Share

Arimbi dan Arumbi

Para pendekar itu langsung menangkap Erlangga dan Anggadita tanpa perlawanan. Kemudian langsung mengikat tangan kedua pendekar itu dengan seutas tali. Setelah itu, mereka langsung membawa Erlangga dan Anggadita ke padepokan untuk dihadapkan langsung kepada Ki Bayu Seta—guru besar padepokan tersebut.

Erlangga dan Anggadita sedikit pun tidak melakukan perlawanan, mereka hanya pasrah melangkah dengan tangan diikat dan digiring oleh belasan pendekar menuju ke arah padepokan.

Setibanya di padepokan, salah seorang pendekar yang sudah ikut menangkap Erlangga dan Anggadita, langsung memberitahu guru mereka yang saat itu sedang berada di dalam padepokan tersebut.

“Guru, kami telah berhasil menangkap dua orang pendekar yang diduga kuat sebagai mata-mata,” kata pendekar itu sambil menjura kepada sang guru.

Pendekar tersebut adalah Aryadana, ia merupakan murid senior di Padepokan Kumbang Hitam, yang dipercaya sebagai pemimpin para murid padepokan tersebut.

Ki Bayu Seta tertawa kecil menanggapi laporan dari murid terbaiknya itu, “Hahaha ... apa kau yakin bahwa mereka adalah mata-mata?” Pria senja itu balas bertanya kepada Aryadana.

Aryadana terdiam sejenak, kemudian berpaling ke arah kawannya. Setelah itu, ia menjawab pertanyaan dari sang guru, “Mohon maaf, Guru. Kami baru menduga, dan belum bertanya kepada dua pendekar itu.”

“Kalian sudah gegabah dalam mengambil tindakan!” hardik Ki Bayu Seta sedikit marah dengan kecerobohan murid seniornya itu.

Setelah itu, Ki Bayu Seta memerintahkan Aryadana segera membawa Erlangga dan Anggadita masuk ke dalam untuk menghadapnya.

“Bawa mereka ke sini!”

“Baik, Guru,” jawab Aryadana menjura hormat.

Ia bangkit dan langsung melangkah keluar melaksanakan perintah gurunya. Ia langsung membawa Erlangga dan Anggadita masuk ke dalam padepokan.

Setelah berada di dalam padepokan, Ki Bayu Seta meminta Aryadana untuk melepaskan tali yang mengikat tangan kedua pendekar yang dicurigai sebagai mata-mata.

“Bertindaklah dengan sikap yang cermat dan gunakan pikiran cerdas kalian! Lihat wajah mereka!” kata Ki Bayu Seta tampak kesal dengan kecerobohan para muridnya yang bersikap gegabah tanpa bertanya terlebih dahulu kepada orang yang mereka anggap sebagai penyusup itu.

“Mohon maaf, Guru. Kami memang gegabah.” Aryadana tampak merasa bersalah dengan apa yang sudah ia lakukan bersama pendekar lainnya terhadap Erlangga dan Anggadita.

“Harus kalian ketahui, ini adalah Pangeran Erlangga yang sudah dititipkan beberapa tahun lalu oleh Landuji kepadaku!” ucap Ki Bayu Seta mengarah kepada para muridnya.

Erlangga terkejut dan merasa heran mendengar kalimat yang diucapkan oleh pria senja itu.

“Dari mana orang tua ini mengenalku?” kata Erlangga dalam hati.

Ia merasa bingung karena Ki Bayu Seta mengenali dirinya. Padahal, Ki Bayu Seta belum pernah sekalipun berjumpa dengannya.

Ki Bayu Seta bangkit dan melangkah menghampiri Erlangga dan juga Anggadita yang saat itu sedang duduk di hadapannya.

“Maafkan atas kecerobohan murid-muridku, Pangeran!” kata Ki Bayu Seta lirih. “Pangeran jangan bingung. Kenapa aku bisa mengenali wajah Pangeran!” sambung Ki Bayu Seta tersenyum lebar memandang wajah Erlangga.

“Tidak apa-apa, Guru! Aku sengaja datang ke sini sesuai titah Paman Landuji sewaktu masih hidup. Ia memintaku untuk mendatangi padepokan ini,” tutur Erlangga bersikap ramah dan penuh rasa hormat terhadap Ki Bayu Seta.

