"Bagaimana Luis?" tanya Roy dingin via telepon. Karena mansion begitu besar, malas juga untuk menunggunya datang. Mengingat jarak dari ruang kerjanya dengan ruang hitam lumayan jauh.
"Sudah diatasi, Boss. Para wanita bayaran Anda sedang memberinya pelajaran. Anda bisa dengar sendiri suara mereka," ujar Luis.
Roy menghela napas beratnya. "Baiklah. Jika sudah selesai, berikan aku rekamannya."
Roy memutus sambungan sepihak. Sebenarnya Roy tidak mau memberi hukuman ringan seperti ini. Apalagi hukuman ini tergolong sangat menguntungkan Adit. Bagaimana tidak? Ini yang dia sukai dan yang ia cari setiap ke Club.
***
Gera menggeliat di atas ranjang raksasa yang sangat nyaman. Ia pingsan begitu lama, atau bisa saja ia juga tertidur. Pelan ia membuka kelopak matanya, menyadari ada yang lain, Gera refleks terduduk.
"Aku dimana?" Gera mulai mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan.
Kepala pelayan menghampirinya, "Nona, Anda sudah bangun rupanya. Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?"
"Tunggu! Aku dimana sekarang?" tanya Gera panik.
"Kau sedang berada di mansion Tuan kami. Tuan Roy yang membawa Anda kemari, Nona," tutur Ros.
Gera nampak sangat bingung. "Tuan Roy? Aku tidak memiliki teman atau kenalan yang bernama Roy."
"Boleh aku keluar sekarang? Aku harus pulang. Sampaikan salam terima kasih dariku untuk Tuanmu, tolong," pinta Gera pamit. Sebenarnya dia enggan untuk pergi, karena ia masih ingin tahu siapa itu Roy.
"Maaf Nona, Anda tidak boleh keluar sebelum Tuan Muda datang kemari dan memberimu izin," jelas Ros membuat Gera terkejut.
"Lalu aku harus apa, Bibi?" Ditengah kericuhannya mengoceh, tiba-tiba perutnya mual dan memuntahkan isi perutnya ke lantai.
Ros panik bukan main. Begitu juga dengan pelayan lain yang ikut menunggu Gera. "Nona, saya mohon berbaringlah. Jangan sampai Tuan marah besar," ujar satu diantara mereka
Gera lemas dan dibantu para pelayan untuk berbaring kembali di ranjang. Untuk membuka matanya saja sudah tak ada tenaga.
Beberapa menit kemudian Gera kembali terbangun dalam keadaan sangat pusing. "Aw! Kenapa begini?" gumam Gera pada diri sendiri.
"Bibi, boleh kutahu namamu?" tanya Gera dengan mata terpejam.
"Tentu, Nona. Nama saya Ros. Anda bisa memanggil saya Ros saja. Saya kepala pelayan disini."
"Big no! Bagaimana bisa aku memanggil namamu saja? Sudah sangat jelas kau lebih tua dariku. Lalu bagaimana bisa aku memanggilmu Ros? Bibi ini aneh," Gera terkikik geli.
"Panggil Ros saja, Nona. Saya takut Tuan Muda marah jika Anda memanggil saya bibi," lirih Bibi Ros panik.
Gera menatap Ros, "biar aku yang melawan Tuanmu, Bibi. Aku yakin dia tidak seseram hantu. Dan tolong, jangan bersikap formal seperti itu. Namaku Gera. Panggil Gera saja. Oke?"
"Ta-tapi Nona...." Ros sangat ragu.
"Tidak menerima penolakan!" tegas Gera yang mau tidak mau harus dituruti.
Mereka berbincang-bincang santai tapi dalam keadaan Gera yang berbaring.
"Gera, Bibi keluar dulu. Jika kau butuh sesuatu, kau bisa meminta pada mereka," Ros menunjuk para pelayan yang ada disana. Gera hanya mengangguk.
Setelah kepergian Ros, Gera kembali merenung. Bagaimana bisa dia berada di rumah semewah ini? Dan siapa itu Roy? Bahkan bajunya saja sudah diganti. Semoga saja yang menggantinya adalah para pelayan wanita disini.
Mengingat dirinya tadi mual dan muntah, Gera jadi takut sendiri. Apakah dia hamil sekarang? Lalu bagaimana caranya meminta pertanggung jawaban? Sedang Gera saja tidak tahu dimana pria itu dan kemana harus mencarinya.
Roy memilih untuk menuju ruang hitam terlebih dahulu sebelum mencari Gera. Ia ingin melihat lelaki itu.
