POV Silvi. Perhatian Devan begitu lembut dan hangat. Namun, tak sedikitpun membuat hatiku iba dan mau menerima dia begitu saja. "Silvi, kau jangan bicara seperti itu! Kau tahu, aku tak mau kehilanganmu, karena aku sangat mencintai dan menginginkanmu. Dua hari lagi hari pernikahan kita akan dilaksanakan, kuharap kau bersiap menerima segala kekurangan dan memaafkan segala dosa yang pernah kubuat. Aku akan mengikat janji suci didepan penghulu, kau akan menjadi permaisuri dalam hidupku untuk selamanya," ucap Devan sungguh-sungguh, tak ada kebohongan dari sorot matanya bahwa yang diucapkannya itu benar, kalau dia memang mencintaiku. "Kalau soal itu, aku pasti menepatinya. Aku akan menikah denganmu, demi anak ini. Tapi, aku tak bisa janji untuk menerimamu didalam hatiku." Aku menengadah seraya mengusap air mata yang tak kuminta untuk keluar. Ingatanku terpusat pada Mas Alex yang begitu baik. Hatiku sungguh pedih dengan kenyataan ini. Bagaimana hati ini tidak merasa pedih dan sakit? Yan
POV Devan.Harapan untuk membina rumah tangga dan membesarkan anakku bersama Silvi wanita yang begitu aku cintai, meskipun ia tak mencintaiku sama sekali. Namun, aku tak peduli dengan rasa ia terhadapku, semoga saja tak ada hambatan untuk dua hari kedepan sampai hari pernikahan kami tiba.__Siang ini kami ada janji dengan dokter kandungan untuk memeriksakan kehamilan Silvi. Tak sabar ingin melihat calon buah hati kami, ya, bisa dikatakan buah hatiku, karena Silvi tak begitu menginginkannya."Bayinya sehat, pergerakannya juga mulai aktif. Denyut jantungnya juga normal, berat dan ukuran sesuai dengan usia janinnya," kata sang dokter menjelaskan sambil terus menggerakkan alat transducer di atas permukaan perut Silvi yang sedikit membuncit. Mataku nggan tuk berkedip menatap takjub ke layar monitor berwarna hitam dan putih yang bergerak-gerak."Anakku," kata Silvi lirih. Namun, masih bisa kudengar tatapan terfokus pada layar tersebut memperlihatkan pergerakan bayi yang kini masih bersemay
POV Silvi.Rasa bahagia menggelenyar dalam lubuk hatiku. Ya, awalnya, diri ini tak sama sekali menginginkan anak yang ada dalam kandunganku. Namun, setelah melihatnya tadi saat pemeriksaan ultrasonografi aku merasa terharu. Dulu, berbagai cara aku lakukan, untuk melenyapkan makhluk kecil yang bersemayam dalam rahimku, tapi usahaku selalu gagal. Dan, beberapa bulan lagi dia akan segera lahir ke dunia ini, aku akan menjadi seorang ibu."Nak, maafkan mama ya, mama pernah menginginkan kau tiada. Mama begitu kejam padamu." Kutatap perutku yang agak membuncit, ada pergerakan di dalam sana seolah anak itu tahu apa yang sedang aku katakan."Mama janji, mama akan mencintaimu. Memberikan seluruh kasih sayang untukmu, Nak."Air mataku meleleh. Andai semua ini bukan perbuatan Devan dan aku memiliki keluarga kecil, betapa bahagianya aku.Setelah pulang dari rumah sakit, seharian aku berada di dalam kamar benar-benar merasa bosan tinggal di kamar sendirian. Bukannya aku sombong dan tak ingin berbau
Tak ingin menanggapi ucapan Devan, yang selalu mengarah kedalam hubungan intim, aku menarik tangan dari genggamannya, berlalu meninggalkan dia yang masih berdiri di balkon, menuruni anak tangga menuju ruang makan karena perut mulai berbunyi minta diisi. "Selamat malam, Non." Bi Rika menyambutku, menggeser kursi untukku duduk, dia menyiapkan piring dan mengisi makan, semuanya nampak enak dan bergizi. Tentunya, Devan ingin yang terbaik untukku dan calon bayinya, seperti Mas Alex, dulu sewaktu aku tinggal bersamanya, dia selalu memberikan asupan makanan yang bergizi setiap hari, dia sering berkata sambil mengelus perutku. "Baby, kamu jangan nakal, ya! Mama jangan dibuat mual lagi, kasihan." Mas Alex memperhatikan perut buncitku sambil terus mengusapnya naik turun, "Semalam, baru saja mamamu bisa makan enak sudah di keluarkan lagi. Baby, kamu sedang apa, sayang? Pasti sedang bobo," ucapnya kala itu, wajahnya nampak bahagia seperti seorang ayah yang mencintai calon buah hatinya. "Papa
