Share

Kesungguhan

"Gak apa-apa. Mas serius, ingin memuliakan kamu, sebagai istri Mas, kamu begitu berharga di hati Mas, Silvi. Meskipun banyak perempuan cantik, yang ibu jodohkan, dan ibu tawarkan untuk menjadi calon istri Mas. Tapi, tak ada satupun yang Mas suka, cuma kamu. Silvi,"

"Mas, seharusnya kamu menerima perempuan yang ibumu pilihkan, mereka pasti gadis terhormat, pilih salah satunya, bukan aku!" ucapku memalingkan wajah dari tatapannya.

Mas Alex meraih tanganku kembali, "Hati tak bisa dipaksakan, apapun yang akan ibu lakukan. Mas tidak peduli. Hanya kamu yang Mas inginkan, dan Mas cintai,"

"Tapi, mas,"

"Jangan berpikir tentang ibu, lagi! Kita yang akan menjalani hidup, bukan orang lain. Percaya Silvi, pada cinta yang Mas miliki untuk, kamu!"

"Terima kasih Mas, kamu begitu baik padaku, Terima kasih atas cinta yang telah kau berikan padaku, aku sangat beruntung sudah mengenal lelaki sepertimu," ucapku, dengan tangisan haru. Entah kenapa mata ini selalu meneteskan buliran bening ketika mendengar kata cinta yang tulus dari bibir Mas Alex.

"Loh, kok nangis lagi?" Tangan kanan Mas Alex terangkat dan memegang bahuku, ia menundukkan wajahnya menatapku. "Ada yang salah ya, dengan ucapan Mas?" imbuhnya sambil mengerutkan kening, pasang raut wajah bingung.

"Ehek, enggak kok, gak ada yang salah," jawabku berusaha tersenyum.

"Mas tahu, pasti kamu gak mau kan, ditinggal, sama Mas, kamu gak mau pisah, ngaku, loh ...!" gurau Mas Alex dengan suara lembut nan menggoda. Membuatku tersipu malu, dan mencairkan suasana.

"Ih … Mas Alex, bisa aja," sanggahku, sembari memberengut.

"Emang iya kan, gak usah malu-malu! Mas paham, kamu pasti akan sangat merindukan Mas, kan? Dan tak mau ditinggal Mas pergi? Tenang, cuma dua hari kok, nanti juga kita pasti bertemu lagi, kalau tak ada halangan, besok Mas akan datang untuk memastikan bahwa kamu dalam keadaan baik-baik saja, sepulang dari Bandung," ucap Mas Alex, dia menyibak rambutku, yang jatuh ke pipi, kemudian menyelipkannya ke belakang telingaku.

Aku begitu canggung, dengan sikapnya yang seperti ini, kugigit bibir untuk menetralkan detak jantungku yang tak karuan.

"Mas, jangan membuatku malu," protesku. Dia mengapit dagu, lalu mengangkat wajahku, hingga kami saling bersitatap. Jantungku berpacu dengan cepat saat dia menatapku, ada rasa cinta di hati ini, tak bisa mengelak aku memang mencintai dia, tapi aku malu, dan tak pantas untuk mengakuinya.

"Malu kenapa? Kamu kan calon istri Mas, wajar kalau kamu merindukan Mas, asal jangan merindukan lelaki lain!" Kutundukkan kepalaku, aku merasa kikuk, mendengar gurauannya, yang memang benar adanya, aku merasa akan kehilangan seseorang, dan akan sangat merindukan dia, rasanya berat hatiku ini untuk melepas Mas Alex.

Ada perasaan takut yang menghantui pikiranku, bila jauh dari Mas Alex, entah apa yang ada dalam benakku. Entah apa yang aku takutkan. Aku sendiri pun tidak mengerti.

"Gak, bukan itu Mas, aku cuma sedikit agak sedih dan khawatir, aku harus bagaimana jika ibu mencurigai bahwa aku ini sedang mengandung," ujarku gusar.

Tangan kiri Mas Alex terangkat, lalu kedua tangannya memegang kedua bahuku, dan mencondongkan tubuhnya ke arahku, dia menatapku begitu dalam. Tersirat ada sebuah cinta yang besar di dalam sana, aku bisa melihat dari sorot matanya yang begitu tajam.

