"Aku yakin ada yang aneh dengan minuman ini. Pasti ulah si Dinda," batin Roy. Terselip senyuman tipis di wajahnya.
"Roy, apa yang terjadi dengan tubuhku? Kenapa terasa sangat panas?" Lenguhan kecil terdengar lolos dari mulut Gera ketika Roy menyentuh lengannya.
"Roy, rasanya seperti malam itu. Ketika Adit memberiku obat. Apa kau juga menaruh obat untukku dalam minuman itu?" Gera ingin menatap tajam Roy tapi gelenyar aneh ini membuatnya tak fokus.
Roy tersentak mendengar penuturan Gera. "Apa? Kamu pikir aku pria murahan? Big no! Ini sama sekali bukan ulahku," Roy langsung keberatan dan melangkah menuju kursinya. Menyelesaikan pekerjaan yang sedikit lagi kelar.
"Lalu siapa jika bukan kau?" tuduh Gera.
"Mana ku tahu. Aku saja sejak tadi sibuk dengan pekerjaanku. Mana sempat mencampur ini itu dalam minumanku. Untuk apa?" Kenyataannya Roy sudah terpancing hanya dengan melihat Gera yang seperti cacing kepanasan.
&
Menunggu Luis membuat Gera mengingat kembali Roy. Ia menghela lelah jika mengingat tugas membosankan itu. Ingin sekali berhenti tapi Roy sudah memikirkan semuanya selangkah lebih maju. "Dasar laki-laki labil!" Gera terus saja merutuki Roy. Kesal dengan sikap Roy yang membuatnya terus saja jengkel. Gera ingin sekali menangis. Tapi tak bisa karena masih ada Luis. Dia terlihat sudah kembali. "Ini untukmu, Ge!" "Ini untukmu!" Luis menyadarkan lamunan Gera. "Makanlah. Aku yakin kamu lapar sekarang," ujar Luis. Namun Gera menatap aneh cup makanan siap saji itu. "Apa kau yakin makanan ini tidak ada apa-apanya?" Luis dibuat bingung dengan pertanyaan Gera. "Maksudnya?" "Apa Roy tak menyuruhmu membubuhi makananku dengan obat lagi?" Luis terkekeh. "Tidak, Gera. Percayalah! Roy sedang di kantor. Mana mungkin menyuruhku membubuhi makananmu," ujar Luis. "Baiklah. Akan kumakan.
"Aku tanya apa kau siap?" Roy menegaskan pada Gera karena ia hanya memutar bola matanya lemas.Tapi bukannya membuat Roy marah atau sedikit malas dengannya, Roy malah tak peduli dan ia menjadi semakin gemas dengan tingkah Gera."Lets go to the hot game!" Terlihat sangat enteng saat Roy membopong tubuh Gera."Roy! Ini sangat geli." Rambut Roy yang sebelumnya rapi sekarang berantakan karena dijambak oleh Gera.Bukannya menuruti keinginan Gera, Roy malah mengangkat kaki Gera setinggi yang ia bisa. "Masih ingat? Kau tak boleh menolak, Nona.""Apa yang akan kau lakukan, Roy?""Cerewet! Aku jadi tidak fokus karena dirimu!" Gera terkesiap mendengarnya. Ia sangat malu, berusaha ia tutupi namun nihil, Roy tak akan memberi celah.Ternyata stamina Roy tak bisa diremehkan. Gera kewalahan me
Sampai kantor, Roy langsung berlari menuju sofa tempat Gera biasa duduk menantinya dengan bosan. Roy terkekeh pilu mengingat bagaimana Gera yang kesal menemaninya."Ge... ." Suara Roy tercekat saat melihat kotak makan yang berisi brownise coklat yang Gera bawa tadi.Roy langsung memakannya. "Ini enak sekali, Ge. Seharusnya kau menyuapiku sekarang." Seorang Boss yang dingin dan kejam ini sekarang berubah sendu hanya karena satu wanita. Ia ingin sekali mencari Gera, namun takut kalau ini bukan waktu yang tepat."Lebih baik aku tidur di sini saja dan menunggu kehadiran Gera besok pagi." Dengan keyakinan yang sebenarnya tidak ada, Roy meyakinkan dirinya bahwa Gera akan tetap bekerja untuknya esok pagi."Ge... ." Roy terus saja meracau menyebut nama Gera dan Gera. Ia lebih terlihat seperti orang yang kehilangan semangat hidupnya
