"Ya Tuhan ... ibu sampai lupa, saking asiknya ngobrol, kita masuk yuk! Gak bagus lho, lama-lama ngobrol di luar! Gak enak juga dilihat sama tetangga. Sebaiknya kita bicaranya didalam, sambil minum teh. Kalian pasti lelah, ibu akan buatkan makanan untuk kalian!" seru ibu.
"Iya, mas. Kita masuk yuk! Aku capek," timpalku seraya memijat tengkuk yang terasa berat, dan pinggangku mulai pegal, ditambah perutku bagian bawah yang terasa kram.
"Ayo!" jawab Mas Alex sembari mengusap bahuku.
"Ibu duluan, ya," ujar ibu membalikan badannya lalu melangkah menuju pintu masuk.
"Iya Bu, nanti kami nyusul," sahut ku. Aku beralih menatap Mas Alex yang berdiri di sampingku.
"Ayo Mas, kita masuk!" ajakku pada Mas Alex, dia menoleh seraya mengrlingkan matanya, dan seulas senyuman ia tampilkan, kedua alis tebalnya terangkat, membuat pesonanya kian terpancar.
"Ish." Aku mendelik sok jaim.
"Apa?" bisiknya sembari menyenggol bahuku dengan bahunya.
"Au, ah," pungkas ku, dan beranjak meninggalkan Mas Alex yang masih berdiri kokoh di halaman rumah.
Aku pun mengikuti langkah ibu ke dalam, disusul Mas Alex dari belakang, kami berjalan beriringan.
Sesampainya di ambang pintu, aku mendongak menatap sekeliling isi rumah. Kini rumah ibu lumayan nyaman dan layak huni tak seperti beberapa bulan lalu sebelum aku ke kota, dan bertemu Devan. Pria yang sudah merusak hidupku dan kini aku mengandung benihnya.
Tapi beruntung Mas Alex orangnya baik, dan tak mempermasalahkan masa laluku yang kelam. Dia mau menerimaku dengan hati terbuka, meskipun aku sedang mengandung anak dari pria lain.
Mas Alex bersedia menampungku di rumahnya, dan aku tinggal bersama dia beberapa bulan terakhir ini, dia juga selalu siaga mengantarku untuk periksa kandungan, layaknya suami menjaga istrinya.
Dia begitu baik padaku. Namun, aku tidak enak karena terlalu banyak menerima kebaikan darinya. Aku juga tidak pantas untuk dia, dan aku juga tak mau memberi harapan lebih jauh padanya.
"Sil, rumahmu nyaman ya, adem tak seperti di kota. Mas mau tinggal di sini sama kamu,"
"Kumpul kebo dong, namanya," protesku sambil duduk di kursi ruang tamu, kursi kayu yang dulu usang kini telah diganti menjadi kursi tamu yang empuk.
"Enggaklah, kita kan, akan segera menikah. Mas gak sabar ingin menjadi ayah," ucap Mas Alex membuat hati ini terenyuh, sekaligus sedih. Bagaimana bisa orang baik seperti dia bersedia menerima diriku yang hina ini, dan menerima bayi yang bukan darah dagingnya.
"Kok diam?" tanya Mas Alex memegang pipiku dengan tatapan penuh tanya.
"Gak apa-apa Mas, aku hanya letih," sangkalku, tak ingin menunjukkan kesedihan padanya.
"Serius. Kamu gak mikirin yang macam-macam, kan? Jangan mikir terlalu jauh, percaya sama, Mas! Mas tidak akan pernah menyia-nyiakan kalian," ucap Mas Alex seraya mengusap air mataku, yang tak sengaja aku teteskan.
"Aku gak mikirin apa-apa, aku hanya khawatir, kalau ibu tahu tentang kehamilanku, ini,"
"Gak apa-apa, jika ibumu harus tahu. Karena Mas yang akan bertanggung jawab,"
"Tak usah repot-repot Mas! Aku gak mau membebani hidup kamu terus,"
"Kamu bukan beban bagi Mas, tapi bagian hidup Mas."
