Share

Pulang bagian 2

 

"Ya Tuhan ... ibu sampai lupa, saking asiknya ngobrol, kita masuk yuk! Gak bagus lho, lama-lama ngobrol di luar! Gak enak juga dilihat sama tetangga. Sebaiknya kita bicaranya didalam, sambil minum teh. Kalian pasti lelah, ibu akan buatkan makanan untuk kalian!" seru ibu.

"Iya, mas. Kita masuk yuk! Aku capek," timpalku seraya memijat tengkuk yang terasa berat, dan pinggangku mulai pegal, ditambah perutku bagian bawah yang terasa kram. 

"Ayo!" jawab Mas Alex sembari mengusap bahuku.

"Ibu duluan, ya," ujar ibu membalikan badannya lalu melangkah menuju pintu masuk.

"Iya Bu, nanti kami nyusul," sahut ku. Aku beralih menatap Mas Alex yang berdiri di sampingku.

"Ayo Mas, kita masuk!" ajakku pada Mas Alex, dia menoleh seraya mengrlingkan matanya, dan seulas senyuman ia tampilkan, kedua alis tebalnya terangkat, membuat pesonanya kian terpancar.

"Ish." Aku mendelik sok jaim.

"Apa?" bisiknya sembari menyenggol bahuku dengan bahunya.

"Au, ah," pungkas ku, dan beranjak meninggalkan Mas Alex yang masih berdiri kokoh di halaman rumah.

Aku pun mengikuti langkah ibu ke dalam, disusul Mas Alex dari belakang, kami berjalan beriringan.

 Sesampainya di ambang pintu, aku mendongak menatap sekeliling isi rumah. Kini rumah ibu lumayan nyaman dan layak huni tak seperti beberapa bulan lalu sebelum aku ke kota, dan bertemu Devan. Pria yang sudah merusak hidupku dan kini aku mengandung benihnya.

Tapi beruntung Mas Alex orangnya baik, dan tak mempermasalahkan masa laluku yang kelam. Dia mau menerimaku dengan hati terbuka, meskipun aku sedang mengandung anak dari pria lain.

 Mas Alex bersedia menampungku di rumahnya, dan aku tinggal bersama dia beberapa bulan terakhir ini, dia juga selalu siaga mengantarku untuk periksa kandungan, layaknya suami menjaga istrinya.

Dia begitu baik padaku. Namun, aku tidak enak karena terlalu banyak menerima kebaikan darinya. Aku juga tidak pantas untuk dia, dan aku juga tak mau memberi harapan lebih jauh padanya.

"Sil, rumahmu nyaman ya, adem tak seperti di kota. Mas mau tinggal di sini sama kamu,"

"Kumpul kebo dong, namanya," protesku sambil duduk di kursi ruang tamu, kursi kayu yang dulu usang kini telah diganti menjadi kursi tamu yang empuk.

"Enggaklah, kita kan, akan segera menikah. Mas gak sabar ingin menjadi ayah," ucap Mas Alex membuat hati ini terenyuh, sekaligus sedih. Bagaimana bisa orang baik seperti dia bersedia menerima diriku yang hina ini, dan menerima bayi yang bukan darah dagingnya.

"Kok diam?" tanya Mas Alex memegang pipiku dengan tatapan penuh tanya.

"Gak apa-apa Mas, aku hanya letih," sangkalku, tak ingin menunjukkan kesedihan padanya.

"Serius. Kamu gak mikirin yang macam-macam, kan? Jangan mikir terlalu jauh, percaya sama, Mas! Mas tidak akan pernah menyia-nyiakan kalian," ucap Mas Alex seraya mengusap air mataku, yang tak sengaja aku teteskan.

"Aku gak mikirin apa-apa, aku hanya khawatir, kalau ibu tahu tentang kehamilanku, ini,"

"Gak apa-apa, jika ibumu harus tahu. Karena Mas yang akan bertanggung jawab,"

"Tak usah repot-repot Mas! Aku gak mau membebani hidup kamu terus,"

"Kamu bukan beban bagi Mas, tapi bagian hidup Mas."

