Share

Aku Telah Gagal

"Ya, masih dong ... apalagi sekarang warung kita semakin banyak pelanggannya. Kalau nasi uduk itu kan, memang khas jualan ibu sedari dulu, semenjak Ayahmu sakit dan tak bisa mencari nafkah untuk kita. Niatnya ibu gak jualan nasi uduk lagi, cuma gorengan sama sayur mayur, tapi ya … tetangga pada nanyain. Ya, sudah, ibu jualan lagi, kasian pelanggan ibu mereka setiap pagi kesini cuma untuk cari sarapan," ucap ibu panjang lebar.

"Tapi Bu, jangan dipaksakan, kalau ibu sudah capek dan gak sanggup, nanti ibu sakit," ujarku, sambil mengelus punggung tangan wanita berbalut daster batik dan kerudung bergo itu, kutatap wajahnya yang berbinar menyiratkan bahwa dia begitu gembira bicara tentang dagangannya padaku yang kian hari semakin laris. 

Mas Alex hanya menyimak percakapan kami, sambil menikmati pisang goreng, dia sesekali tersenyum melihat kebahagiaan ibu, dan senyuman yang terus merekah di bibirku. Namun, di balik senyuman manis ku, menyimpan kesedihan mendalam yang teramat pedih.

"Gak capek sama sekali, ibu senang melakukannya, apalagi Seno dan Sandi sekarang sering membantu ibu, semenjak kamu merantau ke ibukota, Adik-adik mu, berubah drastis, mereka begitu rajin," terang ibu penuh semangat.

"Syukur lah Bu, aku ikut senang mendengarnya,"

"Makasih ya Sil, berkat kamu kehidupan kita berubah, tak seperti dahulu, ibu terlilit hutang, dan selalu dikejar-kejar rentenir setiap hari, kadang kalian gak bisa makan karena uang hasil ibu jualan dirampas Bu Tati, untuk menutupi bunganya, tanpa memikirkan kita, mau makan atau enggak," ujar ibu, senyumnya redup seketika sesaat setelah menceritakan perlakuan Bu Tati yang tak punya hati nurani terhadap kami.

"Iya, Bu ... Ibu gak usah berterima kasih, sudah seharusnya, aku sebagai anak tertua, membantu meringankan beban ibu, dan membahagiakan Adik-adik. Aku bahagia, melihat Seno dan Sandi bahagia."

Asalkan mereka bahagia dan memiliki kehidupan yang layak, aku rela melakukan apapun demi keluargaku, biarlah aku yang sengsara dan menanggung beban berat di dalam hati ini, mungkin aku tak lama tinggal di rumah ibu.

Aku akan pergi sampai anak ini lahir dan aku bisa menata hidupku kembali, aku tak mau membuat ibu malu, dengan mengetahui bahwa aku bukan gadis lagi melainkan wanita kotor dan penuh dosa.

Ibu balas mengusap punggung tangan ku, seraya menatapku dalam.

"Ibu masih ingat dulu, ketika ayahmu masih ada, dia begitu menyayangi kalian, tak pernah lelah untuk mencari nafkah untuk kita, meskipun dengan keadaan sakit." 

Ibu menjeda ucapannya menundukkan kepalanya sejenak sembari memejamkan mata, dan menarik nafas pelan.

"Iya Bu, aku juga masih ingat," ujarku, menatapnya.

"Iya Nak," jawab Ibu lirih dibarengi dengan anggukan kecil.

 Kuusap bahunya dengan lembut, dan kutatap wajahnya lekat, sepertinya ibu merindukan sosok lelaki yang belasan tahun menemaninya suka dan duka, mengasuh ketiga anaknya yaitu aku, Seno dan Sandi, ayah meninggal karena sakit komplikasi yang dideritanya, sehingga mengharuskan ibu berjuang sendiri untuk menghidupi keluarga.

"Sil, selama di sana kamu gak neko-neko kan?" tanya ibu menatapku dalam, pertanyaannya seolah menampar hatiku hingga aku terhenyak.

"Gak Bu, aku bisa jaga diri, aku selalu ingat pesan ibu," 

"Sil. Ayahmu sangat menyayangi kamu, dia selalu wanti-wanti pada ibu, jaga anak gadis kita satu-satunya dengan baik, ketika ia besar nanti! Jangan sampai dia terjerembab dalam pergaulan bebas! Makanya ibu selalu mengkhawatirkanmu, selama kamu merantau, ibu tak pernah bisa tenang, rasanya di hati ibu ini selalu dihinggapi kekhawatiran," ujar ibu menatapku dengan pandangan menelisik.