"Boss! Kau datang," Luis membungkuk ketika melihat Roy masuk ruangan itu. Hanya orang tertentu yang boleh memasukinya. Dan Luis sendiri diberi kebebasan untuk memasukinya.
Tatapan dingin Roy semakin tajam dan nyalang kala melihat raga Adit yang berserakan bersama wanita-wanita itu.
"Bagaimana permainannya, ladies?" tanya Roy dingin.
Ketiganya tersenyum nakal melihat Roy. Mengingat Roy siapa, wanita mana yang tidak akan bertekuk lutut. "Dia kalah, Tuan. Tapi kami masih ingin lebih."
"Luis, kenapa lelaki ini pingsan? Apa kau menyerangnya?" tanya Roy berbalik badan menuju Luis.
"Tidak sama sekali, Boss. Dia kewalahan melayani tiga wanita itu. Mereka sama sekali tidak ada habisnya," tutur Luis.
Roy kembali ke ranjang dan menggoyang tubuh Adit. Namun tidak ada respon darinya. Tak berpikir dua kali, langsung saja Roy menyiram wajah Adit dengan air dingin yang ada di kulkas ruangan hitam.
Adit tersedak air dan tak henti-hentinya batuk. Roy terlalu kasar menyiramnya. Dan memang itulah Roy.
"Siapa yang menyiramku?" pekik Adit sembari mengusap wajahnya kasar.
"Kau sudah bangun rupanya. Aku yang menyirammu," ujar Roy datar.
"Kenapa cepat sekali pingsan? Bukankah kau sudah terbiasa bermain seperti ini di Club?" tanya Roy lagi. Dingin. Tajam.
Adit mendecih. "Wanita-wanitamu terlalu haus, dan aku dibuat lelah walaupun masih ingin lebih."
Tawa Luis pecah mendengar itu. Sedang Roy masih bersedekap menatap dingin ke arah Adit.
"Tidak tahu diuntung!" umpat Adit pada wanita itu.
"Hey, dude! Kau lebih tidak tahu diuntung. Lebih baik kau ingat baik-baik! Ini peringatan terakhir dariku. Tolong jangan ganggu wanita itu lagi. Jika tidak, video ini akan aku kirim ke atasanmu. Dan kau akan di blacklist!" ancam Roy.
"Kau! Bagaimana bisa kau melakukan itu semua?" Adit tertawa melihat Roy.
"Kenapa tidak? Apa yang aku inginkan, harus aku dapatkan!" jawab Roy penuh penekanan.
"Aku tidak takut!" ujar Adit.
"Jangan berani mengatakan hal kasar pada Boss saya! Lenyap kau jika berani melakukan itu lagi," Giliran Luis yang mengancam Adit.
Roy berlalu meninggalkan ruangan itu dan berniat akan mencari Gera. Ia sudah tidak sabar melihat wanita itu.
***
Roy masuk ke ruangan dimana Gera berada. Begitu masuk, Gera tersentak kaget. "Kenapa kau bisa disini?" lirih Gera malu.
"Nona, dia Tuan kami," ujar salah satu pelayan.
"What? Tuan kalian? Pemilik mansion ini?" tanya Gera memperjelas. Dan pelayan itu mengangguk.
"Sudah mengerti?" tanya Roy sombong.
Tanpa pikir panjang, Gera langsung ngegas. "Kau harus tanggung jawab, Tuan! Jika aku hamil, bagaimana?Astaga!" gertak Gera.
"Kau yang memintaku untuk melakukan itu, bodoh! Apa kau lupa bagaimana caramu mengemis padaku?" Roy tidak mau kalah keras. Karena memang sifatnya tidak mau kalah.
Gera terisak sambil menghentakkan kaki mungilnya. Ia sangat menyesal telah melakukan itu semua. Terlebih, laki-laki yang merenggut kehormatannya adalah orang yang sangat dingin dan kasar.
"Ini semua gara-gara kamu, Adit! Demi apapun aku nggak akan ikhlas," teriaknya dan masih saja terisak.
"Percuma saja kau menyalahkan siapapun. Sudah terjadi. Makanya, jadi cewek jangan ceroboh! Dasar bodoh!" Roy terus saja mengganggu Gera dengan kata-kata menyakitkan darinya.
Gera menghela napas berat. Sudah tidak ada harapan lagi. Kalau dia hamil, dia harus menjadi seorang single parent. Apakah Gera sanggup melanjutkan hidupnya? Atau akan mengakhiri semua dengan keputusasaan?
