Erlangga tersenyum dan menoleh ke arah pendekar berjanggut tebal itu. "Aku diajarkan oleh ayahku, untuk selalu menolong orang yang sedang kesusahan," ujar Erlangga.
Anggadita tampak kagum dengan budi pekerti yang ditunjukkan oleh pendekar muda itu.
Anggadita tersenyum dan langsung memeluk tubuh Erlangga seraya berkata lirih,"Hari ini, aku sudah menemukan pendekar muda sejati," desisnya.
Setelah itu, Anggadita langsung mengajak Erlangga untuk singgah di gubuknya, sebelum Erlangga melanjutkan perjalanan menuju Padepokan Kumbang Hitam yang ada di puncak bukit tersebut.
"Di hutan ini aku sudah membangun sebuah gubuk kecil sebagai tempat tinggalku. Sebaiknya kau ikut denganku!"
Dengan senang hati, Erlangga pun mengikuti ajakan pendekar setengah baya itu. "Baiklah, aku akan beristirahat sejenak di gubukmu," kata Erlangga ambil tersenyum lebar.
Erlangga langsung membantu Anggadita bangkit. Setelah itu, mereka langsung melangkah ke arah selatan dari tempat tersebut, menuju ke sebuah gubuk yang menjadi tempat tinggal Anggadita selama berada di hutan itu.
"Ini tempat tinggalmu, Ki Sanak?" tanya Erlangga setelah tiba di depan gubuk kecil yang berdiri kokoh di tengah hutan belantara.
"Iya, Pendekar. Mari kita istirahat!" jawab Anggadita.
Erlangga hanya mengangguk dan langsung berjalan mengikuti langkah Anggadita menuju beranda gubuk tersebut.
"Silakan duduk, Pendekar!" kata Anggadita.
"Terima kasih, Ki Sanak," ucap Erlangga langsung duduk, "Ki Sanak istirahat saja dulu!" sambungnya.
Anggadita hanya mengangguk pelan, dia masih dalam kondisi lemah dan masih meringis-ringis menahan rasa sakit akibat terkena pukulan Erlangga. Pukulan keras dari Erlangga menyebabkan Anggadita mengalami luka dalam yang lumayan parah.
"Sepertinya, Ki Sanak masih merasa kesakitan?" tanya Erlangga meluruskan pandangannya ke wajah Anggadita.
"Iya, Pendekar. Tapi, tidak terlalu sakit."
"Aku pastikan esok pagi Ki Sanak sudah pulih. Aku mohon maaf sudah melukai Ki Sanak," kata Erlangga lirih.
"Aku percaya dengan ilmu pengobatan yang kau miliki," ujar Anggadita tersenyum menatap wajah Erlangga.
Setelah itu, Anggadita meminta kepada Erlangga agar memasak singkong yang sudah tersedia di gubuknya. Sebagai persiapan untuk makan mereka.
"Ada singkong dan beberapa sisir pisang, sebaiknya kau masak saja pendekar. Dadaku masih sakit," kata Anggadita lirih.
"Ya sudah, Ki Sanak istirahat saja. Aku akan memasak air dan juga merebus singkong dan pisang!" jawab Erlangga bangkit dari duduknya. Kemudian, ia langsung mencari kayu bakar yang ada di sekitar gubuk tersebut.
Anggadita merebahkan tubuh di atas bebalean sembari menahan rasa sakit di bagian dadanya.
"Pendekar itu ternyata mempunyai kesaktian tinggi, aku tak kuasa menandingi kesaktiannya," bisik Anggadita berdecak kagum dan ia merasa dirinya tidak ada artinya di hadapan Erlangga.
****Keesokan harinya ....Erlangga sudah melakukan latihan di halaman gubuk. Anggadita tampak kagum melihat gerakan-gerakan yang diperagakan oleh Erlangga dalam mengolah ilmu kanuragannya.
"Ilmu bela dirimu hebat, Erlangga," teriak Anggadita yang sudah terlihat pulih.
Erlangga menghentikan gerakkannya, kemudian meloncat tinggi dan mendarat dengan sempurna di hadapan pendekar setengah baya itu.
"Ki Sanak sudah pulih?" tanya Erlangga mengusap peluh di wajah dengan menggunakan sehelai kain.
