Share

3. Erlangga dan Anggadita Ditangkap Para Pendekar Kumbang Hitam

Anggadita menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab pertanyaan Erlangga, "Aku tahu dari pedang pusakamu, Pangeran."

'Siapa sebenarnya Anggadita ini? Mengapa dia mengetahui pedangku?' batin Erlangga bertanya-tanya.

"Tak ada orang lain yang bisa memiliki pedang itu, kecuali orang-orang yang memiliki garis keturunan dengan sang raja," tandas Anggadita melanjutkan perkataannya.

"Ya sudah, sekarang kau sudah tahu siapa aku sebenarnya. Aku harap kau bisa membantuku untuk merahasiakan identitasku ini!" pinta Erlangga tersenyum lebar menatap wajah Anggadita.

"Baiklah, Pangeran." Anggadita tampak semringah setelah mendengar pengakuan Erlangga bahwa dirinya memang seorang putra mahkota kerajaan Kuta Tandingan seperti apa yang dia duga sebelumnya.

Setelah itu, mereka langsung melakukan perjalanan menuju ke Padepokan Kumbang Hitam. Mereka tidak peduli dengan panasnya terik matahari yang menyengat, derasnya peluh terus bercucuran dari wajah kedua pendekar itu.

Sepanjang perjalanan, Anggadita sangat mengeluhkan jalanan yang sukar untuk dilewati dengan banyaknya tanaman liar berduri yang menghalangi jalan, membuat Anggadita kelelahan. Bahkan, kaki dan tangannya pun sudah dipenuhi luka goresan kecil karena seringnya menyentuh tanaman-tanaman liar tersebut.

Dalam perjalanan itu, Anggadita harus berjibaku menebas pepohonan yang menghalangi jalan yang hendak dilaluinya. Sementara Erlangga hanya tersenyum-senyum saja dari belakang melihat sikap kawan barunya itu.

"Kalau kau sudah lelah, alangkah baiknya kita istirahat saja dulu!" ajak Erlangga lirih. Erlangga mengerti dengan kondisi Anggadita yang sudah kelelahan.

Mendengar ajakan Erlangga, Anggadita tampak senang dan menyambut baik saran dari kawannya itu. "Ya sudah, kita istirahat di sana saja!" jawab Anggadita menunjuk salah satu tempat di bawah pohon besar di bahu jalan tersebut.

"Baiklah." Erlangga mengangguk dan langsung melangkah ke tempat yang ditunjukkan oleh kawannya itu.

Anggadita berjalan terseok-seok, dia mulai merasa lelah berjalan mengikuti langkah Erlangga dari belakang, pandangannya mulai redup tertutup peluh yang terus mengalir dari keningnya.

Setelah sampai di tempat yang dituju, Erlangga langsung duduk bersandar di pohon yang rindang. Bukan hanya Anggadita saja yang merasa kelelahan, Erlangga pun sudah tampak lemas dan sudah terkuras tenaganya.

"Persediaan air minum kita sudah habis," desis Anggadita sembari bersandar ke sebuah pohon.

Anggadita duduk lemah di hadapan Erlangga, tampak dari keningnya bercucuran peluh membasahi wajahnya.

Erlangga bangkit, kemudian meraih batang bambu berukuran sekitar dua jengkal telapak tangannya. Batang bambu tersebut, biasa ia gunakan sebagai wadah untuk air minum.

"Kau mau ke mana, Pangeran?" tanya Anggadita dengan napas terengah-engah.

"Aku mau mencari air minum, kau tunggu di sini saja, jangan kemana-mana!" jawab Erlangga bergegas melangkah untuk mencari sumber air terdekat di hutan tersebut.

"Hati-hati, Pangeran!" teriak Anggadita.

"Iya," sahut Erlangga tanpa menoleh.

Erlangga turun menyusuri lebatnya hutan sembari menebas pepohonan yang menghalangi jalan.

Setibanya di bawah, tampak sebuah sungai dengan air jernih mengalir dari pegunungan yang tidak jauh dari perbukitan itu.

"Syukurlah masih ada sumber air yang dapat aku temukan di tempat ini," desis Erlangga melangkah mendekati sungai tersebut.

