Share

Talak

Bab 7

Faisal berlari menelusuri lorong rumah sakit menuju ruang anggrek lantai tiga. Melihat seorang lelaki berkemeja kotak-kotak biru duduk depan ruang tersebut memainkan gawainya. Lelaki itu menoleh ke arah Faisal, dahinya mengernyit heran, ia adalah Putra. Tanpa mengucapkan salam Faisal masuk ke ruang Airi.

Tubuh yang terbaring lemah, perban dibagian kepala, dan jarum infus menempel di pergelangan tangan. Airi membuka mata mendengar namanya dipanggil. Menengok ke arah suara yang sangat ia rindukan. Hatinya sakit dan kecewa, mengingat foto yang telah dikirim oleh Bella. Tatapan dingin terlihat di wajah Airi. Tak ada senyum dan sapaan yang lembut di bibirnya.

Faisal melangkahkan kakinya selebar mungkin dan memeluk tubuh istri pertamanya yang terbaring lemah, tak ada balasan dari Airi. Faisal merasa bersalah, Airi membutuhkan dirinya, tetapi ia malah bersenang-senang dengan Bella.

"Mau apa Abang kemari?" ucap Airi datar. Suaranya menusuk ke dalam hati Faisal. Faisal melepaskan pelukannya menatap manik Airi. Tak ada sinar cinta yang memancar di mata. Airi bersikap dingin. Ia mencari rindu di mata istrinya. Hampa, tak ada rasa itu. 

"Ai, Abang kangen. Maafkan Abang," ucapnya dengan mata yang hampir meneteskan air mata. Tatapan Ai ke arah lain, tak ingin terbujuk lagi olehnya.

"Abang mau apa ke sini?" ucapnya dengan nada tinggi. Ia tak sudi bertemu dengan lelaki yang telah membuangnya.

"Kalau Abang cuma bilang kangen. Maaf, aku tak punya banyak waktu." jawab wanita itu. Dadanya terlihat naik turun, ia tak mau menangisi lelaki yang telah mencampakkannya. Cukup satu tahun menderita.

"Ai, apa yang terjadi kepadamu? Mengapa kamu berubah? Apa kecelakaan itu merubah sikapmu? Faisal memegang pipi Airi, mencari tatapan yang ia rindukan.

"Bukan aku yang berubah, tapi kamu yang mengubah aku. Kamu!" bentaknya. Airi tak pernah membentak Faisal. Ia selalu patuh dan tunduk kepadanya. 

"Ai, maafkan Abang. Abang janji akan berubah dan akan memenuhi nafkah batin kamu. Aku tahu telah salah menilaimu. Maafkan, Abang." Faisal mengenggam tangan istrinya. Dulu sebelum menikah, Faisal tak mau melepaskan genggamannya ke jari jemari Airi. Setahun telah berlalu, Faisal sudah tak pernah menyentuhnya.

Airi tersenyum sinis, selama ini ia berusaha merayu suaminya dengan baju yang menjijikan itu. Demi Faisal merubah penampilan layaknya pel*c*r. Bodoh itu adalah sebutan untuk dirinya. Hanya menjadi pembantu di rumah Faisal. Setiap hari lelah mengurus pekerjaan rumah.

"Tidak Bang, sudah cukup. Aku sudah tak mau. Kamu sudah memiliki Bella. Raihlah kebahagianmu akupun meraih kebahagianku." Tatapan Airi terlihat tajam. Faisal merasakan kehilangan kehangatan dari gadis itu. Ia mengelengkan kepala pelan. Bukan ini yang ia inginkan. 

"Kebahagianmu bersama Abang. Kita mulai dengan lembaran baru." rayu Faisal. Ia yakin bisa melunakkan hati wanita yang berbaring di ranjang. Airi bangkit, ia duduk menyandar. Faisal membantunya bangkit, namun Airi menepisnya kasar.

Airi menekan tombol merah yang berada dekat kepalanya, seorang perawat masuk. Airi berkata,"Sus, tolong usir orang ini kepala saya sakit." wajah Airi berubah pucat. Sakit kepalanya terasa berat setelah bercakap dengan Faisal.

"Maaf Pak, pasien tak mau diganggu. Silahkan keluar! Biarkan pasien istirahat," ucap perawat tersebut mengusir Faisal dengan sopan. 

