Share

Mual

"Ya, ibu senang melihat badan kamu sekarang, tidak begitu kurus seperti dulu, kamu sudah banyak berubah, Sil," ucap ibu. Namun, dari sorot matanya seperti menyimpan sejuta tanya untukku, yang tak bisa ia ungkapkan.

 "Aku kerja di kota Bu, sebagai asisten bos, masa tak ada perubahan sedikitpun, lagipula, Pak Devan menjamin semua kebutuhanku," ucapku memuji lelaki itu, padahal di dalam hati ini sungguh mengutuknya.

"Uhuk." Mas Alex tersedak tiba-tiba, seolah ia tak terima jika aku memuji Devan, karena ia sangat tahu, apa yang sudah Devan lakukan padaku.

"Kenapa, Nak Alex?" tanya ibu cemas.

Lelaki berjaket hitam itu  menggeleng seraya mengusap  bibirnya, "Gak Bu, cuma keselek," kilah Mas Alex melirik dengan ujung netranya tak suka.

"Minum, Mas!" seruku seraya menyodorkan botol minuman, ia mengangguk lalu menerimanya.

"Terima kasih, ya Sil,"

"Makanya Mas, pelan-pelan makan pisang gorengnya, masih banyak kok," ucapku dengan senyuman.

"Sebentar ya, ibu tinggal, mau balik ikan, masih di penggorengan," ucap  ibu beranjak dari ruang tamu.

"Iya, Bu," jawabku dengan Mas Alex serentak.

Sepeninggalnya ibu Mas Alex mendekatiku, ia mencondongkan badannya ke depan, "Sil, kamu apa-apaan sih, puji si Devan segala? Sudah jelas, lelaki itu bajingan, andai Mas tahu orangnya seperti apa, akan Mas buat dia menyesal,"

"Gak mungkin Mas, kamu gak akan bisa melawannya, dia kuat,"

"Sekuat apa sih dia?"

"Bukan orangnya yang kuat, tapi, ajudannya banyak,"

"Ouh." Mas Alex menarik nafas pelan, "Lalu, apa yang harus Mas lakukan?"

"Tak usah, Mas, kamu sudah terlalu banyak membantuku, aku tak mau merepotkanmu lebih banyak lagi," 

"Sil, demi cinta. Mas akan lakukan apa saja," 

"Tapi Mas, jika kita membalas perbuatannya, yang pasti Devan akan lebih mudah menemukan aku, maka aku pasti akan ia bawa kembali. Mengingat ada janin miliknya yang tumbuh di rahim ini,"

"Ya, maaf Mas tidak terpikirkan sampai kesitu,"

"Tak apa Mas, aku sungguh berterima kasih padamu, karena kamu, aku merasa menjadi wanita yang lebih baik, meskipun aku ini seorang perempuan hina,"

"Cukup, Sil! Jangan katakan kamu adalah perempuan hina, kamu begitu berharga bagi Mas,"

"Terima kasih Mas, kamu begitu baik padaku," ungkapku seraya menggenggam tangannya, derai air mata tak bisa kubendung karena terharu, masih ada lelaki yang begitu baik di dunia ini, dan mau menerima perempuan sepertiku.

"Jangan menangis! Mas tak suka itu," seru Mas Alex mengusap air mataku dengan punggung ruas jemarinya lembut.

"Iya Mas,"

"Ada ibu, tuh," ucap Mas Alex sedikit berbisik. Ku menoleh pada ibu yang memanggilku, lalu ia menghampiri dan duduk di kursi sampingku.

"Sil, kamu nangis ya?" tanya ibu dengan tatapan khawatir, ia memegang bahu dan satu tangannya diletakkan di pipiku, "Kamu kenapa Nak? Katakan pada ibu, kamu baik-baik saja, kan?" tanya ibu lagi membuatku gusar.

"Nak, Alex, Silvi kenapa?" Ibu beralih menatap Mas Alex. Ia hanya diam, mungkin bingung harus menjawab apa.

Ku Genggam tangan ibu dan kutatap matanya yang begitu terlihat khawatir, "Bu … aku menangis karena bercerita tentang kehidupan kita dulu, sewaktu ada ayah, aku menangis karena rindu pada ayah," ujarku bohong. Mas Alex hanya tersenyum samar mendengar sandiwaraku.

"Ayahmu, sudah tenang di alam sana, jadi, berdoalah untuk ayah, agar ayahmu dapat kehidupan yang tenang di sisinya,"

"Amiin," jawabku dengan Mas Alex.

