emosiku terus bertambah. Entah bagaimana ekspresiku saat ini. Yang jelas, gertakan itu berhasil mendominasi keadaan.Mas Dimas membuang tatapan mataku. Ia beringsut menuju kursi. Sepertinya lelaki itu telah sadar kalau aku baru saja membuka semua tabir rahasia besarnya.
Pak Arif menekan saklar lampu yang berada di dinding ruang tamu rumahnya. “Silahkan duduk dulu, Bu,” ujar lelaki itu sembari tersenyum.Aku dan Indah menuruti permintaan Pak Arif. Kami berdua duduk di sofa empuk berwarna abu muda yang memiliki sandaran agak rendah.Setelah duduk, aku mulai mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu rumah Pak Arif. Nampak tata letak dan dekorasinya cukup apik. Di dindingnya menempel sebuah lukisan abstrak yang didominasi warna hitam dan merah. Pas betul dengan paduan warna cat interior bernuansa putih lembut. Ternyata bagus juga selera lelaki yang masih betah menjomblo itu.Pak Arif menuju kamar yang berada di ruang tengah rumahnya. Sepertinya ada dua kamar yang saling berdempetan di sana.“Bu, aku nggak mau pulang ke rumah lagi,” cetus Indah memecah keheningan ruang tamu
Mendengar suara membentak dari seseorang yang berada di ruang depan, nyali Indah ciut. Ia mendempetkan tubuhnya padaku. Tangannya mencengkeram erat ke lenganku.“Sabar dulu, Pak RT. Dia itu sodaraku. Dia hanya numpang menginap di rumahku satu malam ini saja. Besok pagi langsung berangkat ke Palembang. Lagian kami tidak hanya berdua, ada ponakanku juga,” terang Pak Arif panjang lebar.Lelaki itu mencoba membela dirinya. Ia tak ingin ada fitnah atas kehadiranku ke rumahnya malam ini."Bohong!" teriak beberapa orang hampir berbarengan. Sepertinya Pak RT tak sendirian. Kalau dari suaranya, tak kurang tujuh sampai delapan orang yang berada di depan sana."Kita usir saja wanita yang Pak Arif bawa tadi, Pak!" ujar seseorang dengan suara meninggi. Kayaknya orang itu provokatornya.Genggaman tangan
Aku malu bukan kepalang. Mukaku terasa merah menyalah. Kentut berirama panjang yang baru saja aku keluarkan, tentunya terdenger jelas dari arah Pak Arif berdiri sekarang.Aku membuang tatapanku, tak kuasa membendung rasa yang sangat tak enak untuk diungkapkan itu.Mataku beralih mentap wajah Indah, anak kecil itu nampak menahan tawanya sembari menutup mulut dengan telapak tangan. Sungguh, aku telah berhasil mempermalukan diriku sendiri dihadapan mereka.“Aku nggak dengar kok,” ujar Pak Arif pura-pura. Aku tahu kalau lelaki itu sedang meledekku. Ia berlalu menuju dinspenser yang berada di sebelah meja kompor.Glek! Glek! Glek!Lelaki itu meneguk segelas air putih itu hingga tak bersisa di gelas beningnya. “Aku duluan ya, udah nggak tahan mau buang air,” terang lelaki itu sambil
Tiada terasa kami telah sampai di tepi kota Palembang. Semakin mendekati pusat kota, jalan semakin padat. Hingar-bingar kesibukan pengguna jalan lengkap dengan panasnya mentari yang memanggang.“Kita nanti nginap dimana, Bu?” tanya Pak Arif sembari melirikku.“Acaranya di gedung dekat PS Mall, Pak. Panitia sudah menyiapkan hotel di dekat sana. Siang ini kita harus melakukan registrasi dulu untuk Indah. Ini alamatnya, Pak,” terangku sambil memperlihatkan alamat yang barusan kusebut itu melalui layar ponselku.“Oke, kita langsung ke sana ya,” ujar Pak Arif sambil mengangguk paham.Aku membalikkan badanku, melirik ke arah belakang. Nampak Indah masih pulas dalam tidurnya. Ia duduk bersandar di kursi mobil.Sebenarnya aku sedikit cemas, karena baru pertama kali mendampi
Beruntung kami masih mendapatkan meja. Karena biasanya sangat susah kalau tidak memesan terlebih dulu. Mungkin karena hari ini hari biasa, kalau week end sudah pasti kami tak kebagian tempat.Kami duduk di sana, lalu seorang pelayan mengenakan seragam sembari membawa kertas lengkap dengan pena, sudah berdiri menunggu untuk mencatat semua menu yang akan dipesan."Indah mau makan apa?" tanyaku membuat bocah itu menghentikan pandangannya ke arah jembatan Ampera."Nih silahkan pesan, Pak Arif juga." Aku menyodorkan buku menu yang tadi tergeletak di atas meja. Pak Arif dan Indah mulai membuka halaman buku menu makanan itu. Membaca-baca satu demi satu."Aku mau kepiting saus tiram, minumnya jus mangga aja," ucap Indah sembari menatap pelayan tadi.Pak Arif nampaknya masih bingung dengan pilihannya. Beberapa
Aku menatap wajah Indah secara seksama. Pertanyaan yang baru saja keluar dari mulutnya itu berhasil mengusikku."Indah, suatu saat kamu bakal tau sendiri kenapa ibu bercerai. Saat ini ibu belum bisa menceritakannya."Mendengar penjelasan dariku, Indah nampak tak puas. Mukanya sedikit ditekuk, lalu ia berbaring lagi di atas kasurnya.Kembali aku merasa ada sesuatu yang aneh dalam perutku. Aku menghambur ke arah toilet yang ada di dalam kamar hotel kami.Uwek! Uwek!Rasa mual itu memaksaku untuk memuntahkan sesuatu, tapi tak ada yang keluar dari mulutku. Aku jongkok di pintu toilet itu dengan posisi tubuh condong ke arah dalamnya.Aku mendorong sekali lagi, tetap saja tak berhasil.Indah bergegas mendekati kemudian memijat-mijat belakang le
"Iya halo," jawabku gugup."Siapa?" tanya lelaki itu dengan suara agak besar. Aku menjauhkan ponselku dari telinga."Ini Rindu," kataku menjawab pertanyaannya."Rindu? Namamu Rindu?"Aku mulai curiga, sepertinya aku salah orang. Kalau dia benar papaku, mana mungkin lelaki itu bertanya demikian.Kulihat layar ponselku. Nama kontak yang kutulis papa itu terlihat jelas. Tak salah. Atau bapak yang tadi salah kasih lihat nomor."Hei! Kok diam?" cetusnya lagi."Maaf, kalau boleh tau, anda siapa?""Loh, situ yang nelpon. Kok saya yang ditanya," sindir lelaki itu dengan nada sewot.Aku mulai kesal, sudah bisa dipastikan kalau aku telah salah orang."Ha