Share

Cinta Yang Salah
Cinta Yang Salah
Penulis: Winda

Gara-gara Mati Lampu

"Mas Arkan, tolong aku! Aku sangat takut ...," teriakku sambil berlari menuruni tangga dengan langkah hati-hati, menuju kamar Kakak iparku yang berada di lantai dasar.

Karena keadaan sedang mati lampu, rumah menjadi gelap gulita, tak ada cahaya sama sekali, hanya cahaya dari lampu flash light ponsel yang kupegang.

"Ada apa sih, Tan? Teriak malam-malam begini? Kaya melihat hantu saja," tanya Mas Arkan cemas. Karena kegaduhan yang ditimbulkan oleh ku, hingga membuat dia terbangun dari tidurnya dan keluar kamar seraya berdiri di ambang pintu.

"Mas, aku takut petir, aku gak suka gelap ...," rengekku menghambur padanya, aku menjatuhkan tubuh ke dada Pria berkumis tipis, bertubuh tegap yang dibalut piyama warna coklat lengan pendek itu.

"Sini. Tenang ada Mas!" ucap Mas Arkan lembut seraya merengkuh tubuhku, lalu ia mengusap-usap puncak rambut menenangkanku. Kami berdua masih berdiri di depan kamar, tepatnya di ruang tengah, dengan posisi saling berpelukan.

Di dalam sangatlah gelap sedangkan di luar hujan deras bercampur angin kencang, diiringi gemuruh suara petir menggelegar, mendominasi ketakutanku. Setelah sepersekian menit perlahan suara hujan pun mulai mereda, tak begitu deras seperti tadi.

"Tan ... sebaiknya kamu kembali tidur! ini masih jam dua dini hari. Hujannya juga sudah hampir berhenti," ucap Mas Arkan, mengangkat tubuhku dari dekapannya.

"Iya." Aku mengangguk pelan, dan mundur hendak melangkah pergi. Baru saja kakiku berpijak pada anak tangga paling bawah.

Duarrr ...!! Petir menyambar kembali membuat aku terlonjak kaget. Spontan aku menghambur lagi padanya dan merangkul kembali Mas Arkan, rasa canggung pun tak kupedulikan. 

"Tapi, aku nggak mau tidur sendirian! Aku takut."  Aku membenamkan wajah di dada bidang Mas Arkan, sambil menggeleng cepat, kupeluk tubuhnya dengan erat.

Mas Arkan menepuk punggungku pelan, "Ya udah, Mas temenin yuk! Biar kamu gak takut lagi!"

"Iya." Aku mengangguk kecil, sembari melepaskan tanganku yang masih melingkar di tubuhnya. 

"Yuk!" ajak Mas Arkan sembari mengangguk. Aku pun balas mengangguk dan tersenyum, melangkah maju.

Kakiku mengayun berpijak di setiap anak tangga, aku berjalan di depan Mas Arkan. dia pun mengikutiku dari belakang, mengantarku hingga ke dalam kamar yang berada di lantai dua.

"Sana tidur! Mas akan tungguin kamu di sini, biar kamu gak takut, sampai lampu menyala!" ucap Mas Arkan sambil berjalan ke arah sofa, kemudian ia duduk menjuntai kedua kaki.

Aku berderap menuju ranjang dan merebahkan tubuh. Kutarik selimut hingga ke leher. Namun, mataku tetap terfokus menatap pria bertubuh tegap itu. Kurasa malam ini begitu dingin dan sunyi membuatku menggigil kedinginan, kututup kepalaku menggunakan selimut untuk menghalau rasa dingin.

Entah kenapa hati ini ingin sekali melihat Mas Arkan, karena merasa tidak enak hati. Aku pun menurunkan sedikit penutup tubuh dan mengintipnya dari balik selimut, menatap ke arah di mana kakak iparku berada, dia duduk bersila di sofa tak jauh dari ranjang. Dia terlihat begitu gusar, sesekali merebahkan tubuhnya sesaat, lalu kembali duduk, dan begitu yang ia lakukan hingga beberapa kali.

Di kamar penerangan hanya dari ponselku, yang tergeletak di nakas, setelah beberapa menit, ponselku tiba-tiba mati karena kehabisan baterai. Sialnya, aku lupa mengisi daya tadi sore, hingga ponselku lowbat, tak ada lagi sumber cahaya, hanya cahaya kilat sesekali masuk lewat celah tirai jendela yang tersibak angin.

Mas Arkan duduk bersila, seraya mengusap-usap bahunya mungkin dia kedinginan 'Pikirku' dan menguap, pandangannya mengedar, sepertinya dia sedang menghilangkan rasa jenuh, atau menghalau rasa ngantuknya.

Aku bangkit berjalan ke arahnya, duduk di samping dia, "Mas, ngantuk ya?" tanyaku berdiri di hadapannya seraya menepuk pundaknya.