“Aku sudah tahu semua, Pangeran tidak perlu menceritakannya. Mulai hari ini, kalian berdua aku terima menjadi murid di padepokan ini!” tandas Ki Bayu Seta tersenyum memandang wajah Erlangga dan juga Anggadita. “Kita himpun kekuatan di padepokan ini, untuk kembali merebut tahtamu yang hilang!” sambungnya.

Erlangga sedikit mengajukan pertanyaan kepada Ki Bayu Seta, ia bertanya tentang kedekatan Ki Bayu Seta dengan mendiang ayahandanya.

“Mohon maaf, Guru. Apa hubungan Guru dengan Ayahandaku?”

“Aku adalah putra Mpu Surya Wisesa dari kerajaan Randakala, yang sudah membuatkan pedang yang kau bawa itu, Pangeran,” jawab Ki Bayu Seta. “Ayahku merupakan orang kepercayaan Aki Lamujeng yang tewas di negri Mongol ketika melakukan kunjungan ke sana,” sambungnya menerangkan tentang jatidirinya.

“Lantas, siapakah Aki Lamujeng itu?” Erlangga semakin penasaran dan semakin tertarik berbincang dengan guru besar padepokan tersebut.

Ki Bayu Seta menarik napas dalam-dalam, kemudian menjawab pertanyaan pendekar muda yang duduk di hadapannya, “Aki Lamujeng adalah kakek buyutmu dari mendiang ayahandamu!” terang Ki Bayu Seta.

“Terima kasih, Guru. Kau telah memberi tahukan tentang hal ini kepadaku,” kata Erlangga sambil menjura.

Setelah itu, Ki Bayu Seta meminta kepada para muridnya untuk menjamu Erlangga dan Anggadita.

“Ajak makan Pangeran dan sahabatnya ini! Jangan lupa kalian siapkan juga kamar untuk mereka berdua!” titah sang guru mengarah kepada Aryadana dan rekan-rekannya.

“Baik, Guru.” Aryadana bangkit dan langsung mempersiapkan jamuan makan untuk Erlangga dan Anggadita.

“Benar apa yang Pangeran katakan. Ternyata pemimpin padepokan ini sangat menghormati Pangeran,” bisik Anggadita. “Jadi, aku tidak perlu lagi menyembunyikan identitas Pangeran, karena mereka sudah mengetahuinya,” sambungnya lirih.

* * *

Keesokan harinya, Erlangga dan Anggadita sudah mulai mengikuti latihan bersama dengan para pendekar lainnya yang secara rutin digelar setiap pagi untuk mengasah kemampuan ilmu bela diri mereka dalam persiapan untuk melakukan gerakan pemberontakan terhadap pihak kerajaan.

Ki Bayu Seta amat terkesan dan kagum melihat gerakan-gerakan yang diperagakan oleh Erlangga ketika melakukan latihan bersama murid-muridnya.

“Aku tidak akan mengajarkanmu silat, karena semua gerakan silat sudah kau kuasai dengan baik. Di malam Jumat legi di saat bulan purnama, aku akan mengajarimu ilmu tenaga dalam yang belum bisa dikuasai oleh para murid-muridku di sini!” kata Ki Bayu Seta berdiri di hadapan Erlangga yang baru saja selesai melaksanakan latihan ilmu bela diri bersama para pendekar lainnya.

“Terima kasih, Guru,” ucap Erlangga penuh hormat.

Siang harinya ....

Aryadana berangkat bersama Anggadita dan dua orang rekannya untuk berburu rusa di hutan yang ada di bawah kaki gunung Sanggabuana yang jaraknya berada di sebelah selatan padepokan itu.

Sebelum berangkat, mereka meminta ijin terlebih dahulu kepada Ki Bayu Seta selaku guru besar mereka.

“Mohon maaf, Guru. Izinkan kami untuk berangkat berburu!” ucap Aryadana bersikap ajrih terhadap sang guru.