Roy meninggalkan Gera sendiri di kamar itu. Dan meminta Ros untuk mengikutinya. "Ros, apa yang terjadi dengan wanita itu sebelum aku datang?" tanya Roy. Ros hanya menunduk takut. "Ma-maaf, Tuan. Tadi Gera sempat muntah-muntah Tuan." "Si-siapa? Gera?" tanya Roy penasaran. "Maaf Tuan, Nona itu menyuruh saya untuk memanggil namanya saja. Dia wanita yang sangat baik," tutur Ros tegang. "Oke. Namanya Gera, dan tadi sempat muntah katamu?" tanyanya memperjelas. Ros mengangguk. "Iya, Tuan." "Pergilah. Aku akan mengurus wanita ceroboh itu sendiri." Roy mengibaskan tangannya menyuruh Ros pergi. *** "Bagaimana keadaanmu, Nona?" Dingin. Datar. Sangat menjengkelkan. Gera memicingkan matanya tajam. "Wow! Kau mau menggodaku, Nona? Matamu itu...." Roy menggoda Gera. "Apa kau buta? Mataku menatap tajam kau bilang menggoda? Astaga!" Gera memekik keras. "Dasar laki-laki aneh!" gumamnya lagi hamp
"Maafkan saya, Pak. Saya yang lalai," Gera merendah ketika orang yang mewawancarai dirinya marah. Bukannya dia mau main-main, hanya saja dia sudah sangat putus asa. Kemana Gera harus mencari kerja lagi? Ia luntang lantung kesana kemari tak terarah. Uang sudah menipis. Sedang biaya hidup tetap harus mengalir. Oh Tuhan! *** Deva, HRD yang menyeleksi pegawai di kantor Roy menghampiri sang CEO dengan setumpuk kertas. "Maaf, Pak. Untuk jabatan sebagai pengganti sekretaris Bapak diantara semua tumpukan yang saya wawancarai hari ini tidak ada satupun pelamar yang memenuhi syarat," Sudah tugas Deva melaporkan hal ini pada Roy. Karena posisi yang dicari bukan posisi yang main-main. Roy hanya terpaku pada komputer dengan ekspresi datarnya. "Coba cek sekali lagi. Apa ada wanita yang bernama Gera?" perintah Roy. "Baik, Pak," Dengan cekatan Deva memeriksa se
"Pak, Anda diamlah di meja Anda. Ada keperluan apa Bapak menghampiri saya?" tanya Gera dengan gaya yang sengaja dibuat angkuh."Aw!" Gera mengelus kepalanya yang sakit karena dijitak Roy."Kau pikir kau siapa disini? Ingat siapa yang menjadi Boss?" Dagu seorang Aroy terangkat dengan gagah dan sombongnya."Maaf, Pak atas kelancangan saya.""Jangan menghindar! Aku menginginkanmu," bisik Roy membuat telinga Gera geli dan meremang."Jangan menghindar! Apa kau lupa bahwa kau milikku?" Ingin sekali Gera menampar pria ini. Namun, entah kenapa sapuan napas Roy di tengkuknya membuat Gera terpancing."Maaf, Pak. Bukannya tugas saya hanya menjadi sekretaris pribadi Bapak?" Otak Gera berputar memikirkan alasan agar pembicaraan ini teralihkan."Ingat, Gera! Kau milikku. Dan jabatanmu menjadi sekretaris pribadiku tidak mengubah statusmu yang menjadi milikku dan kau tidak
"Sudah kutebak," Roy tersenyum lebar melihat kehadiran Gera.'Astaga! Kenapa senyumnya sangat menggoda dan membuatku enggan untuk pergi?' batin Gera menjerit. Gera menampik pikirannya dan menggeleng."Jangan terlalu percaya diri, Tuan. Sikap seperti itu tidak perlu dijunjung tinggi meski perlu. Secukupnya saja," Senyum Roy seketika meredup mendengar perkataan Gera.Gera masih saja berdiri dihadapan Roy dan menatap datar. " Lalu untuk apa kau kemari jika bukan kembali menjadi asistenku?""Mohon maaf, Tuan. Apa yang Anda katakan barusan? Asisten? Bukannya saya disini hanya dijadikan budak atau yang kerap Anda sebutkan namanya sebagai, ah entah saya lupa," Gera berniat menyindir Roy."Saya kesini hanya untuk mengembalikan barang Anda yang sempat saya pinjam. Hoodie. Terima kasih banyak, Tuan. Untuk uang Anda, denda maksud saya, bersabar
