Share

Bab 6

     Roy meninggalkan Gera sendiri di kamar itu. Dan meminta Ros untuk mengikutinya. "Ros, apa yang terjadi dengan wanita itu sebelum aku datang?" tanya Roy.

Ros hanya menunduk takut. "Ma-maaf, Tuan. Tadi Gera sempat muntah-muntah Tuan."

"Si-siapa? Gera?" tanya Roy penasaran.

"Maaf Tuan, Nona itu menyuruh saya untuk memanggil namanya saja. Dia wanita yang sangat baik," tutur Ros tegang.

"Oke. Namanya Gera, dan tadi sempat muntah katamu?" tanyanya memperjelas.

Ros mengangguk. "Iya, Tuan."

"Pergilah. Aku akan mengurus wanita ceroboh itu sendiri." Roy mengibaskan tangannya menyuruh Ros pergi.

***

"Bagaimana keadaanmu, Nona?" Dingin. Datar. Sangat menjengkelkan.

Gera memicingkan matanya tajam. "Wow! Kau mau menggodaku, Nona? Matamu itu...." Roy menggoda Gera.

"Apa kau buta? Mataku menatap tajam kau bilang menggoda? Astaga!" Gera memekik keras.

"Dasar laki-laki aneh!" gumamnya lagi hampir tidak bisa didengar orang lain.

Gera mendengus kesal membelakangi Roy. "Untuk apa kau kesini? Bukankah kau sudah memutuskan untuk tidak bertanggung jawab?" Jutek. Dan sangat sensitif.

"Astaga. Nona, sudah kubilang, bukan? Kau tidak akan hamil karena baru melakukannya sekali. Dasar bodoh!" ujar Roy berusaha menjelaskan.

"Kau selalu saja menghinaku. Tidak bisakah sekali saja jangan menyebutku bodoh?" Gera rupanya tak terima akan hal itu.

"Kau memang bodoh!" ujar Roy memaki Gera lagi.

"Tadi aku muntah-muntah, makanya aku mengira kalau aku hamil. Memangnya salah besar kalau aku sendiri takut? Dasar Tuan pemarah," balas Gera tak mau kalah.

"Aw!" Ringisan Gera begitu nyaring saat Roy menjitak kepalanya.

"Apa kau lupa tadi malam kau sangat mabuk, Nona. Tidak aneh jika sekarang kau muntah dan pusing juga," Roy akhirnya memberitahu Gera sebab mengapa dia muntah tadi.

"Begitu, ya? Aku kan tidak tahu karena itu kali pertama aku meneguk minuman keras," jawab Gera sembari berpikir.

        Entah kenapa Roy merasa sangat terhibur dengan kehadiran wanita ini. Senyum tipisnya merekah namun tersembunyi.

        Roy melangkahkan kakinya pelan menuju Gera. Membuat Gera menjaga jarak. "Mau a-apa kau, Tuan pintar?" 

"Aku ingin bermain denganmu lagi, Nona," Roy tak bisa menyembunyikan keinginannya yang sudah memuncak.

"Kau selalu saja membuatku menginginkanmu setiap kali aku melihatmu," tambah Roy.

Gera semakin menjaga jarak. "Ti-tidak, Tuan. Kau tak bisa melakukan ini padaku," timpal Gera takut.

"Aku yang mengambil kesucianmu, secara otomatis, kau adalah milikku," ujar Roy tegas.

         Roy sudah sangat tidak tahan. Bahkan jika Gera menolakpun ia tidak akan mengindahkannya. Ia harus bisa mendapatkan apa yang dia inginkan. Sigap. Roy langsung melakukan aksinya tanpa memberi celah....

         Roy sedikit kesulitan karena Gera masih saja melawan. Namun bukan Roy namanya jika tidak bisa mendapatkan apa yang ia ingin.

Gera memukul dada bidang Roy. Memberi kode kalau ia sudah kehabisan napas. "Ka-kau membuatku tak bisa bernapas," Gera terengah-engah.

        Baik Roy maupun Gera terengah-engah. Namun Roy enggan mengakhiri apa yang sudah terlanjur ia mulai.

"Istirahat?" tanya Roy. Gera mengangguk lemah.

"Maaf, sayang. Tapi tidak bisa semudah itu!" geram Roy.

         Selesai bermain, Roy meneguk habis air yang ada di atas nakas. Ia tersenyum melihat Gera yang terkulai lemas hingga tertidur. 

