"Sayang, bangun!" Suara Mas Arkan samar terdengar. Dia berbisik sambil menepuk-nepuk pipiku pelan, disusul satu ciuman yang mendarat di bibirku. "Eum ...." Aku bergumam, dengan mata terpejam, "Masih, ngantuk Mas," ucapku, lalu membalikan badan, dan membelakanginya. "Udah pagi, kita bangun yuk! Kita mandi bareng," ajak Mas Arkan. Dia memelukku dari belakang, mencium bahuku kemudian menggesekkan pipinya yang ditumbuhi jambang. "Jangan gini Mas, geli!" sergahku, sembari menggerakkan tubuh agar tak terlalu rapat dengannya. Mas Arkan malah merapatkan tubuhnya ke punggungku. Dia meletakkan dagunya di ceruk leherku, satu kecupan mesra dari bibirnya yang hangat, membuat bulu roma meremang, dan seluruh tubuhku terasa panas kembali, napasku terasa sesak meski ruangan ini begitu luas, dan darah pun mengalir begitu deras seketika. "Intan, lagi yuk!" ucap Mas Arkan. Satu tangannya menggapai pipiku, dan menarik tubuhku hingga kami saling berhadapan. "Katanya sudah pagi, kenapa minta lagi?" san
"Mas, aku pakai baju dulu ya! Tar aku bikin sarapan untuk kita," ucapku, seraya melepaskan tangannya, dari pinggangku. "Iya sayang. Mas tunggu di bawah ya!" jawab Mas Arkan diakhiri kecupan kilas di keningku. Aku mengangguk, dia pun berderap menuju pintu kamar dan membuka pintu, lalu keluar dari kamarku, aku menatap punggungnya saat dia melangkah meninggalkan ruangan ini. Masih terbayang di benakku saat ia memperlakukan aku dengan penuh cinta. Kubuka lemari pakaian, dan kuambil salah satu setelan formal, yang menurutku sangat cocok untuk tubuh body goals yang kumiliki, kemeja hitam dan blazer warna abu-abu juga celana bahan warna senada. Wajahku cantik menurut semua orang, kupoles dengan make-up natural, tak berlebihan. Rambutku yang lurus dan
"Intan, kita duduk dulu yuk, sebentar! kita nonton TV, sambil ngobrol!" ajak Mas Arkan, sore itu di akhir pekan, sementara Kak Novi dan Mas Anton sudah berangkat untuk menjalankan tugas ke Surabaya senggang waktu tiga hari. Sehingga aku dan Mas Arkan hanya berdua, di dalam rumah besar dua lantai peninggalan orang tua kami, aku tinggal satu atap dengan Kak Novi dan suaminya. Karena permintaan dari almarhum Papa, tiga bulan lalu, sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, tak lama setelah aku di pinang oleh Mas Anton, dan menjadi istrinya. Mas Anton adalah rekan kerja kak Novi sejak empat tahun lalu. Pesan Papa! Kami tak boleh meninggalkan rumah ini, meskipun sudah berumah tangga, dan harus saling menjaga satu sama lain, karena kami tak punya sanak saudara lagi. Ta
"Selamat pagi, Bu Intan?" sapa salah seorang staff. Wanita cantik bertubuh mungil dengan setelan formal bernama Kirana. Dia berdiri hormat saat aku melewati dia. Hendak masuk ke dalam ruanganku. "Pagi juga, Kiran," balasku di barengi dengan anggukan, dan senyuman manis untuknya, aku memang terkenal ramah tamah kepada semua orang dan karyawan. Dengan santai aku melenggang masuk ke dalam ruangan. Kududuk di kursi empuk ruang kerjaku, lalu kubuka lembar demi lembar dokumen, dan mulai menginput data-data penting. Entah berapa lama aku berkutat dengan keyboard komputer. Dan rasanya lumayan capek, mataku pedas menatap layar komputer, tubuhku pun mulai lelah, karena semalam aku kurang tidur, menghabiskan waktu bersama Mas Arkan. Aku menyandarkan punggun
"Mas Anton ingin punya anak, tentu saja aku ingin. Tapi, bukan dari dia, Mas Arkan yang akan memberiku anak," gumamku sambil membayangkan kejadian indah tadi malam bersama Mas Arkan. Tubuhku selalu bergetar hebat, dan hatiku berdebar kencang, kala teringat, saat lelaki itu menyentuhku, jantungku berdetak hebat kala teringat saat dia menyatukan tubuhnya dengan tubuhku. Darahku bergejolak kala teringat, saat dia menyusuri seluruh permukaan kulitku dengan bibirnya yang panas dan basah, bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitar rahangnya yang tegas, menempel di indera peraba, menggugah hasratku yang kian menggelora. Jiwaku meronta kala teringat gigitan-gigitan lembut dan manja di setiap inci tubuhku, dia begitu kuat dan perkasa, tubuhnya yang six pack, lengannya yang keras dan kulitnya yang eksotik.