Faisal menatap Airi yang menundukkan kepala. Ada rasa sedih karena telah ķehilangan istrinya. Ia keluar ruangan dan menoleh ke arah Putra yang tersenyum ramah. Faisal tak membalas senyum sapaan Putra. 

Faisal menuju parkir rumah sakit, ia akan ke rumah orang tuanya. Meminta penjelasan tentang kecelakaan Airi yang disembunyikan. Faisal melaju mobilnya dengan emosi. Memukul kemudi setir dan meremas rambutnya. 

Pipi Airi basah setelah melihat punggung suaminya keluar ruangan. Ia tak mau lagi bersama lelaki itu. Putra mengintip di balik pintu. Merasakan penderitaan Airi. Lelaki itu menyentuh dadanya nyeri sangat nyeri. Seakan-akan batin mereka menyatu.

Suara kendaraan terdengar di garasi rumah. Faisal bergegas keluar mobil dan membanting pintu dengan emosi. Tanpa ucapan salam berjalan menuju mamanya--Ririn.

Ririn melihat anaknya berdiri tak jauh darinya. Ririn sedang menonton televisi. "Faisal, kamu," ucapnya terpotong melihat raut wajah anaknya yang memerah. Ririn merasakan hawa yang berbeda.

"Ma, kenapa Mama tega sama Faisal? Kenapa!" tanyanya dengan nada tinggi. Ia lupa kalau Ririn adalah orang tuanya.

"Mama adalah wanita yang begitu aku sayangi. Semua keinginan Mama aku penuhi."ucapnya lirih. Ia menahan emosinya. Rasa sayangnya kepada Ririn berubah kecewa.

"Kamu memang memenuhi keinginan Mama, tapi kamu melawan Mama dengan menikahi Airi. Gadis itu pendusta ia sudah menipu kamu! Ia tak suci lagi, wanita miskin ja*ang. Gadis tanpa selaput dara tak pantas kamu nikahi." ucap Ririn menusuk ke jantung anaknya. Berusaha membela diri dan tak mau mengakui kesalahannya. Ririn bertekad akan mengusir Airi secepatnya.

"Aku mencintai Airi. Aku sangat mencintainya." Bola mata Faisal mengembun, hatinya hancur melihat perubahan sikap istri pertamanya.

"Airi, sudah tak sehangat dulu. Ia berubah menjadi dingin. Airi bukan lagi seperti dulu," isaknya mengusap wajah kasar.

"Kamu pantas mendapatkannya!" sindir pak Joko dengan lantang. Lelaki tua itu berdiri tepat di belakang Ririn. Ia hendak kembali ke rumah sakit. Mendengar suara Faisal bergegas keluar. 

"Papa!" Mata istrinya melotot ke arah lelaki itu. Memberi kode agar menutup mulutnya.

Pak Joko mendengar semua percekcokan istri dan anaknya. Selama ini Ririn berkata bahwa Airi mandul. Joko merestui pernikahan Faisal dengan Bella. 

Bugh!

Sebuah pukulan di wajah anak tampan yang ia urus dengan baik berubah menjadi bo*oh. Pukulan yang pantas agar menyadarkannya.

Teriakkan Ririn mengema, tak pernah melihat suaminya semarah itu. Tubuhnya tak berani mendekat. Ia bangkit dan cemilan yang ia pegang berserakan di lantai.

Joko menarik baju Faisal, tatapan mereka bertemu. Faisal diam tak melawan, rasa sakit di hatinya lebih dalam. Pasrah hanya itu yang dilakukannya.

"Percuma kamu kuliah, tapi otakmu otak udang!" maki pak Joko dan melayangkan pukulan ke perut anaknya. Mendorong tubuh Faisal ke lantai.

"Tidak semua wanita memiliki selaput dara. Tragedi, kecelakaan, atau benturan bisa merobek selaput tersebut. Papa kecewa sangat kecewa. Kamu anak b*d*h, suami yang tak bersyukur. Airi istri yang baik dan taat kepada suami."

"Kamu lihat Mamamu!"tunjuknya ke arah Ririn yang berwajah pucat.

"Apa dia pernah menyambut Papa pulang kerja, memberikan surga bagi Papa?" tanya Joko dengan berteriak.

"Yang ia inginkan harta dan shooping, tak pernah mempedulikan Papa. Hanya makian yang Papa dapatkan." Pak Joko menunjukkan jari ke dadanya.