***

          Roy meninggalkan Gera yang tertidur di kamarnya. Sementara itu ia berjalan menuju ruangan dimana Adit dikurung. 

"Bagaimana, Luis?" tanya Roy tanpa menatap Luis. Matanya fokus menatap Adit yang lemas karena tak bisa mengendalikan diri. Roy memerintahkan Luis untuk memberi suntikan obat pada Adit. 

"Sesuai perintah, Boss!" Luis tersenyum mengingat Adit yang menggelepar tak terkendali setelah ia menyuntikannya obat itu. Obat yang membuat tubuh terasa tersengat listrik di dalamnya. 

        Masih dengan keadaan tanpa secarik kain, Adit terbujur di atas ranjang mewah itu. Sudah lelah karena permainannya. 

        Setelah lelah bermain dengan tiga wanita itu, Adit kembali diberi pelajaran oleh Luis. Kejam? Sangat. Ini perintah dan ia harus profesional. 

"Benar yang dikatakan wanita-wanita itu. Orang sepertimu mau mencoba meninggi? Tidak tahu malu!" Roy tertawa sinis sambil melihat jijik pada Adit. Sementara Luis menahan tawa di belakang Roy. 

"Luis! Jika nanti dia sadar, sebelum kamu melepas dia, ingat beri peringatan keras. Agar dia tidak mengganggu wanita itu lagi," Roy berlalu setelah memberi perintah pada Luis. Luis mengangguk paham. 

         Tidak sebentar Luis menunggu kesadaran Adit. Namun karena Luis manusia dingin dan tak berperasaan, dia selalu menikmati tugasnya.

"Aduh! Apa orang ini sudah tak bernapas?" gerutu Luis kesal. 

          Hingga pada akhirnya Adit menggeliat berusaha menyadarkan diri sendiri. 

"Bangunlah! Kau membuatku lelah menunggu!" Luis menggerutu sambil menatap Adit nyalang. 

"Pakailah baju Anda, Tuan! Sebentar lagi saya antar pulang. Cepatlah jika tidak ingin kuseret dengan kondisi tanpa kain." 

"Hentikan! Aku sangat lelah!" pinta Adit. Luis yang tidak sabar menunggu Adit mengganti pakaian hingga ia mengoceh terus menerus. 

***

"Ros! Kau sudah memberi Gera makan?" 

Ros menggeleng takut. Wajahnya ia sembunyikan sedemikian rupa. 

"Kenapa? Cepat antarkan dan bujuk dia untuk makan!" Perintah Roy mau tidak mau harus dituruti. 

"Bilang padanya satu jam lagi aku akan menemuinya," Roy berlalu meninggalkan Ros yang masih terpaku di tempat. 

         Membayangkan Gera membuat Roy tersenyum. Apa iya seorang Roy yang terkenal misterius itu sudah jatuh hati pada Gera? Atau ia menganggap Gera hanya sebagai Friends With Benefit?

***

"Bibi Ros, boleh kuminta kau untuk menyuapiku makan? Aku rindu mendiang mamaku," Air mata Gera menggenang hingga ingin menyeruak tumpah dari hulu danau indah itu. 

          Mendengar ucapan Gera, Ros tersenyum. Tak akan pernah menyangka bahwa Nona ini akan membuatnya terharu. Ia juga sedih. Karena perangai manja Gera membuatnya ingat dengan buah hatinya yang ada di kampung. Ia tak pernah bisa pulang. Dan hanya bisa berinteraksi via telepon saja. 

"Tentu, Nona," Ditengah kesedihannya, Gera merekahkan senyumnya. Ia sangat bahagia bisa seperti ini.

"Terima kasih Bibi," Gera girang, sangat girang.

"Wow! Kau sangat manja!" Roy berjalan menuju ranjang tempat Gera. Namun wanita yang disapa mendelik dan memalingkan wajahnya. 

"Ma-maafkan saya, Tuan. Saya sudah lancang!" Ros memohon dengan terbata-bata. 

"Ingat posisimu, Ros!" Dingin. Roy sangat tak berperasaan berbicara dengan orang tua seperti Ros. 

Gera melotot nyalang pada Roy. "Hey! Bagaimana bisa kau berbicara seperti itu pada Bibi Ros? Aku yang memintanya, jadi bukan salah dia. Kau benar-benar sombong!" 

