"Silvi, ibu. saya ada urusan, mesti ke Bandung sekarang juga, besok sebelum kembali ke Jakarta saya akan mampir lagi kesini, melihat Silvi," ujar Mas Alex, sambil merapikan jaketnya. Namun, tatapannya tetap fokus padaku.
"Tapi Mas." Aku bangkit lalu melangkah dan berdiri di samping Mas Alex. Pria ini menggenggam tanganku, menatap wajahku penuh kasih.
"Mas pergi dulu, ya. Kan tadi waktu di perjalanan Mas sudah bicara sama kamu, bahwa Mas tak bisa lama-lama, setelah mengantarmu pulang ke rumah, dan memastikan bahwa kamu baik-baik saja. Sesungguhnya Mas tak ingin meninggalkan kamu. Namun, ada urusan penting," ucapnya, tangan Mas Alex mengayun dan mengusap bahuku. Ibu berdiri dan menatap kami dengan wajah berbinar.
"Ibu yakin kalian punya hubungan spesial, sebaiknya jangan ditunda-tunda, jika kalian punya niat baik, dan segeralah menuju ke jenjang yang lebih serius," ujar ibu penuh harap.
Mas Alex melepaskan genggaman tangannya dari tanganku. Pandangannya beralih pada ibu. Kemudian Ia meraih kedua tangan ibu, dan menatap wajah perempuan paruh baya tersebut.
"Bu, saya minta izin pada ibu, saya akan segera melamar Silvi, saya sangat mencintai dia, saya hanya minta doa restu dari ibu," ucapnya yakin penuh tekad.
"Iya. Tentu saja, ibu merestui dan mengizinkan kamu Nak, untuk mengucap ijab di depan penghulu, dan bersanding di pelaminan," jawab ibu rona bahagia terpancar dari raut wajahnya.
"Tapi Bu. Mas Alex itu dari kalangan keluarga terpandang, gak mungkin aku menikah dengannya," gegas aku menyela percakapan ibu dan Mas Alex.
"Memangnya kenapa?" Mas Alex menyambar ucapanku, dengan cepat ia meraih kedua tanganku. "Ibumu sudah setuju, tinggal kamunya aja, Sil, mau menerima lamaran Mas atau enggak?" Mas Alex meyakinkan.
"Iya Sil, kamu jangan terlalu jual mahal, ibu sangat yakin, Nak Alex adalah jodoh yang tepat dan terbaik untuk kamu," jawab ibu membenarkan perkataan Mas Alex.
"Tapi Bu." Aku menyela kembali.
"Sudah Sil, kamu bisa pikirkan masak-masak! Mas akan menunggu jawaban kamu, sampai kamu siap," terang Mas Alex.
"Iya." Aku mengangguk. Mas Alex melangkah menuju pintu keluar, aku dan ibu mengantar dia hingga ke pekarangan rumah. Kami berdiri di dekat pagar. Memandang jalanan di sekitaran rumah, ada beberapa kendaraan melintas lalu lalang di depan pagar rumah ibu. Namun, jarang tak seperti di kota, yang ramai dengan hiruk pikuk.
"Sil, ibu tinggal ya, kalian silahkan ngobrol dulu! Puas-puaskan dulu, sebelum kalian berpisah," ujar Ibu. Mas Alex mengulurkan tangannya pada ibu. Wanita itu membalas uluran tangannya.
"Ibu saya pamit," ucap Mas Alex lalu mencium punggung tangan ibu dengan takzim, dia begitu santun pada ibu.
"Iya, hati-hati di jalan," sahut ibu sebelum berlalu dari hadapan kami.
Mas Alex menarik nafas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan, ia meraih tanganku, seraya menatap mataku penuh cinta.
"Sil, Mas pamit, jaga dirimu baik-baik, dan calon anak kita!" ujar Mas Alex tangannya meraih perutku yang masih rata, karena aku mengenakan korset, agar tak kentara oleh orang lain atau ibu yang melihatnya.
Mas Alex pun tak tahu jika aku menggunakan benda itu, kalau dia mengetahuinya mungkin aku akan dimarahi seperti waktu itu.
Aku terperangah mendengar ucapan Mas Alex, apa? Anak kita, kenapa Mas Alex mengucapkan kata itu. Sedangkan ini bukan benihnya, kenapa dia mau mengakui anak ini sebagai anaknya, netraku seketika memanas dan mengembun, buliran bening lolos begitu saja dari pelupuk mataku.