"Dikit," jawabnya singkat, kedua sikutnya ia tekuk, menangkup wajah dengan kedua telapak tangannya, kemudian kedua kakinya ia turunkan menjuntai ke bawah.

"Tidur aja Mas, besok kita kan harus kerja, nanti kesiangan loh!" ujarku lalu duduk di sofa samping kirinya.

"Kamu berani, tidur sendirian?" tanya Mas Arkan menatapku ragu.

"Ya, tidur aja disini Mas, sama aku!" ucapku cepat, seketika dia bergeming dengan dahi berkerut, sepertinya Mas Arkan sedang berpikir mencerna ucapanku, "Mas, maksudku, kamu tidur di kasur ku, biar aku tidur di sofa!" ralatku, pasti Mas Arkan mengira aku mengajaknya tidur bareng satu tempat tidur. Ah tidak, tidak, dia kakakku.

"Tan ... kita kok senasib ya?" Mas Arkan mengalihkan pembicaraan, sembari menunduk, lalu menoleh padaku sekilas, dengan menyunggingkan senyum canggung, untuk menghalau rasa jengah.

"Senasib, gimana?" Aku mengernyit, dan menoleh kembali menatap wajah Mas Arkan yang nampak gusar.

"Pasangan kita, jarang ada di rumah, Mas sering ...." Dia menghela napas sebari menggaruk tengkuknya gugup. Aku semakin penasaran dengan pasang raut wajah polos.

"Apa Mas?" tanyaku menelaah ucapannya.

"Mas, sering merasa kesepian, apalagi ... di cuaca musim penghujan begini, kadang ... Mas merasa tak punya istri," ujarnya ragu-ragu.

"Hm." Aku tersenyum kaku, "Ya, mau gimana lagi Mas, itu kan tuntutan pekerjaan mereka, sebagai seorang reporter," jawabku. Dia mengangguk sebagai jawaban.

Ya memang kami sering ditinggal oleh pasangan kami, Suamiku Mas Anton satu kantor dengan Kakakku Novi, mereka berdua bekerja di salah satu stasiun TV, sebagai reporter lapangan. Tak jarang mereka ditugaskan di luar kota atau luar provinsi untuk meliput kejadian dan menyampaikan berita ke media massa.

Aku dan Mas Arkan, sering bercerita tentang kehidupan masih-masing, dan meluapkan keluh kesah karena seringnya ditinggal oleh pasangan kami.

Kakak iparku begitu care padaku, dia juga sangat peka terhadapku, dan selalu mendengarkan setiap keluhan ku, aku pun sama halnya seperti dia, kita saling peduli satu sama lain.

"Udah Mas ... sana tidur di kasurku! Biarin aku yang di sofa!" titahku sedikit memaksa.

"Gak usah, Tan. Nanti badan kamu pada pegal semua, udah Mas aja yang tidur di sofa kaya tadi,"

"Serius Mas, gak apa-apa?" tanyaku meyakinkan.

"Iya lah, Mas laki-laki Masa gak mau ngalah sama perempuan!" ujarnya santai.

"Ya udah, kalau gitu," ucapku meski tak enak hati. Mas Arkan mengangguk. Aku pun bangkit dan kembali ke tempat tidur.

Lima belas menit, aku merebahkan tubuh, memaksakan diri untuk kembali tidur. Namun, mataku tak kunjung terpejam, merasa tak nyaman berada di kamar berdua dengan orang lain, ada rasa cemas melanda di hati ini.

Aku menyingkap selimut dan melihat kembali kakak iparku, yang kini terbaring di sofa seberang tempat tidur. Mas Arkan begitu gelisah, miring kanan dan kiri tak nyaman.

Aku benar-benar gak tega dan merasa kasihan melihat dia yang tidak nyaman sama sekali, gegas aku pun bangkit, ku turunkan kaki melangkah ke arah Mas Arkan, untuk membangunkannya dan menyuruh dia pindah ke kamarnya sendiri meninggalkan aku disini.

Meskipun ada sedikit rasa takut menggelayut di hati ini, tidur sendiri dalam kegelapan, di tengah hujan dan petir terus menggelegar tanpa henti.

"Mas, bangun!" ucapku memegang bahunya, lalu kuguncang pelan. Aku tahu dia pasti belum tidur, hanya memaksakan diri untuk memejamkan mata.

"Hmm ... ada apa?" Mas Arkan menggeliat, merentangkan kedua tangannya, lalu dia meraih bahuku dan menarik tubuhku dengan kuat, hingga aku terhempas dan jatuh ke dalam pelukannya, seketika matanya terbuka, pandangan kami saling beradu, sontak kedua pasang mata kami membelalak.

"Hak." Aku terhenyak, kejadian ini membuat jantungku berdegup begitu kencang, sama halnya dengan debar jantung Mas Arkan yang berada di bawahku. Aku merasakannya, karena tubuh kami begitu rapat.

"Maaf Intan, Mas kira ... kamu Novi," ucapnya gugup.