Aku dan Mas Arkan masih ada di dalam ruangannya, dengan posisiku yang masih duduk di pangkuannya, kedua tanganku melingkar di pundaknya, menggelayut manja. Kutatap wajahnya yang tampan, aku ingin mengatakan sesuatu meskipun agak sedikit ragu, "Mas. tadi, suamiku nelpon," ucapku sambil merengut. Kemudian kedua tangan kuturunkan. "Memangnya kenapa? Kalau Anton nelpon, kok kayak gak suka gitu? Emang dia bilang apa, tadi sama kamu?" tanya Mas Arkan mengernyit tak mengerti. "Dia, ingin segera pulang," "Hm." Mas Arkan tersenyum tipis, "Ya … gak apa-apa. Mas kan sudah tahu, kakak dan suamimu mau pulang nanti malam. Terus apa masalahnya?" Mas Arkan mengapit hidungku gemas. "Mas Anton, pengen punya anak katanya,
"Siapa itu Mas?" tanyaku dengan hati gusar. Gegas kulepas tangan Mas Arkan dari genggaman. "Gak tahu."Mas Arkan menggeleng cepat, "Sebentar ya, sayang!" lanjutnya menatapku, raut wajahnya tak kalah tegang dariku. "Iya. Mas," jawabku cepat, seraya turun dari pangkuannya. Pandanganku mengedar, kepalaku menoleh kanan dan kiri untuk mencari tempat persembunyian, khawatir ada yang melihatku dengan keadaan acak-acakan seperti ini. Aku tak mau reputasi Mas Arkan rusak di depan semua karyawan atau siapa pun, karena kejadian ini. "Intan, kamu sembunyi di situ." Mas Arkan menggerakkan kepala, tatapan matanya mengarah ke kolong meja kerjanya. "Iya." Aku merundukkan tubuh dan berjongkok lalu masuk ke bawah meja. Sem
Aku dan Mas Arkan keluar dari kamar tersebut, kamar pribadi Mas Arkan, jika ia beristirahat. Dan untuk melepas kerinduan kami, yang tak pernah padam. "Intan, kamu duluan keluarnya, ya! Tunggu Mas di depan, kita berangkatnya jangan barengan, takut ada yang curiga," ucap Mas Arkan begitu lembut, jemarinya menyusur keningku lalu menyelipkan anak rambut ke balik telinga. Aku mengangguk mengerti. "Baik Mas, aku tunggu di depan minimarket, samping kantor!" balasku seraya melepas tangannya perlahan, dari pinggangku. "Iya sayang." Aku dan Mas Arkan tak segan lagi, kami saling memanggil sayang, ini memang salah dan akan menyakiti hati banyak orang, tapi hubungan ini benar-benar membuatku bahagia, dan aku puas lahir batin. Aku berderap menuju pintu keluar ruanga