Dinda terkejut melihat kedatangan Luis yang tiba-tiba. "Dasar wanita gila!" "Keluar kau!" teriak Dinda pada Luis. Ia kesal diganggu. Kesempatannya untuk merasakan privasi bersama Roy jadi hangus begitu saja. "Kubilang keluar!" Dinda menjerit. Bukannya malu, ia bahkan tak berniat menutupi tubuhnya bahkan hanya dengan seutas benang pun itu. "Boss! Bangunlah! Apa Anda sudah gila? Sadar Boss... sadar!" Luis terus saja berusaha menyadarkan Roy. Biarlah Tuannya akan memarahi dirinya sebab dengan sangat lancang berani berbuat kasar pada Roy. Luis benar-benar tak akan diam melihat Bossnya yang hampir saja dinodai wanita gila seperti Dinda. Melihat Roy masih terdiam saja, Luis memutuskan untuk menyiram wajah Roy dengan segelas air yang tersedia di atas nakas. "Sadarlah Boss!" teriak Luis. Roy tersentak, seolah kesadarannya datang kembali dan membuat dia bertanya-
"Cepat katakan! Apa kau yang menyembunyikan Geraku?" Roy menggoyang-goyang tubuh Dewi, melupakan rasa jijiknya akan menyentuh wanita itu. Dewi menggeleng santai. "Sama sekali tidak, Roy. Lagian siapa wanita itu hingga membuatmu sampai sekacau ini? Pasti hanya seorang wanita biasa, bukan?" "Kenapa kau berbuat kasar padaku, Roy?" Dewi menatap Roy nyalang sembari memegang pipi kirinya. "Kau pantas mendapatkan itu!" "Ya, karena apa? Kau main kasar saja. Orang tuaku saja tidak pernah seperti itu," Dewi meringis sambil mengelus lembut pipinya yang memerah. "Karena kau sudah dengan sangat berani mengatai Geraku! Sekali lagi kau katakan, aku tak akan segan-segan menyiksamu tanpa ampun," Roy benar-benar geram karena Dewi. Di tengah kondisinya yang sedang mabuk, emosinya menjadi sulit terkendali. Dewi tertawa sinis melihat Roy. "Hm, lalu Geramu suci. Begitu? Tahu darimana kau anak orang suci? Tak masuk akal!"
Gera menghela napas berat."Iya, wanita yang malam itu bergumul dengan Roy ketika aku mengambil ponselku yang tertinggal di ruangannya." Luis terdiam. Seolah dia sudah menemukan titik terang dari masalah Roy dan Gera. "Jadi ini yang membuatmu menghilang dan Roy jadi kacau?" Ia mengangguk-anggukkan kepalanya. "No, Luis! Aku hanya takut jika aku tetap di sana dan bekerja untuk Roy, itu akan merusak hubungannya dengan wanita itu. Aku tak mau di cap sebagai penganggu." "Gera, tidak ada wanita dalam hidup Roy selain kamu! Aku mengenal dia lebih dari kamu, Ge. Dan wanita itu, dia hanya pengacau. Dia sama sekali tak diharapkan oleh Roy. Percayalah!" Sedikit terkejut Gera mendengar cerita Luis. Bagaimana ia bisa menjadi satu-satunya wanita untuk Roy? Rasanya tidak mungkin. "Ini benar. Kau cemburu pada wanita itu," tuduh Luis membuat Gera menatapnya tajam. "Big no, Luis. Jangan menggodaku.
"Selamat pagi, Pak." Gera tampil formal saat datang ke kantor. Ia tak sabar untuk mengetahui pekerjaan apa yang akan Roy tugaskan untuknya. "Hai, Ge! Thanks atas formalitasnya," timpal Roy gemas. "Jadi gini, karena sekarang saya akan memberi kamu tugas, jadi kita tetap profesional. Tapi akan ada saatnya ketika saya membutuhkan kamu hanya sebagai Gera. Bukan asistenku," Gera mengangguk mengerti apa yang dimaksud Roy. Beberapa jam Roy habiskan untuk mengajarkan Gera apa tugasnya. Untung saja Gera merupakan lulusan dengan prestasi yang sangat memuaskan. Jadi, tidak terlalu ribet untuk mengajarinya sesuatu yang baru. "Jika ada yang membuatmu bingung, tolong bertanyalah!" "Baik, Pak." Sejujurnya Gera bingung kenapa Roy berubah drastis seperti ini. Apa karena gertakannya kemarin? Ah, rasanya tidak akan mungkin. Mengingat Roy adalah B
"Sudahlah, Ge. Masuklah ke ruanganmu. Tidak penting siapa dia. Kau hanya menambah beban pikiranmu saja. Lagian kau tak perlu memikirkan hal seperti ini. Just enjoy it!" Gera tersenyum. Ternyata masih ada segelintir orang yang mau berbaik hati menyemangatinya. Namun hatinya tetap tak bisa tenang. Ia terus saja memikirkan siapa orang yang sudah menyebarkan berita seperti itu."Heh, ternyata wanita bayaran Boss sudah datang," ujar Dinda saat Gera melewatinya. Langkah Gera terhenti mendengar itu. "Bisa kau ulangi kalimatmu tadi?""Wanita bayaran Boss sudah datang. Apa kau tersinggung? Itu kenyataannya, bukan?" Ternyata masuk kantor tanpa Roy akan berakibat seperti ini. Hatinya sangat ngilu. Belum setengah jam ia menginjakkan kakiny