"Tidak usah takut, dan tetap diam, jangan sampai ibumu tahu soal ini! Lusa Mas akan kembali, membawa orang tua Mas, untuk melamar kamu, kalau bisa kita langsung menikah!" ucap Mas Alex dengan tatapan penuh keyakinan.

"Iya," lirihku, seraya menarik nafas pelan, dibarengi dengan anggukan kecil.

"Oh, iya Mas lupa, ada sesuatu untuk kamu," ucapnya, sembari melepaskan tangannya dari bahuku.

"Memangnya, apa yang lupa?" tanyaku, mengernyitkan dahi, tak mengerti apa maksud dari ucapannya.

"Sebentar." Mas Alex maju melangkah ke arah mobilnya, yang terparkir di tepian jalan depan rumahku, dia membuka kap belakang, dan membungkukkan badannya, entah apa yang dia ambil dari dalam bagasi. Ia berdiri tegak lalu kembali menutup kap mobil.

"Buat siapa itu Mas?" tanyaku ingin tahu. Mas Alex berjalan dengan senyuman yang tak lepas dari bibirnya, kedua tangannya memegang benda besar berbulu.

"Ini untukmu, untuk teman kamu tidur, biar kamu tidak kedinginan, dan kesepian, jika kamu merindukan Mas, ajak ngobrol dia saja! Sebagai ganti Mas," ucap Mas Alex, seraya menyodorkan sebuah boneka beruang kutub, yang ukurannya lebih besar daripada tubuhku.

"Untuk apa Mas? Aku bukan anak kecil," sergahku. Mas Alex tersenyum simpul.

"Memang kamu bukan anak kecil, tapi, setidaknya ini akan bisa mengobati rindumu terhadap Mas, meskipun dia tidak bernyawa, dan tak bisa bicara. Namun, jika kamu ingin berbagi keluh kesah, kalau satu waktu Mas tak bisa dihubungi, karena sedang sibuk dengan pekerjaan, cerita lah dengan beruang ini! Dia bisa jaga rahasia kamu, semua keluh kesahmu, pasti akan dia dengarkan, dan Mas jamin, dia aman gak akan membocorkan semua rahasiamu, anggap saja ini adalah Mas," ucap Mas Alex, membuat hatiku bergetar. Seolah dia akan pergi lama dariku, padahal ia mengatakan bahwa lusa juga akan kembali. Mendengar ucapannya membuatku khawatir.

Jauh dari Mas Alex, membuat sesak di hati ini semakin terasa. Aku butuh teman ngobrol, untuk mengurangi beban berat yang menghimpit dadaku. Meskipun aku sudah mengungkapkan semuanya kepada Mas Alex berulang kali. Namun, tetap saja, kadang kala, aku ingin bercerita tentang kehidupanku yang pahit ini tanpa henti.

Rasanya, tak cukup meski beberapa ratus kali aku mengungkapkan penyesalan, yang pernah aku perbuat, karena kepolosan ku, berapa tetes air mataku yang sudah aku tumpahkan, tak kunjung meringankan rasa sakit yang terus menggerogoti jiwa dan pikiranku.

"Terima kasih Mas," jawabku sembari menerima boneka beruang kutub itu dengan senang hati, kupeluk erat, air mataku, tumpah kembali tak terasa membanjiri boneka yang aku peluk, hingga basah.

"Mas, ingin jadi boneka itu," ungkap Mas Alex.

"Apa maksudmu Mas?" tanyaku, mengangkat wajah dan menatapnya.

"Mas, iri sama boneka itu. Mas yang ngasih, kok si Bernard bear yang dipeluk, seharusnya Mas dong yang kamu peluk!" gurauannya lagi dengan kekehan.

"Ih. Mas Alex gitu, selalu saja bikin aku malu," rengekku, dengan bibir mengerucut.

"Senyum dong! Kalau cemberut gitu, nanti cantiknya hilang." Mas Alex mencubit pelan pipiku.

"Terima kasih Mas, kamu sudah membuatku tersenyum, kamu selalu ada untukku, entah harus berapa ratus kali aku mengucapkan terima kasih kepada mu,"

"Untuk apa berterima kasih? Mas senang melihatmu tersenyum. Mas malah sedih, jika melihat wajahmu yang selalu murung."