Anggadita tersenyum, lalu menjawab lirih pertanyaan Erlangga, "Dari semalam rasa sakit di bagian dadaku ini sudah tidak terasa lagi. Terima kasih, Pendekar."
"Syukurlah kalau memang seperti itu. Nanti siang aku akan melanjutkan perjalanan menuju Padepokan Kumbang Hitam." Erlangga langsung duduk di sebelah Anggadita.
"Aku ikut, Pendekar!" kata Anggadita meluruskan pandangannya ke wajah Erlangga.
Erlangga tersenyum, lalu menganggukkan kepala tanda setuju dengan permintaan Anggadita yang ingin ikut bersamanya menuju Padepokan Kumbang Hitam.
Anggadita tampak semringah dan merasa senang, karena Erlangga tidak keberatan jika dirinya ikut.
"Terima kasih, Pendekar," ucap Anggadita tersenyum-senyum.
Sebelum berangkat ke padepokan yang mereka tuju, kedua pendekar itu melakukan perburuan terlebih dahulu di sekitaran hutan yang tidak jauh dari gubuk itu.
Anggadita memburu rusa dengan menggunakan tombak seperti yang sering dia lakukan dalam kesehariannya selama tinggal di hutan tersebut. Dia sangat mahir dalam melakukan perburuan, begitu juga dengan Erlangga, hingga mereka mendapatkan dua ekor rusa hanya dalam waktu sekejap saja.
"Ayo, kita pulang!" ajak Anggadita sembari menenteng dua ekor rusa berukuran sedang hasil buruannya itu.
"Biarkan aku yang membawanya!" pinta Erlangga.
Anggadita langsung menyerahkan dua ekor hasil buruannya itu kepada Erlangga, kemudian mereka langsung melangkah menuju ke arah gubuk yang jaraknya tidak jauh dari tempat mereka berburu.
Baru beberapa langkah saja, kedua pendekar itu dikagetkan dengan munculnya seekor harimau buas berukuran besar. Secara tiba-tiba, harimau itu keluar dari semak belukar dan langsung menghadang perjalanan Erlangga dan Anggadita.
Anggadita sudah melakukan ancang-ancang, bersiap untuk menyerang seekor harimau berukuran besar itu.
"Tahan, Ki Sanak!" cegah Erlangga, "biarkan aku yang menghadapinya!" sambungnya meletakkan dua ekor rusa hasil buruannya di atas tanah.
Erlangga sudah paham dalam mengahadapi binatang buas di hutan belantara. Karena sedari kecil, ia sudah terlatih dan sudah bisa beradaptasi dengan berbagai jenis binatang buas yang ada di hutan termasuk dengan harimau.
Harimau tersebut menggeliat, dia mengangkat kepalanya dan juga menunjukkan taringnya yang tajam, lalu mengaum. Tampak jelas bahwa harimau tersebut sedang dalam kondisi lapar.
"Hati-hati, Erlangga!" teriak Anggadita tampak khawatir dan cemas melihat Erlangga sudah berhadap-hadapan dengan binatang paling ditakuti itu.
Entah apa yang dilakukan oleh Erlangga saat itu, ia mulai melakukan interaksi dengan harimau tersebut.
Sikap Erlangga membuat Anggadita tercengang dan terheran-heran. Anggadita pun kagum dengan kemampuan yang dimiliki oleh Erlangga, karena bisa berkomunikasi dengan seekor binatang buas.
"Aku harap kau pergi dan jangan menghadang perjalananku!" pinta Erlangga berbicara kepada harimau tersebut.
Erlangga sedikit merunduk, kemudian meraih seekor rusa yang baru saja ia dapatkan dari hasil buruannya bersama Anggadita. Kemudian melempar seekor rusa yang sudah mati itu ke arah harimau tersebut.
Sontak harimau itu langsung menyambarnya dan membawa lari rusa tersebut masuk kembali ke dalam semak belukar.
"Ya ampun, kenapa rusa itu kau berikan kepada harimau itu?" tanya Anggadita melangkah menghampiri Erlangga.
Anggadita bingung dengan keputusan Erlangga yang sudah memberikan hasil buruannya itu kepada sang Harimau.