Aku hanya diam mendengar penuturan Mas Alex yang begitu yakin, tapi sungguh aku malu pada diriku sendiri, orang yang memakan nangkanya Mas Alex yang terkena getahnya.

Saat aku sedang menangis tiba-tiba ibu sudah ada dibelakangku, gegas kuseka air mata ini yang tak sengaja menetes.

"Eh, ibu," ucapku tanpa menoleh.

"Sil, nak Alex kok gak di kasih minum, sih ... dia pasti letih, juga haus," protes ibu sembari duduk di sampingku.

"Iya, Bu. Maaf Mas, aku lupa," ucapku.

"Tak apa, santai aja, lagian di sini juga cukup adem," ujar Mas Alex seraya menautkan kedua jemari.

"Ya sudah, ibu ke belakang lagi ya, kalian lanjutin ngobrol! Sementara ibu memasak buat kalian! Gak usah sungkan Nak Alex, anggap aja rumah sendiri," ujar Ibu, dan bangkit lalu melangkah menuju pintu penghubung ruang tengah. Namun, ibu menghentikan langkahnya dan kembali berbalik padaku.

"Sil, ambilkan minuman dingin, pilih aja sendiri, banyak varian rasanya kok, tuh di kulkas, biar segar!" seru ibu menunjuk ke arah ruangan samping rumah, yang dulu di pakai untuk kamar ku sekarang di rubah menjadi warung sembako dan sayuran.

Rumah ibu di lebarin kamarku di geser ke bekas kamar tengah, sementara kamar ibu bekas dapur, dan kamar Sandi juga Seno tetap di tempatnya, rumah ini lumayan luas tanah kosong samping rumah, tempatku menjemur pakaian kini dibangun untuk dapur dan kamar mandi.

Kini ibu merjemur baju menggunakan jemuran stainless steel, tidak repot seperti dahulu, memakai tambang dan tiang bambu, kehidupan kami memang berubah seratus delapan puluh derajat, semenjak aku kenal Devan.

Namun, timpal baliknya kini aku menanggung aib, di perutku tumbuh janin yang setiap bulannya kian membesar.

"Nak Alex, ibu kebelakang lagi, ya," sambung ibu sebelum meninggalkan kami.

 Kami mengangguk seraya tersenyum, ibu berlalu menuju dapur, sepeninggalnya ibu, aku merasa canggung dengan tatapan Mas Alex.

"Mas, sebentar ya, aku mau ambil minum," ucapku sambil berdiri. Namun, dengan cepat tangan Mas Alex menarikku, membuat aku duduk kembali, "Mas, jangan begini! Malu,"

"Malu kenapa?"

"Mas, cuma masih ingin duduk bersamamu,"

"Tapi aku disuruh ibu ambilkan minuman dingin untukmu!"

"Nanti saja, Mas juga belum terlalu haus,"

"Kamu pasti capek, Mas saja yang ambilkan,"

"Tak usah Mas, aku terlalu merepotkanmu, kamu tamu di rumah ini, maka harus aku layani,"

"Tak masalah, Mas malah senang kok, melayani seorang putri seperti kamu, calon permaisuriku,"

"Terima kasih, ya Mas. Tapi, itu berlebihan," jawabku pada pria berjaket hitam dan celana jeans biru. Ia tak menjawab malah menatapku dengan waktu beberapa saat membuatku jengah.

"Ada apa sih Mas, kok lihatnya seperti itu?" tanya ku dengan wajah memberengut. Mas Alex tersenyum tipis.

"Memangnya, ada yang melarang? Wajahmu enak untuk dipandang gak bosenin! Lagian kamu adalah calon istri, Mas," jawab Mas Alex dengan santainya.

"Apaan kali." Aku memutar bola mata, sembari mencebik bibir.

"Ya, emang kamu cantik, Mas cinta sama kamu! Mas ingin segera melamar kamu." 

Mendengar ucapan Mas Alex mataku mengembun, aku terharu mendengar ucapannya, tapi aku gak bisa menerima dia, Mas Alex terlalu sempurna untukku.

Dia bisa mendapatkan wanita yang lebih baik dari pada aku, aku hanya seorang pelacur, yang hina dan tak berharga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status