Aku hanya diam mendengar penuturan Mas Alex yang begitu yakin, tapi sungguh aku malu pada diriku sendiri, orang yang memakan nangkanya Mas Alex yang terkena getahnya.
Saat aku sedang menangis tiba-tiba ibu sudah ada dibelakangku, gegas kuseka air mata ini yang tak sengaja menetes.
"Eh, ibu," ucapku tanpa menoleh.
"Sil, nak Alex kok gak di kasih minum, sih ... dia pasti letih, juga haus," protes ibu sembari duduk di sampingku.
"Iya, Bu. Maaf Mas, aku lupa," ucapku.
"Tak apa, santai aja, lagian di sini juga cukup adem," ujar Mas Alex seraya menautkan kedua jemari.
"Ya sudah, ibu ke belakang lagi ya, kalian lanjutin ngobrol! Sementara ibu memasak buat kalian! Gak usah sungkan Nak Alex, anggap aja rumah sendiri," ujar Ibu, dan bangkit lalu melangkah menuju pintu penghubung ruang tengah. Namun, ibu menghentikan langkahnya dan kembali berbalik padaku.
"Sil, ambilkan minuman dingin, pilih aja sendiri, banyak varian rasanya kok, tuh di kulkas, biar segar!" seru ibu menunjuk ke arah ruangan samping rumah, yang dulu di pakai untuk kamar ku sekarang di rubah menjadi warung sembako dan sayuran.
Rumah ibu di lebarin kamarku di geser ke bekas kamar tengah, sementara kamar ibu bekas dapur, dan kamar Sandi juga Seno tetap di tempatnya, rumah ini lumayan luas tanah kosong samping rumah, tempatku menjemur pakaian kini dibangun untuk dapur dan kamar mandi.
Kini ibu merjemur baju menggunakan jemuran stainless steel, tidak repot seperti dahulu, memakai tambang dan tiang bambu, kehidupan kami memang berubah seratus delapan puluh derajat, semenjak aku kenal Devan.
Namun, timpal baliknya kini aku menanggung aib, di perutku tumbuh janin yang setiap bulannya kian membesar.
"Nak Alex, ibu kebelakang lagi, ya," sambung ibu sebelum meninggalkan kami.
Kami mengangguk seraya tersenyum, ibu berlalu menuju dapur, sepeninggalnya ibu, aku merasa canggung dengan tatapan Mas Alex.
"Mas, sebentar ya, aku mau ambil minum," ucapku sambil berdiri. Namun, dengan cepat tangan Mas Alex menarikku, membuat aku duduk kembali, "Mas, jangan begini! Malu,"
"Malu kenapa?"
"Mas, cuma masih ingin duduk bersamamu,"
"Tapi aku disuruh ibu ambilkan minuman dingin untukmu!"
"Nanti saja, Mas juga belum terlalu haus,"
"Kamu pasti capek, Mas saja yang ambilkan,"
"Tak usah Mas, aku terlalu merepotkanmu, kamu tamu di rumah ini, maka harus aku layani,"
"Tak masalah, Mas malah senang kok, melayani seorang putri seperti kamu, calon permaisuriku,"
"Terima kasih, ya Mas. Tapi, itu berlebihan," jawabku pada pria berjaket hitam dan celana jeans biru. Ia tak menjawab malah menatapku dengan waktu beberapa saat membuatku jengah.
"Ada apa sih Mas, kok lihatnya seperti itu?" tanya ku dengan wajah memberengut. Mas Alex tersenyum tipis.
"Memangnya, ada yang melarang? Wajahmu enak untuk dipandang gak bosenin! Lagian kamu adalah calon istri, Mas," jawab Mas Alex dengan santainya.
"Apaan kali." Aku memutar bola mata, sembari mencebik bibir.
"Ya, emang kamu cantik, Mas cinta sama kamu! Mas ingin segera melamar kamu."
Mendengar ucapan Mas Alex mataku mengembun, aku terharu mendengar ucapannya, tapi aku gak bisa menerima dia, Mas Alex terlalu sempurna untukku.
