Share

Arya Tumanggala
Arya Tumanggala
Penulis: Kebo Rawis

Upeti dari Wurawan

MATAHARI tengah bersiap menuju puncak tertingginya ketika satu rombongan melintas di kaki Gunung Pawinihan. Terdiri atas selusin lelaki menunggang kuda. Sepuluh di antaranya berpakaian layaknya prajurit kerajaan.

Rombongan itu mengiringi sebuah gerobak yang dikendalikan seorang sais. Entah apa isi gerobak tersebut. Sebab bagian atasnya tertutup rapat oleh sebentang kain hitam tebal.

Jalanan di tengah hutan itu sangat sepi. Suara keteplak ladam kuda terdengar keras memecah kesunyian. Ditingkahi teriakan-teriakan menggebah agar hewan-hewan tersebut berlari kencang.

Samar-samar ada cicitan burung nun tinggi di atas pepohonan. Serta pekik jerit kera di kejauhan.

"Berhenti ...!"

Sesampainya di satu tikungan, dua lelaki di bagian depan yang menjadi pemimpin rombongan tiba-tiba saja hentikan laju kuda mereka.

Hewan tunggangan kedua lelaki tersebut meringkik keras, terlihat gelisah. Namun segera tenang kembali setelah leher mereka ditepuk-tepuk.

Anggota rombongan lain di belakang dua lelaki itu turut berhenti. Satu dari sepuluh orang yang berseragam prajurit kerajaan lantas mendekat ke depan.

"Kenapa kita berhenti di sini, Ki Bekel?" tanya si prajurit setelah memberi hormat.

(Bekel adalah pangkat dalam tata keprajuritan di kerajaan-kerajaan masa lalu. Setara perwira rendah atau bintara tinggi. Dengan demikian, orang yang dipanggil Ki Bekel dapat dipastikan seorang berkedudukan tinggi.)

Ditanya begitu, Ki Bekel tidak menjawab. Melainkan mengacungkan telunjuk ke arah muka. Kira-kira tiga ratus kaki dari tempat mereka berhenti, terdapat sebatang pohon besar tumbang.

Batang pohon tersebut melintang menutupi keseluruhan badan jalan. Di sekitarnya terlihat dua lelaki bertelanjang dada, tengah memotongi dahan dan ranting.

Prajurit tadi langsung menghela napas panjang begitu mengetahui apa yang terjadi.

"Pohon begitu besar tumbang ..." gumamnya masygul. "Akan memakan waktu sangat lama untuk menyingkirkannya."

"Kita tidak mungkin berhenti terlalu lama di sini, Triguna. Sebelum sore kita sudah harus tiba di Katang Katang," lelaki yang dipanggil Ki Bekel tadi menyahut.

Prajurit yang dipanggil Triguna sontak saling pandang dengan prajurit muda di sebelah Ki Bekel. Nyata sekali wajah kedua orang tersebut dipenuhi tanda tanya.

Apakah itu artinya mereka harus putar balik dan kembali ke arah Wengker? Mengambil jalan yang tadi mereka putuskan tidak ditempuh karena ingin menyingkat waktu perjalanan?

"Maksud Ki Bekel? Apakah kita sebaiknya kembali ke pertigaan tadi, lalu mengambil jalan memutar ke arah Hasin?" Prajurit muda di sebelah Ki Bekel tak tahan untuk tidak bertanya.

Pria paruh baya yang dipanggil Ki Bekel lagi-lagi tidak langsung menjawab. Ia terus memperhatikan dua lelaki asing yang tengah membabati dahan dan ranting.

Ada satu kejanggalan yang ditangkap oleh lelaki paruh baya tersebut. Ia tidak mendapati seekor pun kuda tertambat di dekat-dekat kedua lelaki tersebut.

Artinya, kedua lelaki tersebut bukanlah orang yang kebetulan tengah melintas, seperti halnya Ki Bekel dan rombongan. Bisa jadi kedua lelaki itu malah tinggal tak jauh dari tempat robohnya pohon.

Tapi kalau memang demikian, sejauh mata Ki Bekel memandang juga tak terlihat satu pondokan pun di sekitar tumbangnya pohon. Begitu pula di sepanjang jalan yang baru saja mereka lintasi.

Satu dugaan tiba-tiba saja berkelebat dalam benak Ki Bekel. Sontak ia meningkatkan kewaspadaan, sekali pun air mukanya dibuat tetap setenang mungkin.

"Triguna, coba kau tanyai dua orang di depan sana. Sembari melihat-lihat apakah ada kemungkinan kita dapat menyingkirkan batang pohon yang melintang tersebut dalam waktu singkat." Ki Bekel akhirnya berkata.

"Baik, Ki Bekel."

Triguna menghaturkan sembah, kemudian membawa kuda tunggangannya ke depan.

"Ingat, jangan sampai mereka tahu apa yang kita bawa," pesan Ki Bekel ketika Triguna melintas di sebelahnya.

Si prajurit hanya anggukkan kepala dan terus melaju perlahan.

Di tempatnya, Ki Bekel berkata perlahan pada prajurit muda di sebelahnya. Sembari terus mengikuti gerakan Triguna dengan pandangan mata.

"Sudah aku katakan tadi, Tumanggala, kita seharusnya tidak melewati jalan ini. Terlalu sepi. Waktu tempuh yang mungkin dapat kita ringkas tidaklah sebanding dengan bahaya yang bisa jadi mengadang," ujarnya.

Prajurit muda yang diajak bicara palingkan kepalanya ke arah Ki Bekel.