"Kenapa kamu nangis, lagi?" tanya Mas Alex, dengan raut wajah penuh kebingungan, "Mas, jadi gak tega untuk ninggalin kamu,"
"Ini bukan anakmu, Mas, ini anak bajingan itu, kenapa kamu mau bertanggung jawab, dan mengakui anak ini sebagai anakmu, sedangkan aku saja tidak menginginkannya, aku malah ingin menghabisinya," jawabku jujur sambil terisak.
"Jangan terlalu sering menangis! Nanti anak ini merasakan kesedihanmu juga, tetaplah tersenyum." Lelaki itu menangkup pipi kiriku, seraya mengusap dengan ibu jarinya lembut. Aku menundukkan kepala, terharu sekaligus malu. Malu dengan Mas Alex, yang derajatnya lebih tinggi dari aku. Aku hanyalah wanita hina. Tapi, masih ada Pria yang sangat baik dan ingin bertanggung jawab menutupi aibku ini.
"Dengar Silvi! Mas janji, lusa akan kembali, bersama orang tua Mas untuk melamar kamu, kamu begitu penting buat Mas, andai dulu Mas tahu kamu ada di mana, dan kamu mengatakan bahwa kamu butuh uang, mungkin ini takkan pernah terjadi kepadamu, dan takkan pernah menjadi luka batin yang akan membekas seumur hidup kamu, tapi tenang Silvi. Mas akan mengobati dan membalut lukamu, sebisa mungkin Mas akan membahagiakanmu, dan kita akan memiliki keluarga kecil yang sangat bahagia," ujar Mas Alex begitu yakin.
"Terima kasih, Mas, aku janji akan menerima lamaranmu, demi anak ini, meskipun aku sangat malu. Aku ini tidak pantas menjadi seorang istri Alex, pria berpendidikan tinggi. Sekaligus putra anggota dewan, dan putra tunggal seorang bidan, sungguh aku takut akan menjadi aib untuk keluargamu, dan merusak kehormatan keluarga besarmu, Mas, dengan kamu menikahiku, wanita jalang."
Mas Alex menarik tanganku hingga aku jatuh ke dalam pelukannya. Ini terasa amat nyaman, pelukan Mas Alex selalu bisa menenangkan kegalauan di hati ini. Sungguh aku beruntung jika aku memiliki dia, dan menjadi istrinya, dalam keadaan masih suci. Aku akan sangat bangga mempersembahkan kesucianku pada lelaki baik penuh tanggung jawab.
"Kamu bukan aib. Kamu anugerah terindah bagi Mas, apapun keadaan kamu, meski kamu tak suci lagi. Mas akan terima kamu apa adanya," ungkap Mas Alex.
"Ya sudah Mas, ini sudah siang, katanya kamu mau pergi," ucap ku. Seraya melepaskan diri dari pelukannya, aku khawatir ada tetangga yang melihat kami sedang berpelukan, nanti mereka berpikiran macam-macam pada kami.
"Iya Sil, ingat ya. Makan harus teratur, jangan membiarkan perut kosong, minum susunya dua kali sehari, makan buah-buahan, meskipun mual, kamu harus memaksakan diri untuk makan, demi calon bayi kita, asupan nutrisi sangat penting bagi pertumbuhan janin yang kamu kandung, jangan berfikir untuk melenyapkannya. Mas tidak suka! Kita rawat bayi itu dengan cinta, agar dia tumbuh menjadi anak yang membanggakan bagi semua orang."
Ya Tuhan, cinta Mas Alex begitu tulus untukku, dan bayi ini. Luruh air mataku, rasa haru karena ketulusannya, ingin aku menangis di dalam dekapannya, mengeluarkan semua sesak yang selalu menghimpit dada ini.
Mas Alex mendeku di hadapanku, ia meraba perutku kembali, "Hai sayang, makhluk kecil yang ada di dalam sini, papa pamit ya. Jangan nakal! Ingetin mamamu kalau dia gak mau makan, tendang yang keras ya!" seru Mas Alex bicara dengan janin yang ada di dalam kandunganku.
Kutarik tubuhnya agar ia bangkit, "Mas, bangun! Takut ada ibu, takut ada tetangga pula yang melihat kita," pintaku pada Mas Alex yang semakin erat memeluk pinggangku.
"Mas, akan merindukan kalian,"
"Kan cuma dua hari Mas, bukannya besok pagi juga Mas mau mampir dulu ke sini?" sergah ku. Agar Mas Alex melepaskan pelukannya.
