Share

7. Amarah Aris

Aris mendengar pintu ruangannya diketuk, tapi dia tidak mengalihkan pandangannya pada layar ponsel di atas meja kerja. Sejak lamarannya tertolak tadi pagi, Aris tidak bisa fokus pada pekerjaannya. Pria itu sibuk melamun memikirkan kekurangan apa yang ada pada dirinya sehingga Elsha menolaknya.

"Woi!"

Aris terlonjak kaget sehingga kursi yang ia duduki terdorong ke belakang. Mata tajam pria itu menatap jengkel pada pelaku yang baru saja memasuki ruangannya.

"Ngapain lo ke sini?" tanya Aris pada adiknya, Andreas.

"Gak ada. Mampir."

Aris mengusap rambutnya lalu bangkit dan ikut duduk di sofa yang berhadapan dengan Andreas. "Gak kuliah lo?"

Andreas menggeleng. "Dosennya gak masuk. Btw, Mas, gue butuh bantuan."

Aris menatap adiknya dengan sebelah alis yang terangkat. Bantuan? Dia kira Aris akan sukarela membantunya? Terlalu percaya diri.

"Apaan? Gak mungkin lo kekurangan duit," cibir Aris.

"Bukan, Dog. Bantu gue cepet sarjana tanpa ikut kelas yang melelahkan," kata Andreas lalu membaringkan tubuhnya di atas sofa Aris. Lebay.

"Belagu lo!" Aris melempar bantal sofa sehingga mengenai wajah adiknya.

"Gue serius, Mas. Gue capek kuliah. Membosankan."

"Nikah sono."

"Ogah. Gak mau diatur-atur gue. Cewek ribet."

Aris geleng-geleng kepala tidak habis pikir dengan isi otak sang adik. "Kalau lo ke sini cuma bikin gue tambah pusing, mending lo pergi sana. Kerjaan gue banyak." Aris melonggarkan dasinya dan membuka dua kancing teratas kemeja kerjanya.

"Banyak kerjaan apaan? Lo ngelamun!" ejek Andreas.

"Pergi gak lo?!" Aris bersiap untuk melempar lagi bantal sofa membuat Andreas dengan ogah-ogahan bangkit dari sofa.

"Btw, Mas,"

"APA? APA LAGI?!"

Andreas terkekeh, "sekretaris lo boleh juga."

"Bajingan!" Aris benar-benar melayangkan bantal sofa di tangannya sehingga menghantam wajah menyebalkan Andreas.

"Dua kali, ya, awas lo!" Andreas menunjuk Aris dengan wajah tengilnya lalu pergi dari sana sambil bersiul.

"Edan!" maki Aris, lalu beranjak ke meja kerjanya untuk meraih ponsel. Aris akan menghubungi para sahabatnya. Dia ingin ke kelab dan minum malam ini. Dia butuh teman. Pria itu melirik jam di ponselnya, pukul tiga sore.

"Harusnya mereka udah kelar kerja," ujar Aris meraih jasnya lalu berjalan meninggalkan ruangan.

"Bapak pulang sekarang?" tanya sekretaris Aris.

"Hm," jawab Aris tanpa melihat kalau wanita yang menyapanya itu tengah menanti perhatiannya.

"Terlalu dingin," desis sekretaris Aris setelah pria itu berlalu masuk ke dalam lift.

"Di mana lo?" tanya Aris pada orang yang ia hubungi.

"Di jalan. Kenapa? Kangen lo sama gue?"

Aris memutar bola mata jengah. "Ntar malem ke kelab, gue bosan."

"Siap, Bos!"

Aris memutuskan sambungan teleponnya dengan Bian dan berganti menghubungi Dio serta Arkan. Setelah memastikan ketiga sahabatnya bisa bergabung, Aris mengantongi ponselnya dan berlalu menuju lobi saat pintu lift terbuka.

"Elsha, aku pastiin kamu bakal jadi milik aku," bisik Aris saat isi kepalanya tidak bisa berhenti memikirkan wanita itu.

***

"Tumben," sindir Bian saat Aris meneguk gelas ketiga miliknya.

"Kerjaan?" tanya Arkan.

Dio tidak ikut bersuara karena dari wajah kusut Aris saja bisa ia simpulkan kalau sahabatnya itu tidak ada masalah apa pun soal pekerjaan. Pasti ini soal Elsha.

"Gue lamar Elsha," Aris mulai menceritakan kegalauannya membuat ketiga sahabatnya geleng-geleng kepala.

"Gak ada lagi orang gila kayak lo. Sumpah, langka banget ini spesies orang gila satu."

Aris menatap Dio dengan tatapan kesal. "Gue gila karena tuh wanita satu nolak gue, coba kalau diterima, gak bakal gini," balas Aris.

Bian dan Arkan terkekeh. Miris sekali nasib percintaan sahabat mereka satu itu.

"Gue kalau jadi Elsha juga gak bakal nerima elo, bangsat. Lo bayangin aja, waktu dan tempatnya gak mendukung sama sekali," decak Bian.

