Ketika fajar sudah menyingsing, para prajurit kerajaan Sanggabuana segera bergerak melewati perbatasan wilayah kerajaan Sanggabuana. Kemudian, ribuan pasukan tersebut memasuki hutan dengan maksud mengambil jalan pintas hendak menuju barak para prajurit kerajaan Sirnabaya—yang menjadi target utama serangan pagi itu.
Beberapa meter hampir mendekati target, Senopati Yurawida segera menyeru kepada para prajuritnya untuk berhenti sejenak. Dengan demikian, pasukan yang berjalan di barisan terdepan pun segera menghentikan langkah mereka."Tugas utama kita adalah menghancurkan barak musuh dan mengusir mereka agar menjauh dari daerah ini!" kata Senopati Yurawida berkata kepada para panglimanya yang kala itu berada di barisan terdepan ribuan pasukan tersebut."Tapi ingat! Kalian harus berhati-hati, jangan sampai menimbulkan banyak korban dari prajurit kita!" pinta sang senopati menambahkan."Baik, Senopati. Kami akan melindungi pasukan di barisan depan dengan menggunDi saung tersebut, sang raja langsung membicarakan sesuatu yang sangat penting kepada pendekar muda itu. Sejatinya, raja dan maha patih sangat tertarik kepada Kumba dan mereka berniat untuk merekrut pemuda itu untuk menjadi seorang prajurit kerajaan.Semua berdasarkan penilaian dari sang raja dan maha patih yang suka dengan kepiawaian pendekar tersebut dalam hal olah kanuragan."Seandainya kau mau dan siap. Aku akan menawarkan sesuatu buatmu," kata sang raja lirih, pandangannya lurus ke wajah Kumba.Kumba menghela napas sejenak. Ia berpikir, "Apakah aku layak menjadi prajurit di kerajaan? Sedangkan kemampuanku hanya terbatas?"Maha Patih Randu Aji mengerutkan kening dan mengamati Kumba yang hanya diam termangu. "Jawablah! Jika kau bersedia, kau akan mendapatkan kedudukan sebagai prajurit dan bisa mendapatkan pelatihan khusus dari para pelatih ilmu beladiri di Padepokan Kumbang Hitam!" timpal Maha Patih Randu Aji menatap tajam wajah Kumba–sang pendekar muda
Dengan demikian, Darunda dan Panglima Janeka terus berbincang sambil mengamati pergerakan pasukan musuh. Mereka duduk santai di sebuah bangku panjang yang ada di atas tembok raksasa yang menjulang tinggi—pagar pembatas dan benteng pertahanan wilayah kerajaan Sanggabuana."Prabu Wihesa adalah murid Ki Buyut Dalem, dia dibesarkan di wilayah kepatihan Waluya Jaya semasa masih menjadi sebuah kadipaten sebelum bergabung dengan kerajaan Sanggabuana," terang Panglima Janeka."Aku baru tahu, ternyata Wihesa merupakan seorang pendekar sakti yang memiliki ilmu kanuragan yang sangat mumpuni," ujar Darunda.Panglima Janeka menghela napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkan perlahan sambil tersenyum memandang cahaya obor yang tampak remang-remang di tengah hutan.Posisi Panglima Janeka dan Darunda kala itu berada di atas tembok raksasa, sehingga apa pun yang terjadi di dalam hutan akan terlihat, apalagi dengan kondisi hutan yang gundul seperti itu.Kala itu, hanya D
Sore hari, setelah berangkatnya Senopati Yurawida ke istana kerajaan Sanggabuana. Maha Patih Akilang kembali melakukan perbincangan dengan para prajurit senior. Kebrutalan para prajurit kerajaan Sirnabaya masih menjadi topik penting dalam perbincangan tersebut."Hidupku tidak akan pernah merasa tenang sebelum bisa membalas kematian para prajurit kita dan aku berjanzi akan menghancurkan kerajaan Sirnabaya yang sudah bertindak sewenang-wenang terhadap kerajaan kita!" kata Maha Patih Akilang berbicara dengan para prajuritnya di pendapa istana kepatihan."Aku pikir ini semua hanya sebuah kesalahpahaman saja, Gusti Patih?" tanya seorang prajurit senior mengerutkan kening."Itu hanya alasan dari Jaka Sena. Sebenarnya ia sudah merancang sedemikian rupa," jawab Maha Patih Akilang di antara deru napas yang bergejolak penuh dengan amarah yang sudah membumbung tinggi di dalam jiwa dan pikirannya kala itu."Saat masih menjabat sebagai panglima pasukan sejagat raya pun, ia sudah berusaha menekan pa