Hanya air mata yang bisa kuteteskan, sebagai bentuk rasa syukur dan bahagia, atas kehadiran Mas Alex dalam hidupku, dan memberi semangat padaku untuk melanjutkan kehidupan ini.

"Mas, jika tidak ada kamu, entah apa yang akan terjadi padaku, mungkin saja aku sudah mengakhiri semuanya, dan meninggalkan dunia ini,"

"Tapi maaf. Mas terlambat menolong kamu, dua bulan Mas mencari kamu, dan menanyakan kabarmu kepada semua karyawan cafe, tak ada yang tahu. Mas juga bertanya pada teman dekatmu yang bernama Ridha itu, tapi dia bungkam, dia selalu menghindar dari Mas, setiap kali Mas menanyakan tentangmu, entah kenapa?"

"Iya Mas, mungkin saja dia diancam oleh Devan, agar dia tak mengatakan apapun tentangku pada siapa-siapa," tukasku.

Devan Pria kaya raya tapi bobrok akhlak. Dia yang telah menjebakku, dan bisa berbuat apa saja semaunya, mungkin saja Mbak Ridha diancam karena dia tahu bahwa aku adalah teman dekatnya, agar dia tidak mengatakan bahwa aku berada di rumah Devan, dan disekap selama beberapa bulan.

"Sil. Mas akan usut kasus kamu, biar Devan di penjara atas perbuatannya, padamu," ucap Mas Alex geram.

"Jangan Mas, itu tidak perlu! Biarkan saja, lagipula, itu salahku, aku yang datang ke rumahnya, untuk meminta pekerjaan, berulang kali dia bertanya untuk meyakinkanku, aku pun memantapkan hati, tekadku hanya satu, membahagiakan orang tua, dan adik-adik, tanpa peduli apa pekerjaan yang harus aku lakoni,"

"Tapi, kenapa kamu langsung menerima tawarannya? Tanpa pikir dulu?"

"Itu sangat mendesak Mas, satu Minggu lagi jatuh tempo hutang ibu pada Bu Tati, yang jumlahnya mencapai puluhan juta, sedangkan aku. Aku hanya punya uang satu juta, terpaksa meminta bantuan Devan, dan meminta pekerjaan apapun yang ia berikan, akan kuambil, tanpa pikir panjang lagi,"

"Tapi kenapa kamu tidak berpikir ke situ? Kenapa langsung terima tawarannya?" ucap Mas Alex dengan suara rendah.

"Di lubuk hatiku, tak pernah terbesit sedikitpun, bahwa tawaran dari Devan itu, adalah tawaran yang hina, jika aku tahu, aku akan dijadikan pelacurnya, aku tidak akan mau, meski di iming-imingi uang yang sangat banyak, tapi itu terlanjur sudah terjadi, aku hanya bisa menerima nasibku menjadi seorang jalang,"

"Sudah, sudah. Jangan dibahas lagi! Dan jangan sesekali mengutuk diri dan jangan menyebut dirimu jalang!" Mas Alex merengkuh pundakku, kemudian mencium puncak kepalaku dengan lembut, tubuhku seketika membeku, ada getaran kuat di dalam hati saat dia meluapkan kasih sayangnya.

"Jangan diingat-ingat lagi, singkirkan pikiran itu dari otakmu, sebaiknya pikirkan masa depan kita!" imbuh Mas Alex.

Aku sungguh merasa bahagia, tak pernah kurasakan kebahagiaan ini sebelumnya, aku telah jatuh cinta pada Mas Alex, semoga saja niatku dan Mas Alex dikabulkan oleh Tuhan, membina rumah tangga, dan membesarkan anak yang kini menunggu untuk aku lahirkan.

Dan semoga orang tua Mas Alex kali ini mau menerimaku sebagai calon menantunya, meskipun latar belakangku begitu kelam.

"Iya, Mas, demi kamu aku akan melupakan semuanya. Aku akan fokus menjaga anak ini, itu semua karena kamu, Mas, yang menguatkan hati dan jiwaku,"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Dinda Febrian
Moga Silvi bisa bahagia
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status