"Salahnya di mana?" tanya Aris tidak habis pikir membuat ketiga sahabatnya kompak mendengkus kesal.

"Lo habis naena di mobil terus lamar anak orang. Ya, ditolak, goblok! Lo pikir Elsha segampang itu buat nerima elo yang bermodal burung sama cincin doang?" Arkan berkata sinis.

"Tahu nih laki gak ada romantisnya sama sekali." Dio ikut memanasi suasana.

Aris menjambak rambutnya karena frustasi. Bisa-bisanya ketiga bangsat itu menyudutkannya. Harusnya, kan, mereka menghibur Aris yang sedang galau ini.

"Terus gue harus gimana biar bisa diterima?" Aris bertanya dengan lemas.

"Gue ada ide," ujar Bian.

"Apaan?" tanya ketiganya kompak.

"Lo bikin hamil."

Aris memutar bola mata. "Tanpa lo suruh juga itu udah jadi tujuan utama gue."

"Yaudah, tunggu waktunya aja. Asal lo rajin aja membuahi."

Aris menatap Dio dengan tatapan jijik. "Obrolan macam apa ini, bangsat!"

Ketiganya terbahak, lalu sama-sama tersedak saat menatap sosok yang sejak tadi mereka bicarakan muncul dengan seorang pria.

"Ris, Elsha!"

Aris menoleh dengan cepat kala mendengar suara Arkan. Benar. Elsha di sana bersama seorang pria yang Aris tidak tahu siapa. Rahang Aris mengeras dan pria itu bangkit berdiri dengan kedua tangan mengepal. Apalagi saat melihat Elsha dipeluk oleh pria sialan di sana.

Tanpa aba-aba, Aris melayangkan tinjunya mengenai wajah pria bersama Elsha membuat beberapa pengunjung kelab di sana berteriak kaget. Elsha langsung menutup mulutnya. Kini mata wanita itu melotot saat Aris dengan membabi buta menghajar pria yang terbaring di lantai dan ia menindihnya.

"Mas!" Elsha mencoba menarik lengan Aris tapi sia-sia. Kekuatan Aris jelas menakutkan dalam keadaan marah seperti ini. Elsha sudah berkaca-kaca karena melihat pria yang Aris hajar hampir tak sadarkan diri.

"MAS, STOP!" teriak Elsha ketakutan.

Aris yang hendak melayangkan tinjunya ke wajah pria di bawahnya seketika berhenti mendengar suara wanita itu bergetar. Napas Aris terengah-engah menatap pria yang wajahnya sudah babak belur. Aris beranjak, lalu menarik tangan Elsha untuk pergi dari sana.

"Mas, sakit!"

Aris tidak mendengarkan keluhan Elsha. Pria itu terus berjalan menuju mobilnya, lalu mendorong Elsha masuk saat pintunya ia buka. Aris membanting pintu di sebelah Elsha membuat wanita itu terlonjak kaget sambil mengelus dada.

"Kamu gila, hah?!"

Aris menatap Elsha dan tersenyum miring. "Kamu bakal lihat segila apa aku malam ini," ujarnya mulai menginjak pedal gas dan mengemudi seperti orang kesetanan. Ugal-ugalan.

"MAS! KITA BISA MATI!"

Aris tidak peduli dengan teriakan nyaring Elsha. Dia ingin cepat sampai ke apartemen lalu menghukum wanita itu. Rasanya kepala Aris ingin pecah saat memikirkan tubuh wanita yang ia cintai dipeluk oleh pria sialan tadi.

"STOP! AKU MAU TURUN! KALAU ENGGAK AKU BAKAL LONCAT!"

Aris menghentikan mobilnya mendadak di tepi jalan saat Elsha bersiap untuk membuka pintu mobil. "KAMU GILA, HAH?!" teriak Aris menatap nyalang pada Elsha.

"Gak segila kamu!"

Aris mengusap kasar wajahnya, lalu memukul setir mobil untuk melampiaskan kekesalannya. Elsha menatap Aris dengan pandangan sendu. Pria itu banyak berubah. Tidak ada lagi Aris yang tenang dan sabar seperti dulu. Aris yang Elsha lihat sekarang sangat gegabah dan suka seenaknya.

"Mas,"

Aris menoleh pada Elsha.

"Kamu masih cinta, kan, sama aku?" tanya Elsha memastikan. Aris mengangguk tanpa ragu.

"Kalau gitu, stop ganggu hidup aku. Menjauh. Aku gak mau sama kamu. Aku udah gak ada rasa apa pun sama kamu."

Aris menggenggam erat setir mobil sampai buku jarinya memutih. "Pembohong," desisnya.

"Aku-"

Aris mengangkat Elsha ke atas pangkuannya dan membungkam bibir wanita itu. Aris akan mencari jawabannya sendiri, apakah Elsha masih mencintainya atau tidak.

"Aahh... Mashh...."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status