Ketika dirinya mulai berjongkok untuk meraih air. Tiba-tiba, terdengar suara tertawa dari arah belakang.

"Hahaha ...!" Suaranya terdengar menggema parau dan membuat gaduh telinga.

Setelah mengambil air, Erlangga bangkit dan langsung membalikkan badan ke arah belakang. Dilihatnya sesosok makhluk berambut gimbal dan mempunyai gigi bertaring sedang berdiri tegak di atas dahan pohon besar yang ada di pinggiran sungai itu.

"Siapa kau ini?" tanya Erlangga tetap bersikap santai dalam menghadapi makhluk menyeramkan itu.

Tanpa menjawab, makhluk itu meloncat dan mendarat tepat di hadapan Erlangga.

Berkatalah ia dengan nada tinggi, "Aku adalah Sulima jin penguasa tempat ini," jawab makhluk itu, "kau telah melanggar ketentuan di tempat ini," tambahnya dengan sorot mata tajam memandang wajah Erlangga.

Erlangga hanya tersenyum tidak mengindahkan sikap makhluk tersebut yang sudah bersiap akan menyerang dirinya.

"Hai, anak muda! Apakah kau tuli?" seru Sulima dengan sombongnya.

Sulima geram dengan sikap Erlangga yang hanya diam saja, ia menganggap bahwa Erlangga sudah menyepelekan dirinya. 

"Aku tidak ada kepentingan denganmu. Menyingkirlah!" Erlangga mulai melangkahkan kedua kakinya untuk kembali naik ke atas menghampiri Anggadita yang berada di atas sana.

Perkataan Erlangga membuat Sulima semakin geram, ia tampak marah terhadap Erlangga. Kemudian langsung menyerang Erlangga.

Dengan sigap, Erlangga menangkis pukulan dari Sulima dan balas menghajar makhluk mengerikan itu dengan beberapa pukulan beruntun yang menjadi ketika bertarung dengan musuh.

Sulima terjungkal dan jatuh terpuruk di hadapan Erlangga, ia tak kuasa menahan gempuran jurus tenaga dalam yang dikerahkan oleh Erlangga.

"Maafkan aku, Sulima!" ucap Erlangga kembali melanjutkan langkahnya.

Hal tersebut tidak membuat Sulima jera, meski sekujur tubuhnya terasa sakit, namun ia bangkit lagi dan kembali melakukan serangan untuk kedua kalinya.

Sulima melancarkan pukulan keras tepat mengenai bagian pundak Erlangga, pukulan keras dari Sulima membuat Erlangga hilang keseimbangan dan terjungkal.

"Hahaha ...." Sulima tampak senang merayakan keberhasilannya yang sudah menjatuhkan Erlangga.

Dengan demikian, Erlangga mulai tersulut emosi, ia bangkit dan langsung meloncat dengan gerakan salto sembari melancarkan tendangan keras mengenai kepala makhluk itu.

Sulima pun akhirnya jatuh bergelimpangan, darah segar pun keluar dari mulut dan hidungnya. Seketika Sulima menghilang dan memberi pesan terakhir untuk Erlangga.

"Tunggu pembalasanku, Manusia!"

Erlangga tidak menghiraukan ancaman makhluk tersebut, ia langsung kembali melanjutkan langkah kembali menghampiri Anggadita.

Setibanya di hadapan Anggadita, Erlangga langsung menyerahkan air minum kepada kawannya itu.

"Kau minum dulu!"

Anggadita terus memandang wajah Erlangga. "Bibir Pangeran kenapa berdarah?" tanya Anggadita mengerutkan kening, terus mengamati darah yang mengalir dari bibir Erlangga.

"Tidak apa-apa, tadi aku hanya terpeleset di sungai," jawab Erlangga berkelit sambil menyeka darah dari ujung bibirnya.

"Hahaha ...." Anggadita tertawa lepas, "pendekar masih saja terpeleset," sambungnya meraih wadah air minum dari tangan Erlangga.

Setelah itu, keduanya langsung membuka perbekalan. Anggadita membawa beberapa potong singkong dan pisang rebus sebagai persediaan mereka makan selama dalam perjalanan.