Dia bisa mendapatkan wanita yang lebih baik dari pada aku, aku hanya seorang pelacur, yang hina dan tak berharga.
"Maaf Mas, bukannya aku menolak maksud baik mu, tapi, aku bukanlah perempuan yang cocok untukmu." Mas Alex meraih dan menggenggam tanganku. Dia menatap mataku begitu dalam, tatapannya begitu tajam laksana pedang menusuk kalbu. "Dengarkan Mas, Silvi! Mas mencintai kamu," ucapnya dengan nada rendah nan lembut. Kutarik tangan dari genggamannya, dan kulipat dipangkuan. Ada rasa tak nyaman saat dia menatapku, aku sadar diri, aku ini wanita buruk dan kotor, aku bukan perempuan yang tepat untuknya. "Tapi, Mas, kamu tahu kan. Aku ini perempuan seperti apa? Bahkan aku kini sedang mengandung anak dari pria lain," "Mas gak peduli, status kamu! Mas sangat mencintai kamu," "Jangan memaksa Mas! Aku gak mau membuat kamu menjadi anak durhaka, hanya demi aku, yang tak berharga ini," jawabku seraya menundukkan kepala. "Mas, akan bicara
"Gak, Bu. Aku gak nangis, tadi kelilipan, makanya ke luar air mata dan sembab," ucapku bohong. Ibu menarik napas perlahan, apa mungkin ibu tahu aku ini berbohong, dan ia bertanya-tanya kenapa aku menangis. "Ya, sudah. Dimakan dulu gih! Untuk mengganjal perut, sambil menunggu makan siangnya siap!" seru ibu menyodorkan piring ke hadapan Mas Alex. "Terima kasih Bu, gak usah repot-repot," jawab Mas Alex, mengangguk sembari mengulas senyuman. "Oh, iya Nak Alex, sudah lama kenal Silvi?" tanya Ibu menoleh ke arah Mas Alex yang duduk di seberangku. "Selama. Silvi di sana aja Bu, ya ... Sekitar lima bulanan, lah," jawabnya santai sembari mengambil pisang goreng. "Sering ketemu Silvi, di sana?" Ibu menatap serius pada pria berjaket kulit hitam dan celana jeans biru Dongker. "Sering Bu, kebetulan tempat kerja Silvi tak jauh dari tempat kerja saya, jadin
"Ya, ibu senang melihat badan kamu sekarang, tidak begitu kurus seperti dulu, kamu sudah banyak berubah, Sil," ucap ibu. Namun, dari sorot matanya seperti menyimpan sejuta tanya untukku, yang tak bisa ia ungkapkan. "Aku kerja di kota Bu, sebagai asisten bos, masa tak ada perubahan sedikitpun, lagipula, Pak Devan menjamin semua kebutuhanku," ucapku memuji lelaki itu, padahal di dalam hati ini sungguh mengutuknya. "Uhuk." Mas Alex tersedak tiba-tiba, seolah ia tak terima jika aku memuji Devan, karena ia sangat tahu, apa yang sudah Devan lakukan padaku. "Kenapa, Nak Alex?" tanya ibu cemas. Lelaki berjaket hitam itu menggeleng seraya mengusap bibirnya, "Gak Bu, cuma keselek," kilah Mas Alex melirik d
"Ya, masih dong ... apalagi sekarang warung kita semakin banyak pelanggannya. Kalau nasi uduk itu kan, memang khas jualan ibu sedari dulu, semenjak Ayahmu sakit dan tak bisa mencari nafkah untuk kita. Niatnya ibu gak jualan nasi uduk lagi, cuma gorengan sama sayur mayur, tapi ya … tetangga pada nanyain. Ya, sudah, ibu jualan lagi, kasian pelanggan ibu mereka setiap pagi kesini cuma untuk cari sarapan," ucap ibu panjang lebar. "Tapi Bu, jangan dipaksakan, kalau ibu sudah capek dan gak sanggup, nanti ibu sakit," ujarku, sambil mengelus punggung tangan wanita berbalut daster batik dan kerudung bergo itu, kutatap wajahnya yang berbinar menyiratkan bahwa dia begitu gembira bicara tentang dagangannya padaku yang kian hari semakin laris. Mas Alex hanya menyimak percakapan kami, sambil menikma