"Pasti. Mas akan menjenguk kalian," jawabnya seraya bangkit. Ia memegang bahuku lagi, satu tangannya terangkat mengambil sejumput rambutku dan menyelipkannya di balik telinga.
"Mas ingin segera menghalalkanmu, mas tidak sabar ingin bertemu dan menengok calon bayi kita," ucapan Mas Alex membuat pipiku merona.
"Mas, apa-apaan sih," balasku mengusap wajah yang terasa panas.
"Gak apa-apa. Mas serius, ingin memuliakan kamu, sebagai istri Mas, kamu begitu berharga di hati Mas, Silvi. Meskipun banyak perempuan cantik, yang ibu jodohkan, dan ibu tawarkan untuk menjadi calon istri Mas. Tapi, tak ada satupun yang Mas suka, cuma kamu. Silvi," "Mas, seharusnya kamu menerima perempuan yang ibumu pilihkan, mereka pasti gadis terhormat, pilih salah satunya, bukan aku!" ucapku memalingkan wajah dari tatapannya. Mas Alex meraih tanganku kembali, "Hati tak bisa dipaksakan, apapun yang akan ibu lakukan. Mas tidak peduli. Hanya kamu yang Mas inginkan, dan Mas cintai," "Tapi, mas," "Jangan berpikir tentang ibu, lagi! Kita yang akan menjalani hidup, bukan orang lain. Percaya Silvi, pada cinta yang Mas miliki untuk, kamu!" "Terima kasih Mas, kamu begitu baik padaku, Terima kasih atas cinta yang telah kau berikan padaku, aku sangat beruntung sudah mengenal lelaki sepertimu," ucapku, dengan tangisan haru. Entah kenapa mata ini selalu
Kulakukan 10 "Tunggu Mas, ya! Lusa Mas pasti kembali, dengan janji dan membawa segenap cinta untukmu. Mas akan segera menikahimu," ujarnya yakin dan mantap. "Iya Mas, aku pasti akan menunggumu." Aku tersenyum menatap, wajahnya yang tampan. Mas Alex merogoh saku celananya, yang berada di belakang. "Oh, iya. Susu, masih ada kan?" tanyanya. Membuat ku mengernyit. "Ada, masih banyak, kan kemarin kita belanja segala kebutuhan untukku, sehari sebelum kita kesini, masa Mas sudah lupa, kamu sendiri yang mengantar aku, bahkan Mas yang pilih semua barang keperluanku. Memangnya kenapa, Mas?"
"Iya Mas, aku akan jaga anak ini demi kamu. Tapi, kenapa Mas, kamu begitu menginginkan anak yang ada di dalam kandunganku ini? Padahal kamu tahu ini bukan anakmu," tanyaku ingin tahu. Mas Alex menyunggingkan senyumnya. "Karena Mas mencintai kamu, Mas akan menerima dia sepenuh jiwa, sebagai anak Mas sendiri, tak ada alasan untuk tidak menerima kalian berdua," ungkap Mas Alex, tanpa sedikitpun ada keraguan, dari sikap dan semua ucapannya, membuatku semakin yakin pada kesungguhannya. "Terima kasih Mas, atas cinta yang telah kau berikan padaku, dan segala kebaikanmu." Aku merasa malu pada Mas Alex, dia sudah memberikan segalanya untukku, kasih sayang dan cintanya yang begitu besar. Dia juga selalu memberikan apapun yang aku butuhkan, memang, aku tak pantas untuknya, tapi, aku begitu mencintainya. Aku juga merasa malu padanya, karena aku tak bisa menjaga kehormatan, sebagai seorang wanita. Hanya penyesalan yang terus menggelayut
"Tapi Sil, ibu tuh agak khawatir sama kamu, ibu tak salah lihat kan, tadi Nak Alex mengelus perutmu, jujur sama ibu Nak! Ibu takkan marah, ibu tau, kamu takkan berbuat sehina itu?" ucapan ibu seakan memancing diriku untuk berkata jujur, kemudian ia menggenggam tanganku begitu erat, seraya menatapku dengan tatapan yang amat dalam. Kupalingkan wajahku dari tatapan ibu, menundukkan kepala sembari menggeleng pelan, dan sungguh, aku tak berani menatap mata wanita paruh baya yang duduk di sampingku ini, tatapannya begitu menusuk, membuatku sulit untuk berkilah. "Gak Bu, aku gak hamil, aku bersumpah demi ibu, aku mohon, ibu percaya sama aku! Aku tak mungkin melakukan hal seperti itu," ujarku tanpa menatapnya, tak mampu kupungkiri, hati ini benar-benar tak bisa tenang karena aku menyimpan sejuta kebohongan dalam dada ini. Terpaksa aku berbohong pada ibu, aku takut. Meskipun ibu mengatakan bahwa ia tak akan marah, tapi aku tahu, ia pasti akan sang