"Mohon maafkan saya, Ki Bekel. Namun saya tadi hanya sekedar memberi usul. Dengan niatan agar kita dapat sampai lebih cepat di Kotaraja," sahutnya membela diri.

"Ya, aku tadi memberi persetujuan juga karena mempertimbangkan hal itu, Tumanggala," timpal Ki Bekel. "Tapi, entah mengapa firasatku sangat tidak enak kali ini."

Prajurit muda yang dipanggil Tumanggala mengernyitkan kening. Ujung kedua alisnya beradu.

"Apakah Ki Bekel hendak mengatakan bahwa Ki Bekel curiga dua orang di depan sana mempunyai maksud jahat?" tanya Tumanggala penasaran.

Ki Bekel hela napas panjang. Lalu balas menatap ke arah prajurit muda di sebelahnya itu.

"Dengar, Tumanggala. Kita jauh-jauh berjalan dari Wurawan membawa amanah besar dari pembesar di sana, untuk diserahkan pada Gusti Prabu Sri Maharaja Jayabhaya di Dahanapura.—"

Tumanggala sontak tundukkan pandangan mendengar ucapan yang belum tuntas tersebut. Ada rona kekhawatiran di wajahnya yang cakap.

"—Kalau sampai amanah ini tidak tersampaikan, hilang atau dirampas orang di tengah jalan, celakalah kita semua," ujar Ki Bekel dengan nada dalam.

"Jadi, benar Ki Bekel mencurigai mereka?" Tumanggala mengulangi pertanyaannya tadi. Ia membutuhkan jawaban tegas.

"Kita akan segera tahu jawabannya," jawab Ki Bekel, kemudian kembali tolehkan kepalanya ke arah muka.

Di depan sana, Triguna sudah sampai di tempat robohnya pohon besar yang menutupi jalan. Dua lelaki yang tengah memotongi dahan dan ranting tampak menyambut prajurit tersebut. Mereka bercakap-cakap.

"Maaf, Kisanak sekalian, sejak kapankah pohon ini tumbang melintang begini rupa?" tanya Triguna pada kedua lelaki di hadapannya.

Sekilas pandang saja prajurit tersebut sudah dapat mengenali jenis batang yang melintang. Ia yakin sekali itu batang pohon sonokeling.

Kayu sonokeling terhitung sangat keras. Triguna memperkirakan setidaknya butuh waktu dua-tiga kali penanakan nasi hanya untuk memotong batang tersebut. Belum lagi untuk menyingkirkannya dari tengah jalan.

"Oh, apakah kau seorang prajurit?" Bukannya menjawab, salah satu dari kedua lelaki yang tengah memotong ranting justru balik bertanya.

Triguna tidak suka pertanyaannya justru berbalik tanya. Namun ia memilih bersikap hati-hati.

"Ya, aku prajurit Panjalu yang baru saja bertugas ke Wurawan," jawabnya tegas.

Dua lelaki di hadapan Triguna saling berpandangan. Wajah mereka berubah cerah. Lalu pecah tawa tergelak dari mulut keduanya.

Triguna yang tak paham kenapa kedua orang di hadapannya tertawa, hanya dapat mengerutkan kening dengan wajah penuh keheranan.

"Wurawan, Kang!" kata salah satu dari dua lelaki tersebut, setengah berseru. Lalu kembali tertawa.

"Dan orang Wurawan ini membawa harta sangat banyak!" sahut lelaki satunya, kemudian melanjutkan tawanya pula.

Percakapan singkat itu sudah cukup bagi Triguna untuk mengetahui apa yang tengah terjadi. Dugaannya sama dengan Ki Bekel.

Tidak lain tidak, pohon sonokeling itu sengaja ditumbangkan ke tengah jalan untuk menghambat perjalanan mereka. Dan itu mereka lakukan dengan maksud tidak baik.

Bergegas Triguna berbalik kembali ke rombongan. Melihat itu Ki Bekel mengernyitkan kening.

"Kenapa kau begitu cepat, Triguna?" Ki Bekel tak sabar bertanya.

Dengan wajah tegang Triguna menjawab, "Agaknya mereka bermaksud tidak baik, Ki Bekel. Kita sebaiknya waspada."

"Apa maksudmu?" tanya Ki Bekel lagi. Sudut matanya melirik ke arah dua lelaki di kejauhan.

"Mereka tahu kita membawa barang-barang berharga," sahut Triguna.

Mendengar itu Ki Bekel saling berpandangan dengan Tumanggala. Setelah mendengus kesal, pria paruh baya tersebut memberi aba-aba.

"Kita putar balik, kembali ke arah Wengker!"

***

Kebo Rawis

Halo. Terima kasih sudah membaca cersil pertama saya di GoodNovel. Semoga terhibur ya. Oya, sebagai catatan, cerita ini mengambil latar pada masa Kerajaan Panjalu. Tepatnya lagi era Raja Jayabhaya (sekitar 1135-1157 Masehi). Oleh karena itu, nama-nama tempat yang digunakan dalam cersil ini merupakan nama arkhais atau nama lama dari wilayah bersangkutan. Misalnya, Gunung Pawinihan adalah nama arkhais dari Gunung Wilis. Adapun Katang Katang adalah nama arkhais dari Desa Kalangbret di Tulungagung. Demikian pula Wurawan (Ngrawan, Madiun), Dahanapura (Kota Kediri), Hasin (Trenggalek), dan Wengker (Ponorogo).

| 3
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Yasmin Safitri
keren, novel bertema sejarah.
goodnovel comment avatar
Artha Trishna
Mantap! Jadi nambah pengetahuan baca cersil ini.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status