"Jatah kita hanya satu untuk hari ini, itu sudah cukup. Jangan melawan kodrat, Dewata akan murka!" ujar Erlangga meraih satu ekor rusa yang tersisa, kemudian melanjutkan perjalanan menuju gubuk tempat tinggal Anggadita.
Anggadita hanya geleng-geleng kepala saja, dia tidak banyak bicara lagi dan langsung berjalan mengikuti langkah Erlangga.
"Kepada binatang saja sudah baik, apalagi kepada manusia," desis Anggadita berdecak kagum melihat sikap baik yang ditunjukkan oleh Erlangga.
Setibanya di gubuk, mereka langsung membersihkan rusa tersebut dengan cara disembelih terlebih dahulu kemudian dicuci bersih dan langsung mereka panggang guling di atas bara api di samping gubuk.
Setelah rusa tersebut matang, mereka langsung makan bersama. Anggadita tampak lahap dan menikmati empuknya daging rusa hasil buruannya.
Tanpa ia sengaja tangannya menyentuh sebilah pedang milik Erlangga, Anggadita mengamati bentuk pedang tersebut."Aku mengenal pedang ini," kata Anggadita berpaling ke arah Erlangga.
Mendengar perkataan Anggadita, Erlangga tersenyum kemudian berkata lirih, "Apakah kau tahu, siapa pembuat pedang ini?" tanya Erlangga balas memandang wajah pendekar berjanggut tebal itu.
"Pembuat pedang ini adalah Mpu Surya Wisesa dari kerajaan Randakala dan pemiliknya adalah Prabu Sanjaya, raja pertama kerajaan Kuta Tandingan." Anggadita menjawab pertanyaan Erlangga sambil mengamati pedang tersebut, "tapi ... kenapa pedang ini bisa berada di tanganmu, seharusnya, hanya keturunan dari Prabu Sanjaya saja yang bisa memiliki pedang ini?" sambung Anggadita mengerutkan kening.
Erlangga tersenyum dan meletakkan tangan kirinya di atas pundak Anggadita.
"Nanti, Ki Sanak akan tahu sendiri siapa aku ini," kata Erlangga kembali melanjutkan makannya.
Anggadita tampak penasaran mendengar ucapan Erlangga. 'Aku curiga, apakah pemuda ini merupakan keturunan Prabu Sanjaya?' kata Anggadita dalam hati. 'Aku harus mencari tahu, siapakah sebenarnya pemuda ini,' sambungnya.
Selesai makan, kedua pendekar itu langsung bersiap hendak melakukan perjalanan mereka menuju Padepokan Kumbang Hitam yang ada di puncak bukit tidak jauh dari tempat tersebut. Mereka mempunyai tujuan yang sama hendak menemui pemimpin padepokan tersebut.
"Ayo, Ki Sanak. Kita berangkat sekarang!" ajak Erlangga bangkit dari duduknya.
"Baiklah, Pangeran," jawab Anggadita mengejutkan.
"Pangeran?" tanya Erlangga mengangkat alis tinggi, dia tampak heran kenapa Anggadita bisa tahu kalau dirinya itu merupakan seorang pangeran.
'Anggadita tahu dari mana kalau aku ini seorang pangeran?' kata Erlangga dalam hati.
"Iya, kau adalah Pangeran." Anggadita bersimpuh di hadapan Erlangga seraya memberi hormat kepada pendekar muda itu, "seperti apa yang aku duga sebelumnya, kau ternyata pangeran dari kerajaan Kuta Tandingan yang selama ini aku cari," sambungnya bersikap hormat terhadap Erlangga.
Erlangga mengerutkan keningnya, lalu bertanya lagi, "Kau tahu dari mana jika aku ini seorang pangeran?"
