"Gak, Bu. Aku gak nangis, tadi kelilipan, makanya ke luar air mata dan sembab," ucapku bohong. Ibu menarik napas perlahan, apa mungkin ibu tahu aku ini berbohong, dan ia bertanya-tanya kenapa aku menangis.
"Ya, sudah. Dimakan dulu gih! Untuk mengganjal perut, sambil menunggu makan siangnya siap!" seru ibu menyodorkan piring ke hadapan Mas Alex.
"Terima kasih Bu, gak usah repot-repot," jawab Mas Alex, mengangguk sembari mengulas senyuman.
"Oh, iya Nak Alex, sudah lama kenal Silvi?" tanya Ibu menoleh ke arah Mas Alex yang duduk di seberangku.
"Selama. Silvi di sana aja Bu, ya ... Sekitar lima bulanan, lah," jawabnya santai sembari mengambil pisang goreng.
"Sering ketemu Silvi, di sana?" Ibu menatap serius pada pria berjaket kulit hitam dan celana jeans biru Dongker.
"Sering Bu, kebetulan tempat kerja Silvi tak jauh dari tempat kerja saya, jadinya kami hampir tiap hari bertemu," balas Mas Alex berbohong, selama beberapa bulan aku tak bertemu dia, dan di sekap oleh Devan di rumahnya, setelah aku diusir oleh nyonya Amelia dan meninggalkan rumah Devan, baru aku tinggal di rumah Mas Alex selama, dua bulan terakhir.
Sebelum kami berangkat untuk menyambangi rumah ibu. Aku meminta dia untuk tidak mengatakan apapun padanya tentang aku, dan kehidupanku selama di sana.
Ibu menoleh tatapannya beralih ke arahku, "Sil, bos kamu yang dulu pernah nganter kamu ke sini, gak ikut?" Ibu baru ngeh tentang Devan.
"Eum ... Itu Bu." Aku menjeda ucapan, untuk menarik napas rasanya berat untuk berkata. "Aku kan, udah gak kerja sama Pak Devan lagi Bu, aku udah mengundurkan diri," jawabku gugup.
"Sejak kapan, dan kenapa? kok kamu berhenti kerja? Terus gaji kamu yang di bayar untuk dua tahun ke depan gimana? Kalau kamu sudah tak bekerja sama dia lagi. Apa kita harus mengembalikan semuanya pada dia? Dari mana kita punya uang sebanyak itu untuk menggantinya," cecar ibu memberondongku dengan banyak pertanyaan.
Kupegang tangan ibu dan menggenggamnya lembut, kutatap lekat-lekat wajahnya yang sedikit timbul kerutan di bawah mata sendunya.
"Bu, gak usah khawatir, Pak Devan sudah memberikannya pada kita, ibu gak usah pikirkan lagi, dia orangnya baik kok, eumm ... Pak Devan juga sudah mendapatkan penggantiku, orangnya lebih pintar, dan menguasai bahasa asing, makanya dia gak membutuhkanku lagi," terangku setenang mungkin agar ibu percaya dengan ucapanku.
Hatiku perih saat mengatakan kebohongan pada perempuan yang sudah melahirkanku, sembilan belas tahun lalu, dan mengurusiku dengan kasih sayang hingga aku sebesar ini.
Semua uang, yang Devan berikan padaku dan ibu, bukanlah gaji melainkan dia membeli tubuhku, untuk ia nikmati setiap kali ia mau. Namun, semua itu takkan bisa mengembalikan harga diri, dan kesucianku.
Kini aku begitu kotor dan menjijikan, rasanya aku ingin menjerit sekencang-kencangnya, untuk meluapkan beban yang menghimpit dadaku. Tempo hari aku sempat ingin bunuh diri, namun Mas Alex mencegahnya, dan mengurungkan niatku untuk mengakhiri hidup. Dia selalu menghibur dan membangkitkan gairah hidupku kembali.
Namun, aku bingung sampai saat ini, anak yang ada dalam kandunganku, harus kuapakan, tak mungkin aku mengandung dan melahirkannya tanpa suami, meskipun Mas Alex ingin meminangku, aku tidak mau membuat dia dibenci oleh kedua orang tuanya.