Entah perasaan apa ini, dadaku berdebar dengan cepat tak beraturan, tubuhku membeku. Ada rasa panas menggelenyar, seiring darah mengalir dengan deras menjalari seluruh nadiku.

"Tak apa, Mas," jawabku sama gugupnya, lalu aku mendorong tubuh Pria yang rapat dengan tubuhku. Dia menatap manik mata ku begitu dalam.

"Mas, gak sengaja Intan," ujar Mas Arkan, melepaskan pelukannya, ia mengangkat tubuhku membantuku bangkit.

Aku benar-benar gugup, dan canggung, pada Mas Arkan. Namun, aku berusaha setenang mungkin dan duduk di sampingnya.

"Mas, kamu pindah aja ke kamarmu! Aku berani kok tidur sendiri," seruku, sambil menahan gejolak dalam dada, ada apa ini kenapa perasaanku tidak karuan.

"Gak! Mas gak tega ninggalin kamu sendiri," ucapnya menatapku sambil mengelus dan mengacak rambutku dengan lembut.

"Maksud Mas?" Aku mengernyit polos.

"Kita tidur di sini aja! Mas temenin, pasti kamu kesepian, kan?" bisik Mas Arkan, membuat dadaku berdebar lebih kencang, tubuhku pun bergetar seperti ada sengatan listrik beribu volt menyengat kulitku, saat kumis Mas Arkan menyentuh daun telinga.

Aku menahan napas seraya menggigit bibir menetralkan perasaan hati yang tak wajar ini. 

"Tapi_." Aku menggantung ucapanku. Mas Arkan tersenyum manis, membuat dadaku berdebar begitu hebat.

"Mas gak yakin, kamu berani tidur sendiri! Sana yuk!" ajak nya dengan tatapan menggoda.

Netranya mengerling tertuju ke arah ranjang. Dengan hati ragu, aku mengangguk pelan seakan mengiyakan ajakannya, kenapa jiwaku mendorong keinginan hasrat ini.

"I-ya," jawabku lirih.

Mas Arkan bangkit dan membopongku berjalan menuju ranjang, lalu tubuhku direbahkannya ke atas tempat tidur dengan perlahan. Kami saling berhadapan dan saling bersitatap, mendalami perasaan yang tak sengaja tumbuh di hati ini.

Meski gelap, tapi kami masih bisa melihat satu sama lain, dari cahaya kilat di luar. Senyum Mas Arkan begitu mempesona, wajahnya yang karismatik, membuat hatiku terpanah, dan tak bisa menahan gejolak yang ada di dalam diri ini.

"Intan, kamu cantik," ucap Mas Arkan, menyibak rambut yang menutupi sebagian wajahku. Aku hanya senyum tersipu malu, wajahku mungkin merah saat ini menahan rasa.

Dia mendekatkan wajahnya ke wajahku, lalu menepikan bibir basahnya ke bibirku. "Ah ...." Aku mendesah menikmati, ciuman Mas Arkan yang begitu panas dan menggairahkan, kemudian tangan Mas Arkan menelusup ke dalam baju tidurku yang tipis.

*

Tanpa sadar kami melakukan hubungan terlarang itu sampai mencapai puncak bersama, kami berdua memang sangat kesepian dan butuh hasrat untuk saling menyalurkan.

Aku terkapar dengan aksi Mas Arkan yang begitu jantan dua kali lebih jantan dari Mas Anton suamiku, baru kali ini aku merasakan kenikmatan yang luar biasa, yang diberikan oleh kakak iparku.

Kami tahu ini salah, tapi entahlah? Kami juga sama-sama saling menikmati. Malam ini terasa amat singkat, dan rasanya tak ingin berlalu begitu saja.

Malam yang sunyi dan gelap menjadi saksi bisu, bahwa aku dan Mas Arkan kini saling menyatu.

"Mas, peluk aku!" pintaku sambil mendekap tubuhnya erat.

"Kamu kenapa?" 

"Aku ingin dipeluk olehmu, Mas!"

"Aku kedinginan," ucapku seraya memejamkan mata, gigi gemeletuk angin malam yang dingin menerpa menusuk tulang. 

"Sini!" Mas Arkan menutupi seluruh tubuhku dengan selimut, kedua tangannya memelukku begitu hangat.

"Iya, Mas." Aku mengangguk dan tertidur di dalam dekapannya, beberapa menit, hingga rasa dingin itu hilang dari tubuhku.

Mas Arkan melepas pelukannya, kemudian meminta sesuatu lagi dariku. Aku mengiyakan ajakannya, karena akupun sama halnya seperti dia.

Komen (6)
goodnovel comment avatar
CALVINO PUTRA
Pengennnn jadi mas
goodnovel comment avatar
CALVINO PUTRA
Suka bgt mau juga ikutan
goodnovel comment avatar
Fahmi
Iya ya murah banget
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status