Setelah hampir satu jam beristirahat, kedua pendekar itu kembali melanjutkan perjalanan mereka agar segera tiba di Padepokan Kumbang Hitam yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat peristirahatan mereka saat itu.

Hanya saja, jalan yang akan mereka lewati cukup banyak rintangan dan halangan, di sepanjang jalan tersebut dipenuhi oleh tanaman liar yang dahan dan tangkainya penuh duri menjulur menghalangi jalan tersebut.

Anggadita dan Erlangga terus melangkah dengan menebas-nebaskan pedang membabat tanaman yang jadi penghalang.

Beberapa jam kemudian ....

Keduanya sudah sampai di ujung bukit tersebut, dari kejauhan sudah terlihat sebuah bangunan sederhana berdiri kokoh di tengah perbukitan itu.

"Itu, Pangeran!" kata Anggadita tampak semringah meluruskan jari telunjuknya ke arah bangunan sederhana yang ada di depan sana.

Erlangga pun tersenyum dan kembali mengajak kawannya itu untuk melanjutkan perjalanan mereka.

"Di sini tempatnya sungguh indah, namun dibutuhkan perjuangan yang keras untuk sampai ke tempat ini," ujar Erlangga sembari terus melangkah menuju Padepokan Kumbang Hitam yang hanya tinggal beberapa meter lagi.

"Aku dulu pernah sampai di sini, namun aku diusir oleh murid-murid Padepokan Kumbang Hitam. Mereka curiga dan menganggapku sebagai mata-mata dari pihak musuh," terang Anggadita berkata lirih sembari mengikuti langkah Erlangga.

Tanpa disadari oleh Erlangga dan Anggadita, dari arah belakang ada beberapa pendekar sudah bersiap hendak menangkap mereka. Para pendekar itu menganggap bahwa Erlangga dan Anggadita sebagai mata-mata dari pihak musuh yang sudah menyusup ke dalam wilayah mereka.

"Berhentilah kalian!" seru salah seorang di antara mereka.

Mereka merupakan para pendekar murid Bayu Seta—sang pemimpin Padepokan Kumbang Hitam.

Erlangga dan Anggadita menghentikan langkah sejenak dan berbalik arah ke belakang.

Tampak belasan pendekar muda sudah bersiap melakukan penyerangan terhadap Erlangga dan Anggadita yang mereka anggap sebagai ancaman, karena sudah memasuki wilayah mereka.

"Kau tenang saja, kita jangan melawan!" bisik Erlangga kepada Anggadita yang sudah siapa siaga untuk menghadang serangan dari para pendekar itu, "aku yakin, kalau kita menyerahkan diri. Mereka tidak akan mencelakai kita," sambung Erlangga.

"Baik, Pangeran." Anggadita kembali bersikap biasa-biasa saja dan tidak melakukan reaksi apa pun.

"Tangkap mereka, dan langsung bawa kehadapan guru!" titah salah satu pemimpin dari kelompok pendekar itu.

Dengan cepat para pendekar lainnya menghampiri Erlangga dan Anggadita yang sudah pasrah, mereka menudingkan senjata masing-masing, menjulur ke arah berdirinya kedua pendekar yang mereka anggap sebagai musuh itu.

Berbagai senjata sudah terarah kepada Erlangga dan Anggadita. Namun, Erlangga dan Anggadita tetap bersikap tenang menghadapi ancaman tersebut.

"Silakan tangkap kami!" kata Erlangga penuh kepasrahan.

"Tangkap kedua orang asing ini dan ikat mereka!" titah pria bertubuh kekar mengarah kepada rekan-rekannya.

Para pendekar itu langsung menangkap Erlangga dan Anggadita, kemudian mengikat tangan kedua pendekar itu dengan seutas tali dan membawanya ke padepokan untuk dihadapkan langsung kepada guru mereka.

Erlangga dan Anggadita sedikit pun tidak melakukan perlawanan, mereka hanya pasrah melangkah dengan tangan diikat dan digiring untuk menghadap guru besar di padepokan tersebut.

"Diam saja, kita jangan melakukan perlawanan!" bisik Erlangga.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Regio
Kren! sayang upnya kurang banyak🙏
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status