Karena kedua orang tua Mas Alex yang tak pernah merestui kami, keluarganya begitu jijik dan benci padaku. Kata mereka aku wanita murahan, memang iya. Dan jika Mas Alex menikahiku, maka Mas Alex membawa aib untuk keluarga besarnya.Masih terngiang di telingaku saat Mas Alex membawaku ke rumah keluarganya. Karena selama ini Mas Alex tinggal sendiri, sebelum aku dibawanya untuk tinggal bersama. Aku diajaknya menyambangi rumah ibu dan ayahnya untuk mengenalkanku pada mereka. Awalnya aku di sambut hangat oleh keluarga Mas Alex.
Saat kami sedang menikmati makan malam tiba-tiba perutku terasa mual. Aku berlari ke toilet meninggalkan acara makan malam, sontak semua mata menatapku dengan tatapan penuh tanya.
Melihatku kurang sopan karena pergi di tengah acara keluarga itu. Aku dan Mas Alex tak mengatakan apapun. Namum, ibunya Mas Alex yang berprofesi sebagai bidan, dia bisa menebaknya.
"Lex, katakan sama ayah dan ibu! Kamu gak berbuat kotor kan?!" tanyanya menyelidik.
Bukan aku tidak sopan telah menguping percakapan antara orang tua Mas Alex dan putranya, aku yang baru keluar dari kamar mandi mendengar ucapannya dari depan pintu masuk ke ruang makan, setelah memuntahkan cairan dari kerongkonganku untuk kesekian kalinya.
"Maksud ibu, apa? Aku tak mengerti." Mas Alex mengeryitkan dahi keheranan.
Wanita setengah baya itu mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap wajah, seraya menggenggam tangan pria yang duduk di kursi sampingnya.
"Kamu, gak menghamili gadis itu kan? Meskipun kalian tak bicara sama ibu, tapi ibu tahu dan bisa menebak, dari bentuk tubuhnya yang melar dan dari bentuk dadanya, yang sintal, lalu dia mual-mual terus dari tadi, sangat tak wajar, menunjukkan bahwa dia sedang hamil muda," ucapnya pelan, namun masih jelas terdengar di telingaku.
Mas Alex terlihat gusar ia menarik napas dalam-dalam, dan menatap wajah ibunya dengan tatapan penuh keyakinan.
"Bu, percaya sama aku! Aku gak pernah melakukan hal sebodoh itu. Silvi memang sedang hamil, tapi dia bukan gadis nakal, melainkan korban pelecehan Bu," terang Mas Alex, meyakinkan.
"Hm ...." Ibu Mas Alex menghela nafas panjang, tersirat gurat kecewa dari raut wajahnya, yang seketika berubah masam. "Ibu gak percaya, pasti Silvi adalah gadis nakal, begitu tuh, orang kampung yang datang ke kota dan salah pergaulan."
Nyess, hatiku pedih mendengar tuduhan ibunya Mas Alex.
"Bu, udah jangan di bahas lagi! Takut Silvi mendengar ucapan kita!" sela pria paruh baya yang duduk di samping ibu Mas Alex.
"Iya, tapi awas kalau Alex anak kita, sampai jatuh cinta pada gadis itu!" tekannya. Sembari menatap ke arah ayah Mas Alex. Sementara aku masih mematung di depan pintu masuk.
"Ayah juga, gak mau punya menantu yang seperti itu, terlebih kita gak tau bibit, bobot, bebetnya," sambung Ayah Mas Alex.
"Tuh, dengar Lex, kata ayah kamu! Ibu lebih gak mau dan gak Sudi mempunyai menantu pembawa aib! Lebih baik kamu tinggalkan dia, dan pulangkan ke rumah orangtuanya, dari pada menjadi beban hidup kamu, bagaimana jika kerabat atau tetangga tahu, kalau kamu menampung perempuan hamil, ibu dan ayah malu, mau di taruh di mana muka orang tua kamu ini, Lex ...," ucap sang ibu, panjang lebar.
Hatiku teriris mendengar kata aib, memang aku ini aib, tapi itu bukan inginku.
"Silvi, dimakan dong pisangnya! Kok melamun?" Ibu menepuk bahuku, sontak membuatku terkesiap, dan mengerjap, sejenak aku melupakan lamunan masa kelam dan pedih dalam hidupku.
"Iya Bu, ma'af! Aku cuma lelah," sangkalku.
"Kamu istirahat aja Sil, wajah kamu pucat, apa kamu sakit?" Ibu menatapku dengan tatapan khawatir.
"Gak Bu, aku sehat-sehat aja." Aku memang lelah pusing dan mual. Namun, kutahan, takut ibu curiga.
"Serius," ucap ibu penuh tanya.
"Iya Sil, betul kata ibu, kamu istirahat aja sana!" sela Mas Alex.