Anggadita menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab pertanyaan Erlangga, "Aku tahu dari pedang pusakamu, Pangeran." 'Siapa sebenarnya Anggadita ini? Mengapa dia mengetahui pedangku?' batin Erlangga bertanya-tanya. "Tak ada orang lain yang bisa memiliki pedang itu, kecuali orang-orang yang memiliki garis keturunan dengan sang raja," tandas Anggadita melanjutkan perkataannya. "Ya sudah, sekarang kau sudah tahu siapa aku sebenarnya. Aku harap kau bisa membantuku untuk merahasiakan identitasku ini!" pinta Erlangga tersenyum lebar menatap wajah Anggadita. "Baiklah, Pangeran." Anggadita tampak semringah setelah mendengar pengakuan Erlangga bahwa dirinya memang seorang putra mahkota kerajaan Kuta Tandingan seperti apa yang dia duga sebelumnya. Setelah itu, mereka langsung melakukan perjalanan menuju ke Padepokan Kumbang Hitam. Mereka tidak peduli dengan panasnya terik matahari yang menyengat, derasnya peluh terus bercucuran dari wajah kedua pendekar itu. Sepanjang perjalanan, Anggadita s
Para pendekar itu langsung menangkap Erlangga dan Anggadita tanpa perlawanan. Kemudian langsung mengikat tangan kedua pendekar itu dengan seutas tali. Setelah itu, mereka langsung membawa Erlangga dan Anggadita ke padepokan untuk dihadapkan langsung kepada Ki Bayu Seta—guru besar padepokan tersebut. Erlangga dan Anggadita sedikit pun tidak melakukan perlawanan, mereka hanya pasrah melangkah dengan tangan diikat dan digiring oleh belasan pendekar menuju ke arah padepokan. Setibanya di padepokan, salah seorang pendekar yang sudah ikut menangkap Erlangga dan Anggadita, langsung memberitahu guru mereka yang saat itu sedang berada di dalam padepokan tersebut. “Guru, kami telah berhasil menangkap dua orang pendekar yang diduga kuat sebagai mata-mata,” kata pendekar itu sambil menjura kepada sang guru. Pendekar tersebut adalah Aryadana, ia merupakan murid senior di Padepokan Kumbang Hitam, yang dipercaya sebagai pemimpin para murid padepokan tersebut. Ki Bayu Seta tertawa kecil menanggap
Menjelang tengah hari, Aryadana dan Anggadita serta dua rekannya sudah tiba di saung padepokan, mereka membawa tiga ekor rusa hasil buruan mereka. Wajah Aryadana dan ketiga rekannya tampak semringah. Kedatangan mereka disambut hangat dengan penuh kegembiraan oleh para murid yang ada di padepokan itu."Anggadita!" panggil Erlangga. "Iya, Pangeran," sahut Anggadita, ia langsung menyerahkan busur panah kepada salah satu murid padepokan tersebut. "Tolong simpan ini, aku mau menghadap Pangeran Erlangga!" "Baik, Ki," jawab seorang murid padepokan langsung meraih panah dari tangan Anggadita. Setelah itu, Anggadita bergegas melangkah menghampiri Erlangga yang berdiri di depan saung aula padepokan yang tidak jauh dari kamarnya. "Ada apa, Pangeran?" tanya Anggadita meluruskan pandangannya ke wajah Erlangga. "Temani aku, ke tempat yang kemarin aku ceritakan!" jawab Erlan
Setibanya di dalam istana, Erlangga dan Anggadita dijamu meriah dengan berbagai makanan dan minuman. Mereka berdua diperlakukan layaknya tamu kehormatan kerajaan tersebut. Tak hanya itu, Erlangga dan Anggadita diberikan penghormatan khusus dari kerajaan dan didaulat sebagai tamu agung. "Pangeran jangan khawatir, buah-buahan dan makanan serta minuman yang aku hidangkan ini. Bukan makanan jin, melainkan makanan manusia khusus untuk Pangeran dan sahabat Pangeran!" tandas Prabu Wanakerta meyakinkan Erlangga yang tampak ragu menikmati hidangan yang sudah disuguhkan oleh para dayang istana kerajaan gaib itu. "Baiklah, Prabu. Aku percaya," sahut Erlangga tersenyum lebar. "Aku sudah tahu maksud dan niat Pangeran datang ke wilayah kerajaanku," ucap Wanakerta tersenyum lebar memandang wajah Erlangga. Erlangga menoleh ke arah Anggadita, mereka saling bertatapan. Sejatinya mereka merasa heran dengan pernyataan dar