"Kamu akan menyesal, Faisal," pekik pak Joko. Faisal duduk di lantai dengan menundukkan kepala. Ia terisak, menyerap perkataan papanya ke dalam hati.

Senyum Airi yang menyambutnya pulang terbayang-bayang. Masakan Airi yang tersaji di meja makan terlihat cantik. Tubuh istrinya yang tak pernah terjamah. Isakan kecil menjadi nyaring. Ia tak peduli orang bilang dirinya cengeng. Saat ini menangis dan menyesal adalah jalan terbaik.

"Papa ...," panggil Ririn lembut. Wajahnya pucat melihat perbuatan suaminya.

"Mulai saat ini kamu saya talak!" ucap pak Joko lantang. Pak Joko lelah hati dan pikiran. Semua utang istrinya dia yang membayar. Cicilan mobil belum lunas Ririn malah membeli yang lain membuat dirinya muak.

Hanya uang yang ada di otak Ririn. Kalau bukan karena janjinya kepada almarhum Papi Ririn ia tak akan bertahan. Namun, hatinya sudah terluka tak dapat ditutupi lagi.

"Papa, maksudnya apa mentalak mama. Apa salahku!" Ririn tak terima. Ia mendekati tubuh suaminya. 

"Papa tak bisa menceraikanku! Tak bisa!" teriaknya lantang.

"Tentu aku bisa, aku lelah denganmu. Selama puluhan tahun menikah. Apa kamu pernah mengurusku dengan baik. Hanya uang dan uang. Mulai hari ini aku ingin kita bercerai!"

"Tidak! Aku tak mau. Apa ini semua ulah Airi?" tuduh Ririn.

"Jangan kamu salahkan orang lain. Kesalahan ini adalah kamu sendiri. Berpikir positif, kamu selalu saja bersikap buruk." Pak Joko masuk ke kamar dan mengambil barang yang penting. Meninggalkan Ririn dan Faisal yang bergeming.

Sekarang, rumah tangga anaknya ia hancurkan. Pak Joko tak peduli panggilan Ririn. Ia masuk ke dalam mobil. Wanita itu menangis mengejar mobil suaminya.

"Papa! Papa! Jangan pergi!" Ririn mengejar mobil suaminya. Ia tersandung, lutut dan sikunya berdarah terkena aspal. Ia duduk di atas aspal. Hanya isakan yang terdengar.

Ririn kembali masuk ke rumah dengan jalan tertatih. Menghampiri anak kesayangannya.

"Faisal ... Mama," ucapnya terhenti melihat anaknya bergeming. Ririn menangis berlutut di depan anaknya dan memeluk tubuh Faisal. Ia tak mempedulikan rasa perih di tubuhnya.

Faisal membalas pelukan Ririn. Sejahat-jahatnya wanita itu tetap ibunya. Faisal tak mau dicap anak durhaka. Setiap orang memiliki kekurangan begitu juga Ririn.

Ririn terlahir dari orang tua yang berkecukupan sedangkan pak Joko hanya seorang anak petani. Mereka menikah karena keinginan orang tua Ririn.

Pak Joko tipe lelaki penyabar. Sesabarnya seseorang pasti akan mengalami kebosanan. Tak pernah sekalipun lelaki itu mendua. Melirik wanita lain saja tidak. Pak Joko selalu mengalah.

Ibu Ziah--pemilik panti asuhan mendapat kabar dari Joko kalau Airi sudah sadar. Wanita itu di temani Nisa--anak sulung Ziah langsung menjenguk Airi. Wajah khawatir terlihat jelas di guratan mukanya.

"Sudah Bu, Airi gak papa," ungkap Airi. Bu Ziah tak berhenti menangis. Walaupun Airi bukan lahir dari kandungannya.

"Ibu, jangan nangis terus! Aku lapar," ucapnya mengalihkan.

"Kamu lapar,ndok. Ibu suapin, ya. Ibu bawa sayur bening dan ayam goreng kesukaan kamu. Kebetulan di panti menunya itu." Wanita paruh baya itu mengusap pipi dengan jarinya. Airi dan Nisa tersenyum melihat ibunya.

"Buka mulutnya!" perintah Ziah. Pak Joko menatap dari pintu, Airi terlihat sehat. Walaupun, hatinya sakit. Pak Joko mengucapkan salam. Mereka menjawab serempak.