"Masa aku masuk kamar, sementara Mas Alex duduk di sini di ruang tamu sendirian," sergah ku.
"Tapi Sil, ibu, lihat-lihat badan kamu kok, agak gemukan ya sekarang?" ujar Ibu sembari mengusap punggungku.
"Iya Bu, mungkin karena aku kerja di kota, jadi makan tepat waktu dan teratur, terus istirahat juga cukup, kalau di sini kan, aku kadang malas sarapan, sebelum benar-benar laper, dan kerjaan rumah belum beres," terang ku.
Maaf Bu aku berdusta, aku bukan gemuk melainkan sedang berbadan dua, mungkin sekarang ibu belum melihat perubahan tubuhku yang signifikan.
"Ya, ibu senang melihat badan kamu sekarang, tidak begitu kurus seperti dulu, kamu sudah banyak berubah, Sil," ucap ibu. Namun, dari sorot matanya seperti menyimpan sejuta tanya untukku, yang tak bisa ia ungkapkan. "Aku kerja di kota Bu, sebagai asisten bos, masa tak ada perubahan sedikitpun, lagipula, Pak Devan menjamin semua kebutuhanku," ucapku memuji lelaki itu, padahal di dalam hati ini sungguh mengutuknya. "Uhuk." Mas Alex tersedak tiba-tiba, seolah ia tak terima jika aku memuji Devan, karena ia sangat tahu, apa yang sudah Devan lakukan padaku. "Kenapa, Nak Alex?" tanya ibu cemas. Lelaki berjaket hitam itu menggeleng seraya mengusap bibirnya, "Gak Bu, cuma keselek," kilah Mas Alex melirik d
"Ya, masih dong ... apalagi sekarang warung kita semakin banyak pelanggannya. Kalau nasi uduk itu kan, memang khas jualan ibu sedari dulu, semenjak Ayahmu sakit dan tak bisa mencari nafkah untuk kita. Niatnya ibu gak jualan nasi uduk lagi, cuma gorengan sama sayur mayur, tapi ya … tetangga pada nanyain. Ya, sudah, ibu jualan lagi, kasian pelanggan ibu mereka setiap pagi kesini cuma untuk cari sarapan," ucap ibu panjang lebar. "Tapi Bu, jangan dipaksakan, kalau ibu sudah capek dan gak sanggup, nanti ibu sakit," ujarku, sambil mengelus punggung tangan wanita berbalut daster batik dan kerudung bergo itu, kutatap wajahnya yang berbinar menyiratkan bahwa dia begitu gembira bicara tentang dagangannya padaku yang kian hari semakin laris. Mas Alex hanya menyimak percakapan kami, sambil menikma
"Ibu … ibu percaya kan sama aku! Kenapa ibu tanya itu lagi?" "Ibu hanya khawatir. Sil, kamu paham kan," "Tentu ibu, aku tahu perasaan seorang ibu seperti apa terhadap anak gadisnya. Tapi, aku tahu batasan dalam pergaulan. Bu," "Terima kasih ya. Nak, kamu sudah menjaga amanat ayah dan ibu, untuk menjadi gadis yang baik, meskipun kamu jauh dari pantauan ibu," ucap ibu menatapku, lalu menarik nafas panjang sebelum berucap kembali. Aku hanya diam mendengarkan dengan sungguh-sungguh. "Ibu percaya sama kamu, dan ibu yakin kamu tak mungkin melakukan hal serendah itu. Kadang ibu cemas, mendengar ucapan tetangga yang suka menjelek-jelekkan kamu, melihat perubahan hidup kita yang drastis, mereka mengatakan
"Silvi, ibu. saya ada urusan, mesti ke Bandung sekarang juga, besok sebelum kembali ke Jakarta saya akan mampir lagi kesini, melihat Silvi," ujar Mas Alex, sambil merapikan jaketnya. Namun, tatapannya tetap fokus padaku. "Tapi Mas." Aku bangkit lalu melangkah dan berdiri di samping Mas Alex. Pria ini menggenggam tanganku, menatap wajahku penuh kasih. "Mas pergi dulu, ya. Kan tadi waktu di perjalanan Mas sudah bicara sama kamu, bahwa Mas tak bisa lama-lama, setelah mengantarmu pulang ke rumah, dan memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Sesungguhnya Mas tak ingin meninggalkan kamu. Namun, ada urusan penting," ucapnya, tangan Mas Alex mengayun dan mengusap bahuku. Ibu berdiri dan menatap kami dengan wajah berbinar. "Ibu yakin kalian punya hubu