“Silakan, Aryadana! Tapi ingat, pulangnya jangan terlalu sore, banyak pekerjaan yang harus kita selesaikan hari ini!” jawab Ki Bayu Seta memberikan ijin kepada para muridnya itu.

“Terima kasih, Guru. Aku pamit sekarang.”

Setelah itu, Aryadana dan Anggadita beserta kedua rekannya langsung melangkah berlalu dari hadapan guru mereka.

Keempat pendekar itu langsung berangkat untuk berburu dengan berbekal makanan dan peralatan berburu. Masing-masing membawa panah dan sebilah pedang, mereka berjalan menyusuri jalanan terjal mengarah ke sebelah selatan dari padepokan itu.

Sementara itu, Erlangga sedang berbincang santai di aula padepokan dengan dua gadis cantik yang merupakan putri angkatnya Ki Bayu Seta.

Kedua gadis tersebut merupakan saudara kembar, yang sedari kecil dirawat oleh Ki Bayu Seta dan mendiang istrinya. Mereka tumbuh besar di lingkungan padepokan, sehingga kedua gadis itu mempunyai kemampuan khusus di bidang ilmu bela diri, tidak kalah oleh para murid-murid ayah angkatnya.

“Sebenarnya, Pangeran ini sudah mempunyai kekasih belum, sih?” tanya Arimbi yang merupakan kakak dari Arumbi tersenyum simpul memandang wajah Erlangga.

Mendengar pertanyaan polos dari sang kakak, Arumbi tertawa lepas dan memukul pelan pundak kakaknya. Erlangga hanya diam sambil tersenyum-senyum melihat sikap kedua gadis kembar itu.

“Kenapa kamu tertawa? Memangnya ada yang lucu dengan ucapanku?” hardik Arimbi mendelik ke arah adiknya.

“Habisnya, Kakak bicaranya terlalu polos,” sahut Arumbi tersenyum menahan tawa.

“Yang harusnya menjawab itu, pangeran tampan. Bukan kamu!” Arimbi ketus dan membalikan tubuh mengarah kepada Erlangga.

Arimbi memegang tangan Erlangga kemudian mengulang pertanyaan yang tadi ia lontarkan kepada sang pangeran tampan itu.

Erlangga tersenyum dan menjawab singkat apa yang dipertanyakan oleh Arimbi, “Aku belum punya kekasih,” kata Erlangga lirih.

“Wajah Pangeran, ‘kan tampan? Aku tidak percaya kalau Pangeran belum punya kekasih,” desak Arimbi.

“Sudah dijawab tapi penasaran dan tidak percaya,” gerutu Arumbi.

“Diam anak kecil! Ini urusan orang dewasa,” hardik Arimbi mendelik ke arah Arumbi.

“Apa? Kau bilang aku anak kecil? Lahirnya saja bareng. Iya, ‘kan?” protes Arumbi tidak mau kalah.

“Sudah ... jangan ribut!” lerai Erlangga, kemudian Erlangga bangkit dan sedikit menggerak-gerakkan tubuhnya.

“Pangeran mau ke mana?” tanya dua gadis kembar itu secara bersamaan.

“Ayo, kalau mau ikut!” ajak Erlangga melangkah kedua kakinya menuju ke arah barat dari tempat tersebut.

“Tunggu, Pangeran!” teriak keduanya kompak.

Erlangga menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah dua gadis kembar itu.

“Ayo!” ajak Erlangga lirih.

Arimbi dan Arumbi langsung berlari kecil menghampiri sang pangeran tampan itu.

“Sebenarnya, Pangeran hendak ke mana sih?” tanya Arimbi terengah-engah.

“Ikut saja! Aku mau mencari Sulima.”

“Jangan, Pangeran!” cegah Arimbi.

Erlangga kembali menghentikan langkah dan menoleh ke arah Arimbi. “Memangnya kenapa?” tanya Erlangga penasaran, keningnya mengerenyit.

“Bahaya, Pangeran. Dia itu siluman ganas dan bukan siluman biasa!” jawab Arimbi tampak cemas.

“Ya, aku tahu ... Suliman itu penguasa alam gaib yang ada di bukit ini ‘kan?” tanya Erlangga tersenyum memandang wajah cantik kedua gadis kembar itu.

* * *

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status