"Aku yakin ada yang aneh dengan minuman ini. Pasti ulah si Dinda," batin Roy. Terselip senyuman tipis di wajahnya. "Roy, apa yang terjadi dengan tubuhku? Kenapa terasa sangat panas?" Lenguhan kecil terdengar lolos dari mulut Gera ketika Roy menyentuh lengannya. "Roy, rasanya seperti malam itu. Ketika Adit memberiku obat. Apa kau juga menaruh obat untukku dalam minuman itu?" Gera ingin menatap tajam Roy tapi gelenyar aneh ini membuatnya tak fokus. Roy tersentak mendengar penuturan Gera. "Apa? Kamu pikir aku pria murahan? Big no! Ini sama sekali bukan ulahku," Roy langsung keberatan dan melangkah menuju kursinya. Menyelesaikan pekerjaan yang sedikit lagi kelar. "Lalu siapa jika bukan kau?" tuduh Gera. "Mana ku tahu. Aku saja sejak tadi sibuk dengan pekerjaanku. Mana sempat mencampur ini itu dalam minumanku. Untuk apa?" Kenyataannya Roy sudah terpancing hanya dengan melihat Gera yang seperti cacing kepanasan. &
Menunggu Luis membuat Gera mengingat kembali Roy. Ia menghela lelah jika mengingat tugas membosankan itu. Ingin sekali berhenti tapi Roy sudah memikirkan semuanya selangkah lebih maju. "Dasar laki-laki labil!" Gera terus saja merutuki Roy. Kesal dengan sikap Roy yang membuatnya terus saja jengkel. Gera ingin sekali menangis. Tapi tak bisa karena masih ada Luis. Dia terlihat sudah kembali. "Ini untukmu, Ge!" "Ini untukmu!" Luis menyadarkan lamunan Gera. "Makanlah. Aku yakin kamu lapar sekarang," ujar Luis. Namun Gera menatap aneh cup makanan siap saji itu. "Apa kau yakin makanan ini tidak ada apa-apanya?" Luis dibuat bingung dengan pertanyaan Gera. "Maksudnya?" "Apa Roy tak menyuruhmu membubuhi makananku dengan obat lagi?" Luis terkekeh. "Tidak, Gera. Percayalah! Roy sedang di kantor. Mana mungkin menyuruhku membubuhi makananmu," ujar Luis. "Baiklah. Akan kumakan.
"Aku tanya apa kau siap?" Roy menegaskan pada Gera karena ia hanya memutar bola matanya lemas.Tapi bukannya membuat Roy marah atau sedikit malas dengannya, Roy malah tak peduli dan ia menjadi semakin gemas dengan tingkah Gera."Lets go to the hot game!" Terlihat sangat enteng saat Roy membopong tubuh Gera."Roy! Ini sangat geli." Rambut Roy yang sebelumnya rapi sekarang berantakan karena dijambak oleh Gera.Bukannya menuruti keinginan Gera, Roy malah mengangkat kaki Gera setinggi yang ia bisa. "Masih ingat? Kau tak boleh menolak, Nona.""Apa yang akan kau lakukan, Roy?""Cerewet! Aku jadi tidak fokus karena dirimu!" Gera terkesiap mendengarnya. Ia sangat malu, berusaha ia tutupi namun nihil, Roy tak akan memberi celah.Ternyata stamina Roy tak bisa diremehkan. Gera kewalahan me
Sampai kantor, Roy langsung berlari menuju sofa tempat Gera biasa duduk menantinya dengan bosan. Roy terkekeh pilu mengingat bagaimana Gera yang kesal menemaninya."Ge... ." Suara Roy tercekat saat melihat kotak makan yang berisi brownise coklat yang Gera bawa tadi.Roy langsung memakannya. "Ini enak sekali, Ge. Seharusnya kau menyuapiku sekarang." Seorang Boss yang dingin dan kejam ini sekarang berubah sendu hanya karena satu wanita. Ia ingin sekali mencari Gera, namun takut kalau ini bukan waktu yang tepat."Lebih baik aku tidur di sini saja dan menunggu kehadiran Gera besok pagi." Dengan keyakinan yang sebenarnya tidak ada, Roy meyakinkan dirinya bahwa Gera akan tetap bekerja untuknya esok pagi."Ge... ." Roy terus saja meracau menyebut nama Gera dan Gera. Ia lebih terlihat seperti orang yang kehilangan semangat hidupnya