"Tenang saja Bu, apa yang ibu katakan, dan ibu tanamkan dalam diriku, selalu jadi pedoman hidupku, jika ibu tak percaya.  Mas Alex saksinya," ucapku seraya menoleh pada lelaki yang duduk tenang di kursi seberangku.

Maafkan aku ibu, aku sudah gagal menjaga kehormatan sebagai seorang wanita, aku sudah gagal menjaga kesucianku, sebagai seorang gadis, hingga aku kini menanggung malu untuk keluarga. Kini aku sudah tak gadis lagi, bahkan aku sedang mengandung benih dari lelaki biadab itu, jika ibu tahu tentang ini, aku tak tahu ibu masih menganggapku anak ataukah tidak.

Hati ibu akan hancur jika dia mengetahui aku sedang berbadan dua, meskipun aku menutup rapat rahasiaku. Namun, aku tak tahu sampai kapan menyembunyikannya hal besar ini dari ibu.

Mas Alex tersenyum menanggapi ucapan ku. "Iya Bu. Silvi gadis yang sangat baik," jawab Mas Alex berbohong. Tanpa aku meminta dia lebih dahulu menutupi aib ini dari ibu.

Lelaki berparas tampan ini sudah tahu semuanya tentangku, tak ada yang aku tutupi darinya, dan tak ada rahasia lagi di antara kami, aku juga sudah mengatakan, semua unek-unek yang selalu mengganggu pikiranku, dengan masalah yang aku alami.

Aku membeberkan semuanya, sesaat setelah dia menyelamatkanku, dan membawaku pulang, ke rumahnya menjauh dari cengkraman kedua preman yang nyaris menggagahiku waktu itu, saat aku berteduh di warung yang sudah tidak ditempati lagi oleh pemiliknya, aku dibawa paksa oleh kedua preman ke sebuah gudang dan hampir melecehkanku.

Meskipun aku sudah tak gadis lagi, dan bahkan sedang dalam keadaan mengandung anak Devan, pria bajingan dan brengsek. Tapi, aku tak sudi disentuh oleh para preman.

Mas Alex begitu tulus padaku, dia selalu menjagaku, dia selalu menguatkan hatiku untuk melanjutkan hidup. Tak kutepis perasaanku padanya, ku akui aku memang mencintai dia.

Namun, aku sadar dan malu pada diriku sendiri, jika aku menerima lelaki seperti dia, dari segi sosial dan materi pun kami begitu jauh. Mas Alex seharusnya mendapatkan gadis yang sejajar dengan derajat keluarganya.

"Syukurlah, kalau begitu ibu merasa tenang." 

Ponsel Mas Alex berdering, ia bangkit mengeluarkan benda pipih tersebut dari saku celananya, "Bu, Silvi. Maaf ya, saya keluar sebentar, mau angkat telepon dulu," ucap Mas Alex seraya bangkit.

"Iya, nak. Silahkan," balas ibu. Ibu kembali menatapku sambil menggenggam tanganku.

"Sil, gimana Nak Alex, apa dia anak baik-baik, meskipun anaknya terlihat baik. Tapi, ibu tetap khawatir, dia berbuat macam-macam sama kamu, selama disana!" tukas ibu menyelidik.

"Bu, Mas Alex orangnya sangat baik, dia tahu bagaimana cara memperlakukan wanita, dan tahu bagaimana cara menghormati seorang wanita, selama di sana ia tak pernah sama sekali menyentuhku, apalagi berbuat macam-macam," 

"Tapi jujur, ibu begitu khawatir, selama kamu di sana, apa Pak Devan orangnya benar-benar baik, seperti yang kamu bilang?"

"Tentu Bu,"

"Ibu selalu kepikiran. Nak, kadang tetangga pada ngomongin kamu, kerja lima bulan saja, kita sudah bisa merenovasi rumah, kamu kerja apa di sana? Itu yang sering jadi beban pikiran ibu,"

"Bu …," ucapku terpotong, tak bisa melanjutkan kalimat, aku bingung jika harus berbohong terus padanya. Seperti yang ibu khawatir, memang aku di kota bekerja sebagai wanita penjual kenikmatan.

Tapi, bukan seperti perempuan malam yang selalu menggoda pria di bar, atau di tempat-tempat hiburan. Melainkan aku ditipu mentah-mentah oleh pria itu, sehingga aku seperti ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status