"Mas Alex, bagaimana ini? Aku takut, menghadapi Devan, jika tamu itu benar adalah dia?" gumamku sambil duduk di depan cermin merapikan rambut yang agak basah, lalu ku ikat simpul, tak lupa memoles wajah dengan bedak natural white dan lipstik warna alami, agar wajah dan mataku tak terlalu kentara karena aku habis menangis. Kutarik nafas dalam-dalam mempersiapkan diri untuk menemui tamu yang dikatakan oleh ibu. Entah siapakah dia? Aku hanya berharap, semoga saja bukan bajingan itu yang datang menemuiku. Batinku terus saja memohon dengan perasaan yang tak tenang. Dengan hati gundah, kubuka pintu kamar lalu menyibak gorden berwarna merah maroon penutup pintu. Dengan langkah pelan aku berjalan menuju ruang tamu. "Tak ada tamu, mana tamunya?" gumamku sambil mengedarkan pandangan. Apa tamunya tidak diajak masuk oleh ibu? Tapi, itu tidak mungkin, ibu orangnya sangat ramah tamah pada siapapun. Ah, mungkin saja orang itu lebih memilih menungguku di luar menikma
"Silvi, ibu sudah mendengar semuanya." Ibu menggeleng pelan sambil menangis terisak. "Ibu tidak menyangka, apa yang sudah kamu lakukan, ibu sakit hati mendengarnya, Nak ...." Ibu memukul-mukul dadanya yang mungkin terasa sesak setelah mengetahui kehamilanku. Ibu menjeda ucapnya, sambil menyeka air yang terus jatuh begitu deras di pipinya, aku hanya bisa diam dan ikut menangis melihat ibu yang sangat terpukul atas apa yang terjadi padaku, dan apa yang telah aku lakukan. "Bu ...." Aku mencoba menenangkan ibu dengan mengusap bahunya lembut. "Silvi, ibu didik kamu, sekuat tenaga, semampu ibu, menyekolahkanmu, agar kau menjadi orang yang berguna. Setidaknya kamu bisa menjaga kehormatanmu, sebagai seorang perempuan," ucap ibu meremas kerah bajunya, napasnya tersendat-sendat karena tangisnya yang semakin tumpah, tubuh ibu pun luruh terduduk di lantai. "Ibu, maafkan aku, Bu. Semuanya salah orang itu, aku tidak berdaya, Bu ...." Aku menoleh deng
Dengan langkah cepat aku berjalan menuju rumah, menundukkan wajah seraya meremas jemari. Tak enak hati melewati beberapa pasang mata ibu-ibu yang menatapku dengan sudut mata. Saling melempar senyum sinis dan tatapan tak suka.Mereka duduk di teras rumah bercat putih menghadap jalan besar, menatapku dengan tatapan mengintimidasi, mungkin kah mereka sudah tahu keadaanku yang sebenarnya, bahwa aku kini hamil tanpa suami."Pantesan ya. Baru kerja dua bulan saja sudah bisa merenovasi rumah, ternyata dia bekerja sebagai lonte!" ucap ibu bertubuh gemuk yang mengenakan daster batik warna hijau Salem. Tangannya lincah memilih dagangan Bu Tati si rentenir kejam, kini usahanya merambah menjadi penjual baju dengan sistem kredit harian."Iya, Bu-ibu … hutang ke saya aja langsung d
Aku menggeleng sambil memejamkan mata, "Ibu, semua gara-gara kakak. Maafkan kakakmu ini, Sandi. Seno," ucapku penuh sesal, menatap kedua adikku bergantian, "Kalau boleh tahu, ibu di mana? Tolong antarkan kakak!""Apa, yang sudah kakak lakukan pada ibu?" tanya Sandi di bocah berambut cepak berbadan tinggi."Kakak, gak melakukan apapun. Kalian percaya, kan!" jawabku menutupi kebenaran dari kedua adik laki-lakiku. Aku tidak mau, mereka sampai tahu, karena mereka masih terlalu cepat untuk mengetahui kondisiku saat ini."Kalau, kakak tidak melakukan apa-apa? Kenapa ibu bisa menangis?" Seno berucap kembali, menatapku mencari jawaban, tatapan ibanya yang tadi memenuhi ruang di matanya, kini berubah menjadi tatapan menelisik.