Di sebuah kerajaan besar terletak di sebelah selatan pegunungan Sanggabuana, terjadi sebuah konflik berkecamuk. Kala itu, istana kerajaan tersebut digemparkan dengan sebuah kudeta yang dilakukan oleh seorang petinggi istana terhadap raja yang berkuasa kala itu. Senapati Rawinta sudah menghimpun kekuatan selama bertahun-tahun mempengaruhi para prajurit dan para petinggi istana untuk melakukan kudeta terhadap Prabu Sanjaya yang merupakan penguasa resmi kerajaan Kuta Tandingan. Peristiwa tersebut, menjadi sebuah sejarah yang sangat kelam bagi rakyat di kerajaan tersebut. Sang Raja yang mereka kagumi yang terkenal dengan kebaikan dan kebijaksanaannya terhadap rakyat, harus tewas di tangan sang senapatinya sendiri yang sudah melakukan pengkhianatan. "Tangkap Prabu Sanjaya dan seret keluar!" seru seorang pria berperawakan tinggi dan bertubuh kekar mengarah kepada para prajurit. Pria tersebut adalah Sugriwa, seorang prajurit senior di kerajaan tersebut yang secara terang-terangan ikut mem
Erlangga tersenyum dan menoleh ke arah pendekar berjanggut tebal itu. "Aku diajarkan oleh ayahku, untuk selalu menolong orang yang sedang kesusahan," ujar Erlangga. Anggadita tampak kagum dengan budi pekerti yang ditunjukkan oleh pendekar muda itu. Anggadita tersenyum dan langsung memeluk tubuh Erlangga seraya berkata lirih,"Hari ini, aku sudah menemukan pendekar muda sejati," desisnya. Setelah itu, Anggadita langsung mengajak Erlangga untuk singgah di gubuknya, sebelum Erlangga melanjutkan perjalanan menuju Padepokan Kumbang Hitam yang ada di puncak bukit tersebut. "Di hutan ini aku sudah membangun sebuah gubuk kecil sebagai tempat tinggalku. Sebaiknya kau ikut denganku!" Dengan senang hati, Erlangga pun mengikuti ajakan pendekar setengah baya itu. "Baiklah, aku akan beristirahat sejenak di gubukmu," kata Erlangga ambil tersenyum lebar. Erlangga langsung membantu Anggadita bangkit. Setelah itu, mereka langsung melangkah ke arah selatan dari tempat tersebut, menuju ke sebuah gubu
Anggadita menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab pertanyaan Erlangga, "Aku tahu dari pedang pusakamu, Pangeran." 'Siapa sebenarnya Anggadita ini? Mengapa dia mengetahui pedangku?' batin Erlangga bertanya-tanya. "Tak ada orang lain yang bisa memiliki pedang itu, kecuali orang-orang yang memiliki garis keturunan dengan sang raja," tandas Anggadita melanjutkan perkataannya. "Ya sudah, sekarang kau sudah tahu siapa aku sebenarnya. Aku harap kau bisa membantuku untuk merahasiakan identitasku ini!" pinta Erlangga tersenyum lebar menatap wajah Anggadita. "Baiklah, Pangeran." Anggadita tampak semringah setelah mendengar pengakuan Erlangga bahwa dirinya memang seorang putra mahkota kerajaan Kuta Tandingan seperti apa yang dia duga sebelumnya. Setelah itu, mereka langsung melakukan perjalanan menuju ke Padepokan Kumbang Hitam. Mereka tidak peduli dengan panasnya terik matahari yang menyengat, derasnya peluh terus bercucuran dari wajah kedua pendekar itu. Sepanjang perjalanan, Anggadita s
Para pendekar itu langsung menangkap Erlangga dan Anggadita tanpa perlawanan. Kemudian langsung mengikat tangan kedua pendekar itu dengan seutas tali. Setelah itu, mereka langsung membawa Erlangga dan Anggadita ke padepokan untuk dihadapkan langsung kepada Ki Bayu Seta—guru besar padepokan tersebut. Erlangga dan Anggadita sedikit pun tidak melakukan perlawanan, mereka hanya pasrah melangkah dengan tangan diikat dan digiring oleh belasan pendekar menuju ke arah padepokan. Setibanya di padepokan, salah seorang pendekar yang sudah ikut menangkap Erlangga dan Anggadita, langsung memberitahu guru mereka yang saat itu sedang berada di dalam padepokan tersebut. “Guru, kami telah berhasil menangkap dua orang pendekar yang diduga kuat sebagai mata-mata,” kata pendekar itu sambil menjura kepada sang guru. Pendekar tersebut adalah Aryadana, ia merupakan murid senior di Padepokan Kumbang Hitam, yang dipercaya sebagai pemimpin para murid padepokan tersebut. Ki Bayu Seta tertawa kecil menanggap
Menjelang tengah hari, Aryadana dan Anggadita serta dua rekannya sudah tiba di saung padepokan, mereka membawa tiga ekor rusa hasil buruan mereka. Wajah Aryadana dan ketiga rekannya tampak semringah. Kedatangan mereka disambut hangat dengan penuh kegembiraan oleh para murid yang ada di padepokan itu."Anggadita!" panggil Erlangga. "Iya, Pangeran," sahut Anggadita, ia langsung menyerahkan busur panah kepada salah satu murid padepokan tersebut. "Tolong simpan ini, aku mau menghadap Pangeran Erlangga!" "Baik, Ki," jawab seorang murid padepokan langsung meraih panah dari tangan Anggadita. Setelah itu, Anggadita bergegas melangkah menghampiri Erlangga yang berdiri di depan saung aula padepokan yang tidak jauh dari kamarnya. "Ada apa, Pangeran?" tanya Anggadita meluruskan pandangannya ke wajah Erlangga. "Temani aku, ke tempat yang kemarin aku ceritakan!" jawab Erlan