"Apa kabar Pak Joko," tanya bu Ziah. Wanita berhijab coklat tersenyum ramah.

"Alhamdulillah, baik." Mereka mengobrol tentang keadaan Airi. Tak terasa nasi yang disuapin bu Ziah habis.

"Terima kasih, Bu." Airi mengambil tisu dan mengelap mulutnya perlahan. Seorang lelaki dengan perawakan tegas, masuk ke ruang Airi. Lelaki itu membawa parsel buah di tangannya. 

"Selamat sore," sapanya ramah.

"Selamat sore," jawab mereka serempak. 

"Pak Rio, Anda berada di Jakarta?" ucap pak Joko terkejut. Kehadiran big bos di rumah sakit. 

"Semalam datangnya. Saya ingin menjenguk menantu kamu apa boleh?" tanya Pak Rio--papanya Putra dengan sopan.

"Silahkan, Pak! Senang sekali Anda datang," ungkap pak Joko. 

Pak Rio melangkahkan kaki menuju ranjang Airi. Mata pak Rio terpaku melihat Airi dengan balutan kerudung instan. Airi tersenyum kepadanya. Senyum itu mengingatkan dirinya kepada seorang wanita yang amat dicintainya. 

"Sarasyana," panggilnya lirih. 

"Maaf Pak, mantu saya namanya Airi bukan Sarasyana." 

"Oh, maaf. Maksudnya Airi. Bagaimana perkembanganmu?" 

"Alhamdulillah, baik. Terima kasih sudah berkunjung,"

Pak Joko memperkenalkan Rio sebagai papa dan pemilik perusahan Putra. Pak Rio yang akan membiayai biaya rumah sakit Airi sebagai bentuk tanggung jawab. 

"Maaf kalau boleh tahu, siapa nama ibumu?" tanya pak Rio. Hatinya merasa terganggu dengan wajah Airi. Airi hanya menunduk dan meremas jarinya.

"Saya Ibunya Airi," ucap bu Ziah. Wanita itu tahu perasaan Airi. Ketika seseorang menanyaka orang tuanya. 

"Oo ... anak Ibu cantik," puji pak Rio. Mereka saling berbincang dan meminta maaf atas kesalahan Putra yang telah menabrak Airi. Pak Rio mencuri-curi pandang ke arah Airi. Jiwanya bergejolak dan merintih ketika senyum Airi menghiasi bibir merahnya.

Pak Rio berpamitan kepada pak Joko dan Airi. Lelaki itu meningalkan ruang Airi tergesa-gesa, masuk ke dalam mobil dan memerintahkan supir untuk kembali pulang, "Airi mirip sekali dengan Sarasyana." 

Di lain tempat dan waktu. Suara bel rumah mengganggu tidur Bella. Faisal sudah berangkat kerja sejak pagi. 

"Aduh, siapa sih?" gerutu Bella. Bella membuka pintu dengan muka bantalnya. Faisal tak mengizinkan Bella bekerja.

"Bella, Sayang. Mama kangen." Ririn memeluk Bella. Bella membalas pelukan wanita itu. Kedua wanita itu masuk ke dalam, mereka duduk di sofa. Terlihat wajah Bella malas. Istri Faisal menatap koper yang dibawa mertuanya. Ia mengernyit heran. Ririn cengar-cengir ke arah Bella.

"Mama mau ke mana?" tanya Bella.

"Mama akan tinggal di sini?" ungkap Ririn. Penampilan wanita itu berubah, biasanya memakai make up tebal setebal dua centimeter. Tak ada perhiasan yang menghiasi tubunnya.

"Tinggal di sini?" tanya Bella dengan suara terkejut.

"Terserah Mama, asal jangan menganggu privasi aku," ucapnya sinis. Ia bangkit dari duduknya dan kembali ke kamar melanjutkan lagi tidurnya.

Ririn menatap sekeliling rumah anaknya. Tak ada makanan dalam kulkas hanya ada air mineral. Piring kotor menumpuk, lantai lengket, dan bau tak sedap disepenjuru ruangan. 

"Jorok sekali Bella." Ririn memulai membersihkan rumah itu. Mau tak mau ia harus merapikannya.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rastri Quinn
Aku kira Airi yg ditalak
goodnovel comment avatar
Siti Muawanah
kenak batunya kan kamu ririn 😏😏
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status