"Silvi ... akhirnya kamu pulang juga Nak, setelah sekian lama, kamu baru kembali, ibu merindukan mu, apa kamu baik-baik saja?" ucap ibu menangkup kedua belah pipiku, matanya berbinar saat menatapku. Aku baru sampai ke kampung halaman langsung disambut hangat, oleh perempuan berbalut daster batik setengah betis lengan sesikut, dengan kerudung bergo hitam penutup kepalanya. Lima bulan aku baru menyambangi rumah ibu, tanpa kabar dan berita. Aku tinggal bersama Mas Alex, pria yang baik dan sangat menghargai seorang wanita, di kota yang jauh dari jangkauan Devan, si bajingan yang telah merenggut kesucianku. "Baik Bu, aku sehat-sehat saja, lalu bagaimana dengan Ibu?" balasku, balik bertanya seraya memegang bahu Ibu lalu kupeluk ia dengan erat. Air mataku tumpah meluapkan rasa rindu karena bisa bertemu ibu lagi, juga luapan rasa sedih karena aku sedang mengandung anak Devan tanpa ibu
"Ya Tuhan ... ibu sampai lupa, saking asiknya ngobrol, kita masuk yuk! Gak bagus lho, lama-lama ngobrol di luar! Gak enak juga dilihat sama tetangga. Sebaiknya kita bicaranya didalam, sambil minum teh. Kalian pasti lelah, ibu akan buatkan makanan untuk kalian!" seru ibu. "Iya, mas. Kita masuk yuk! Aku capek," timpalku seraya memijat tengkuk yang terasa berat, dan pinggangku mulai pegal, ditambah perutku bagian bawah yang terasa kram. "Ayo!" jawab Mas Alex sembari mengusap bahuku. "Ibu duluan, ya," ujar ibu membalikan badannya lalu melangkah menuju pintu masuk. "Iya Bu, nanti kami nyusul," sahut ku. Aku beralih menatap Mas Alex yang berdiri di sampingku. "Ayo Mas, kita masuk!" ajakku pada Mas Alex, dia menoleh seraya mengrlingkan matanya, dan seulas senyuman ia tampilkan, kedua alis tebalnya terangkat, membuat pesonanya kian terpancar.
"Maaf Mas, bukannya aku menolak maksud baik mu, tapi, aku bukanlah perempuan yang cocok untukmu." Mas Alex meraih dan menggenggam tanganku. Dia menatap mataku begitu dalam, tatapannya begitu tajam laksana pedang menusuk kalbu. "Dengarkan Mas, Silvi! Mas mencintai kamu," ucapnya dengan nada rendah nan lembut. Kutarik tangan dari genggamannya, dan kulipat dipangkuan. Ada rasa tak nyaman saat dia menatapku, aku sadar diri, aku ini wanita buruk dan kotor, aku bukan perempuan yang tepat untuknya. "Tapi, Mas, kamu tahu kan. Aku ini perempuan seperti apa? Bahkan aku kini sedang mengandung anak dari pria lain," "Mas gak peduli, status kamu! Mas sangat mencintai kamu," "Jangan memaksa Mas! Aku gak mau membuat kamu menjadi anak durhaka, hanya demi aku, yang tak berharga ini," jawabku seraya menundukkan kepala. "Mas, akan bicara
"Gak, Bu. Aku gak nangis, tadi kelilipan, makanya ke luar air mata dan sembab," ucapku bohong. Ibu menarik napas perlahan, apa mungkin ibu tahu aku ini berbohong, dan ia bertanya-tanya kenapa aku menangis. "Ya, sudah. Dimakan dulu gih! Untuk mengganjal perut, sambil menunggu makan siangnya siap!" seru ibu menyodorkan piring ke hadapan Mas Alex. "Terima kasih Bu, gak usah repot-repot," jawab Mas Alex, mengangguk sembari mengulas senyuman. "Oh, iya Nak Alex, sudah lama kenal Silvi?" tanya Ibu menoleh ke arah Mas Alex yang duduk di seberangku. "Selama. Silvi di sana aja Bu, ya ... Sekitar lima bulanan, lah," jawabnya santai sembari mengambil pisang goreng. "Sering ketemu Silvi, di sana?" Ibu menatap serius pada pria berjaket kulit hitam dan celana jeans biru Dongker. "Sering Bu, kebetulan tempat kerja Silvi tak jauh dari tempat kerja saya, jadin