"Ibu … ibu percaya kan sama aku! Kenapa ibu tanya itu lagi?" "Ibu hanya khawatir. Sil, kamu paham kan," "Tentu ibu, aku tahu perasaan seorang ibu seperti apa terhadap anak gadisnya. Tapi, aku tahu batasan dalam pergaulan. Bu," "Terima kasih ya. Nak, kamu sudah menjaga amanat ayah dan ibu, untuk menjadi gadis yang baik, meskipun kamu jauh dari pantauan ibu," ucap ibu menatapku, lalu menarik nafas panjang sebelum berucap kembali. Aku hanya diam mendengarkan dengan sungguh-sungguh. "Ibu percaya sama kamu, dan ibu yakin kamu tak mungkin melakukan hal serendah itu. Kadang ibu cemas, mendengar ucapan tetangga yang suka menjelek-jelekkan kamu, melihat perubahan hidup kita yang drastis, mereka mengatakan
"Silvi, ibu. saya ada urusan, mesti ke Bandung sekarang juga, besok sebelum kembali ke Jakarta saya akan mampir lagi kesini, melihat Silvi," ujar Mas Alex, sambil merapikan jaketnya. Namun, tatapannya tetap fokus padaku. "Tapi Mas." Aku bangkit lalu melangkah dan berdiri di samping Mas Alex. Pria ini menggenggam tanganku, menatap wajahku penuh kasih. "Mas pergi dulu, ya. Kan tadi waktu di perjalanan Mas sudah bicara sama kamu, bahwa Mas tak bisa lama-lama, setelah mengantarmu pulang ke rumah, dan memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Sesungguhnya Mas tak ingin meninggalkan kamu. Namun, ada urusan penting," ucapnya, tangan Mas Alex mengayun dan mengusap bahuku. Ibu berdiri dan menatap kami dengan wajah berbinar. "Ibu yakin kalian punya hubu
"Gak apa-apa. Mas serius, ingin memuliakan kamu, sebagai istri Mas, kamu begitu berharga di hati Mas, Silvi. Meskipun banyak perempuan cantik, yang ibu jodohkan, dan ibu tawarkan untuk menjadi calon istri Mas. Tapi, tak ada satupun yang Mas suka, cuma kamu. Silvi," "Mas, seharusnya kamu menerima perempuan yang ibumu pilihkan, mereka pasti gadis terhormat, pilih salah satunya, bukan aku!" ucapku memalingkan wajah dari tatapannya. Mas Alex meraih tanganku kembali, "Hati tak bisa dipaksakan, apapun yang akan ibu lakukan. Mas tidak peduli. Hanya kamu yang Mas inginkan, dan Mas cintai," "Tapi, mas," "Jangan berpikir tentang ibu, lagi! Kita yang akan menjalani hidup, bukan orang lain. Percaya Silvi, pada cinta yang Mas miliki untuk, kamu!" "Terima kasih Mas, kamu begitu baik padaku, Terima kasih atas cinta yang telah kau berikan padaku, aku sangat beruntung sudah mengenal lelaki sepertimu," ucapku, dengan tangisan haru. Entah kenapa mata ini selalu
Kulakukan 10 "Tunggu Mas, ya! Lusa Mas pasti kembali, dengan janji dan membawa segenap cinta untukmu. Mas akan segera menikahimu," ujarnya yakin dan mantap. "Iya Mas, aku pasti akan menunggumu." Aku tersenyum menatap, wajahnya yang tampan. Mas Alex merogoh saku celananya, yang berada di belakang. "Oh, iya. Susu, masih ada kan?" tanyanya. Membuat ku mengernyit. "Ada, masih banyak, kan kemarin kita belanja segala kebutuhan untukku, sehari sebelum kita kesini, masa Mas sudah lupa, kamu sendiri yang mengantar aku, bahkan Mas yang pilih semua barang keperluanku. Memangnya kenapa, Mas?"