Kemudian ia langsung mengajak Anggadita untuk segera melangkah ke padepokan dan mengabarkan kejadian yang mereka alami kepada Ki Bayu Seta yang saat itu sedang dirundung kecemasan dan kekhawatiran terhadap mereka berdua yang sudah delapan hari menghilang tanpa jejak. Setibanya di gerbang padepokan, Erlangga dan Anggadita disambut riang gembira oleh para murid padepokan tersebut. "Lihatlah! Pangeran sudah kembali!" teriak salah seorang murid padepokan berlari masuk ke dalam padepokan hendak memberitahukan sang guru tentang kedatangan Erlangga dan Anggadita. "Guru, Pangeran dan Anggadita sudah kembali," kata salah seorang murid memberitahukan Ki Bayu Seta tentang kedatangan Erlangga dan Anggadita. Ki Bayu Seta tampak bahagia, kemudian bangkit dan langsung melangkah keluar menuju ke beranda padepokan. Di halaman padepokan Erlangga dan Anggadita sedang dikerumuni oleh para murid padepokan. Mereka tampak riang gembira menyambut hangat kembalinya Er
Para prajurit tersebut langsung melaporkan kejadian yang mereka alami kepada Prabu Rawinta—seorang penguasa tamak dan keji itu. "Hanya menangkap seorang pendekar saja kalian tidak becus!" bentak Prabu Rawinta murka terhadap para prajuritnya. Setelah itu, Prabu Rawinta langsung memerintahkan Jaya Menda yang menjabat sebagai panglima perang di kerajaan tersebut, untuk segera melakukan penyisiran ke setiap pelosok desa dan dusun-dusun yang ada di wilayah kerajaan Kuta Tandingan. Jaya Menda bergerak cepat dalam melaksanakan titah rajanya itu. Ia mengumpulkan para prajurit dan langsung membagi tugas serta membentuk beberapa kelompok pasukan yang akan disebar ke seluruh wilayah kerajaan tersebut, dalam rangka melakukan pencarian Randu Aji yang sudah membuat kegaduhan dengan melakukan banyak teror membantai para prajurit kerajaan Kuta Tandingan. Hal tersebut ternyata diketahui oleh Prabu Wanake
Setelah mengetahui identitas pendekar bertopeng itu, Senapati Sulima diperintahkan oleh Prabu Wanakerta untuk segera menyampaikan kabar tersebut kepada Erlangga. "Sebaiknya kau segera menyampaikan kabar ini kepada Pangeran Erlangga!" perintah Prabu Wanakerta mengarah kepada senapatinya. "Baik, Gusti Prabu. Hamba akan segera menemui Pangeran Erlangga sekarang," jawab Senapati Sulima. Senapati Sulima langsung pamit kepada Prabu Wanakerta dan berlalu dari hadapan sang raja. Senapati Sulima saat itu juga langsung menjumpai Erlangga di Padepokan Kumbang Hitam, hendak memberitahu Erlangga tentang kesiapan Randu Aji untuk bergabung dengan para pendekar yang ada di Padepokan Kumbang Hitam. "Dugaanku ternyata benar, pendekar bertopeng itu adalah putra Paman Rumi," kata Erlangga berbicara di hadapan Senapati Sulima. "Dia sangat kuat dan mempunyai ilmu mirip dengan ilmu yang dimil
Randu Aji dan kedua rekannya tertawa lepas melihat sikap Sugriwa berlari kencang karena merasa takut dengan gertakannya. "Aku kira nyalinya Sugriwa sebesar badannya," seloroh Soarna tak hentinya tertawa. Randu Aji sedikit menepuk pundak Soarna. "Kita sore ini langsung ke Padepokan Kumbang Hitam, kalian siapkan perbekalan untuk di jalan!" kata Randu Aji melangkah kembali menuju ke arah hutan. "Kira-kira tempatnya jauh tidak dari sini?" tanya Soarna sembari terus berjalan mengikuti langkah sahabatnya itu. "Lumayan jauh diperkirakan kita sampai ke sana menjelang senja," jawab Randu Aji mengarah kepada Soarna. "Kita akan hidup enak di sana tanpa harus seperti ini lagi," sambung Randu Aji terus melangkah menyusuri jalan setapak menuju tempat tinggal mereka yang berada di dalam hutan tersebut. Setibanya di sebuah gubuk yang berdiri kokoh di tengah hutan belantara, Randu Aji meminta kedua sahabatnya u