"Gak apa-apa. Mas serius, ingin memuliakan kamu, sebagai istri Mas, kamu begitu berharga di hati Mas, Silvi. Meskipun banyak perempuan cantik, yang ibu jodohkan, dan ibu tawarkan untuk menjadi calon istri Mas. Tapi, tak ada satupun yang Mas suka, cuma kamu. Silvi," "Mas, seharusnya kamu menerima perempuan yang ibumu pilihkan, mereka pasti gadis terhormat, pilih salah satunya, bukan aku!" ucapku memalingkan wajah dari tatapannya. Mas Alex meraih tanganku kembali, "Hati tak bisa dipaksakan, apapun yang akan ibu lakukan. Mas tidak peduli. Hanya kamu yang Mas inginkan, dan Mas cintai," "Tapi, mas," "Jangan berpikir tentang ibu, lagi! Kita yang akan menjalani hidup, bukan orang lain. Percaya Silvi, pada cinta yang Mas miliki untuk, kamu!" "Terima kasih Mas, kamu begitu baik padaku, Terima kasih atas cinta yang telah kau berikan padaku, aku sangat beruntung sudah mengenal lelaki sepertimu," ucapku, dengan tangisan haru. Entah kenapa mata ini selalu
Kulakukan 10 "Tunggu Mas, ya! Lusa Mas pasti kembali, dengan janji dan membawa segenap cinta untukmu. Mas akan segera menikahimu," ujarnya yakin dan mantap. "Iya Mas, aku pasti akan menunggumu." Aku tersenyum menatap, wajahnya yang tampan. Mas Alex merogoh saku celananya, yang berada di belakang. "Oh, iya. Susu, masih ada kan?" tanyanya. Membuat ku mengernyit. "Ada, masih banyak, kan kemarin kita belanja segala kebutuhan untukku, sehari sebelum kita kesini, masa Mas sudah lupa, kamu sendiri yang mengantar aku, bahkan Mas yang pilih semua barang keperluanku. Memangnya kenapa, Mas?"
"Iya Mas, aku akan jaga anak ini demi kamu. Tapi, kenapa Mas, kamu begitu menginginkan anak yang ada di dalam kandunganku ini? Padahal kamu tahu ini bukan anakmu," tanyaku ingin tahu. Mas Alex menyunggingkan senyumnya. "Karena Mas mencintai kamu, Mas akan menerima dia sepenuh jiwa, sebagai anak Mas sendiri, tak ada alasan untuk tidak menerima kalian berdua," ungkap Mas Alex, tanpa sedikitpun ada keraguan, dari sikap dan semua ucapannya, membuatku semakin yakin pada kesungguhannya. "Terima kasih Mas, atas cinta yang telah kau berikan padaku, dan segala kebaikanmu." Aku merasa malu pada Mas Alex, dia sudah memberikan segalanya untukku, kasih sayang dan cintanya yang begitu besar. Dia juga selalu memberikan apapun yang aku butuhkan, memang, aku tak pantas untuknya, tapi, aku begitu mencintainya. Aku juga merasa malu padanya, karena aku tak bisa menjaga kehormatan, sebagai seorang wanita. Hanya penyesalan yang terus menggelayut
"Tapi Sil, ibu tuh agak khawatir sama kamu, ibu tak salah lihat kan, tadi Nak Alex mengelus perutmu, jujur sama ibu Nak! Ibu takkan marah, ibu tau, kamu takkan berbuat sehina itu?" ucapan ibu seakan memancing diriku untuk berkata jujur, kemudian ia menggenggam tanganku begitu erat, seraya menatapku dengan tatapan yang amat dalam. Kupalingkan wajahku dari tatapan ibu, menundukkan kepala sembari menggeleng pelan, dan sungguh, aku tak berani menatap mata wanita paruh baya yang duduk di sampingku ini, tatapannya begitu menusuk, membuatku sulit untuk berkilah. "Gak Bu, aku gak hamil, aku bersumpah demi ibu, aku mohon, ibu percaya sama aku! Aku tak mungkin melakukan hal seperti itu," ujarku tanpa menatapnya, tak mampu kupungkiri, hati ini benar-benar tak bisa tenang karena aku menyimpan sejuta kebohongan dalam dada ini. Terpaksa aku berbohong pada ibu, aku takut. Meskipun ibu mengatakan bahwa ia tak akan marah, tapi aku tahu, ia pasti akan sang