"Jangan menangisi, ayahmu ya Nak! Ibu juga sangat merindukannya,"

Kutarik tubuh ibu kedalam pelukan, "Iya Bu, tapi aku bersyukur, masih punya ibu, dan adik-adik, yang sangat aku sayangi, aku sangat bahagia bisa berkumpul kembali bersama ibu, dan adik-adik. Kukira, aku akan terus bekerja dengan pak Devan, yang menyita waktuku, dan takkan pernah bisa kembali pada ibu di waktu yang cepat,"

"Hm, maafkan ibumu ini ya, Nak! Karena ibu, kamu jauh-jauh mencari rezeki ke kota besar, terpisah dengan adik-adikmu,"

"Gak apa-apa Bu, yang terpenting, sekarang kan kita sudah berkumpul kembali. Tapi, aku takkan lama-lama di sini, mungkin hanya bisa satu atau dua Minggu, dan aku akan kembali ke kota bersama Mas Alex, bekerja lagi untuk masa depan,"

"Untuk apa? Hidup kita sudah jauh lebih baik, semenjak kamu kerja dengan pak Devan. Sebaiknya kamu jangan pergi lagi ya, Nak! Ibu khawatir, jika kamu jauh dari jangkauan. Ibu takut," ucap ibu mengkhawatirkanku.

Mungkin ibu khawatir aku terjerumus pergaulan bebas di kota. Meskipun aku tak punya pergaulan di sana, tapi aku sudah bukan Silvi yang dulu, aku hanyalah manusia yang hina lebih dari sampah.

Mas Alex menegakkan badannya, seraya menarik napas, "Tenang, Bu! Ada saya yang akan menjaga Silvi, tapi setelah saya dapat restu dari ibu," timpal Mas Alex sembari menatapku.

"Tentu. Nak, tentu ibu akan merestui kalian," ucap ibu sambil melepas pelukan dan menatapku juga Mas Alex.

"Sil, dengarkan. Kata ibumu?" timpal Mas Alex, aku hanya tersipu malu.

"Oh, iya Mas. Di makan lagi pisang gorengnya," ucapku mengalihkan pembicaraan, seraya mengambil botol air minum, karena kerongkonganku mulai terasa mual.

"Iya Nak Alex, masa di anggurin, nanti makanannya nangis loh, kalau cuma di lihatin," gurau ibu ramah, sembari menyodorkan piring ke hadapan Mas Alex.

"Iya Mas, cobain deh! Pisang goreng bikinan ibu, enak banget loh," seru ku pada lelaki yang tengah duduk di kursi berseberangan denganku.

 Dia Pun mengangguk, seulas senyuman tipis ia tunjukkan dari bibirnya. Mas Alex begitu tampan dan masih muda, Namun, jika dibandingkan dengan Devan, ia lah yang unggul. Devan satu tingkat lebih tampan darinya.

"Sudah, Bu. Saya sudah cobain tadi, ternyata enak, ya," 

"Lagi Mas,"

Mas Alex mengangguk dan tersenyum, tangannya terulur meraih pisang goreng yang masih terlihat mengeluarkan asap.

Dari tampilannya begitu menggugah selera, liurku hampir menetes melihat makanan yang tersaji di meja, ingin sekali aku mencicipinya, namun ada rasa khawatir. Karena aku selalu memuntahkan apapun yang masuk ke dalam mulut.

Dengan hati ragu. Namun, rasa ingin yang tak tertahankan lagi, aku pun mengambil satu potong, untuk kumakan, kugigit sedikit demi sedikit hanya mencicipi, aku harus mengkondisikan perutku, yang seringkali mual dan tanpa bisa kutahan.

Kukunyah pisang goreng hangat itu, disusul dengan minuman dingin, agar mudah ditelan, untuk meminimalisir rasa mual. Kutarik nafas dalam-dalam,  menahan sebisa mungkin agar cairan di tenggorokanku tak keluar, aku tak mau ibu tahu tentang kehamilanku ini.

Ibu bisa syok dan mengusirku, jika dia mengetahui soal kondisiku yang sebenarnya.

"Kenapa Sil? Gak enak ya?" tanya ibu menatapku heran, mungkin wajahku yang menegang sehingga ibu bertanya seperti itu.

Aku menggeleng, "Enak Bu, enak banget malah," jawabku cepat. Kulirik Mas Alex dengan sudut mata, dia terlihat gelisah menatapku, mungkin dia cemas karena aku memaksakan menelan makanan yang membuatku mual.

 Tatapanku beralih pada ibu. "Oh iya Bu, apa ibu masih jualan nasi uduk?" tanyaku ingin mengalihkan pembicaraan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status