"Jaga bicaramu, Nona! Aku yang mempekerjakan dia disini. Bukan kau!" Gera terdiam, seolah tertampar dengan kata-kata Roy yang memang ada benarnya. 

"Ba-baiklah! Lagipula aku disini hanya sebentar. Tak ada salahnya ingin bercengkrama dengan Bibi Ros. Kenapa kau yang keberatan?" Gera benar-benar tak ada takutnya. Semua pelayan di ruangan itu hanya tertunduk takut. 

Helaan napas Roy terdengar kasar. "Oke. Dan sekarang, aku yang akan menyuapimu makan." Ujar Roy. Namun tangan dan niat baiknya ditampik oleh Gera. 

"Aku sudah kenyang. Dan kau sudah merusak moodku! Pergilah!" bentak Gera kejam. Ia lupa siapa dia di sini. 

"Siapa kau? Kenapa jadi kau yang mengusirku? Aku yang menjadi Tuan rumah disini!" 

         Gera terpaku memegang pipi kanannya yang terasa amat kebas karena Roy. Air mata yang bergelinang, kini sudah mengalir sepenuhnya. Ros yang melihat hanya tertunduk dan sangat sedih melihat Gera menangis seperti itu.

"Baiklah! Aku akan pergi saat ini juga. Kau akan menyesal! Itu sumpahku!" Dengan keadaan kacau Gera berlalu meninggalkan Roy. Bukannya senang akan kepergian Gera, Roy malah merasa ada sesuatu yang salah yang ia lakukan. Namun masih bisa ia tutupi didepan semua orang. 

***

"Dasar sombong!" Gera menghapus airmatanya kasar. Ia sangat kesal pada lelaki kasar dan dingin seperti Roy. Dengan langkah cepat Gera kembali menuju rumah yang sudah ia rindukan itu. Rumah kecil tempatnya mengadukan semua masalah. 

"Cukup! Besok aku harus mencari kerja dan mengubah semua yang ada dalam diriku. Akan kubuat lelaki sok berkuasa itu menyesal seumur hidup!" Kekesalan Gera memancing tatapan aneh dari orang disekitar. 

        Langkah Gera terhenti ketika melihat sebuah selebaran yang menempel di tembok rumahnya. 

"Sangat pas!" Gera sangat girang melihat isi dari selebaran itu. Lowongan pekerjaan!

"Tapi... ini jauh dari kemampuanku. Dan ini bukan bidang yang kukuasai. Tapi, tidak apa-apa. Asal sudah dicoba. Siapa tahu memang rezekiku." Senyumnya mengembang. 

"Aku harus menyiapkan semuanya sekarang juga agar besok pagi-pagi sekali aku sudah berangkat ke kantor ini." Erat sekali ia memegang selebaran itu. 

         Ternyata di kantor itu menggunakan sistem walk in interview. Jadi mereka yang  melamar, akan langsung mengikuti wawancara. Gera sangat deg-degan. Ia gugup ketika melihat wajah kecewa dari para pelamar-pelamar itu.

"Aduh! Kok aku jadi takut sendiri, ya?" gumam Gera ragu.

Satu persatu pelamar keluar dari ruangan interview. Entah apa yang terjadi didalam sana. "Tinggal dua lagi dan giliranku!" Gera berusaha menyemangati diri sendiri. 

"Gera Sweeta R." Gera beranjak dari tempat tunggu menuju ruang interview. Pastinya dengan perasaan campur aduk. Jemarinya bertaut dingin. 

        Ia berusaha menampilkan senyum terbaik dan termanis yang dimiliki. Setelah duduk, ia berdeham dan memancing tatapan Bapak penyeleksi. 

"Ada sesuatu, Nona?" tanya Bapak itu.

Gera menggeleng. " Tidak, Tuan. Silahkan dilihat dulu CV saya." 

"Tunggu, bagaimana bisa Anda melamar disini sedang jurusan Anda sangat jauh dari yang kami butuhkan? Apa Anda sudah kehilangan akal?" Apa yang harus Gera katakan sekarang? Astaga!

Komen (20)
goodnovel comment avatar
Emi Puji Lestari
males bacaannya binus dikit
goodnovel comment avatar
Cak Bola Bola
gak mutu mending beli buku x
goodnovel comment avatar
Henlytampenawas Tampenawas
ya kalau ndak pakai koin pasti ceritanya makin seru
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status