MATAHARI tengah bersiap menuju puncak tertingginya ketika satu rombongan melintas di kaki Gunung Pawinihan. Terdiri atas selusin lelaki menunggang kuda. Sepuluh di antaranya berpakaian layaknya prajurit kerajaan.
Rombongan itu mengiringi sebuah gerobak yang dikendalikan seorang sais. Entah apa isi gerobak tersebut. Sebab bagian atasnya tertutup rapat oleh sebentang kain hitam tebal.
Jalanan di tengah hutan itu sangat sepi. Suara keteplak ladam kuda terdengar keras memecah kesunyian. Ditingkahi teriakan-teriakan menggebah agar hewan-hewan tersebut berlari kencang.
Samar-samar ada cicitan burung nun tinggi di atas pepohonan. Serta pekik jerit kera di kejauhan.
"Berhenti ...!"
Sesampainya di satu tikungan, dua lelaki di bagian depan yang menjadi pemimpin rombongan tiba-tiba saja hentikan laju kuda mereka.
Hewan tunggangan kedua lelaki tersebut meringkik keras, terlihat gelisah. Namun segera tenang kembali setelah leher mereka ditepuk-tepuk.
Anggota rombongan lain di belakang dua lelaki itu turut berhenti. Satu dari sepuluh orang yang berseragam prajurit kerajaan lantas mendekat ke depan.
"Kenapa kita berhenti di sini, Ki Bekel?" tanya si prajurit setelah memberi hormat.
(Bekel adalah pangkat dalam tata keprajuritan di kerajaan-kerajaan masa lalu. Setara perwira rendah atau bintara tinggi. Dengan demikian, orang yang dipanggil Ki Bekel dapat dipastikan seorang berkedudukan tinggi.)
Ditanya begitu, Ki Bekel tidak menjawab. Melainkan mengacungkan telunjuk ke arah muka. Kira-kira tiga ratus kaki dari tempat mereka berhenti, terdapat sebatang pohon besar tumbang.
Batang pohon tersebut melintang menutupi keseluruhan badan jalan. Di sekitarnya terlihat dua lelaki bertelanjang dada, tengah memotongi dahan dan ranting.
Prajurit tadi langsung menghela napas panjang begitu mengetahui apa yang terjadi.
"Pohon begitu besar tumbang ..." gumamnya masygul. "Akan memakan waktu sangat lama untuk menyingkirkannya."
"Kita tidak mungkin berhenti terlalu lama di sini, Triguna. Sebelum sore kita sudah harus tiba di Katang Katang," lelaki yang dipanggil Ki Bekel tadi menyahut.
Prajurit yang dipanggil Triguna sontak saling pandang dengan prajurit muda di sebelah Ki Bekel. Nyata sekali wajah kedua orang tersebut dipenuhi tanda tanya.
Apakah itu artinya mereka harus putar balik dan kembali ke arah Wengker? Mengambil jalan yang tadi mereka putuskan tidak ditempuh karena ingin menyingkat waktu perjalanan?
"Maksud Ki Bekel? Apakah kita sebaiknya kembali ke pertigaan tadi, lalu mengambil jalan memutar ke arah Hasin?" Prajurit muda di sebelah Ki Bekel tak tahan untuk tidak bertanya.
Pria paruh baya yang dipanggil Ki Bekel lagi-lagi tidak langsung menjawab. Ia terus memperhatikan dua lelaki asing yang tengah membabati dahan dan ranting.
Ada satu kejanggalan yang ditangkap oleh lelaki paruh baya tersebut. Ia tidak mendapati seekor pun kuda tertambat di dekat-dekat kedua lelaki tersebut.
Artinya, kedua lelaki tersebut bukanlah orang yang kebetulan tengah melintas, seperti halnya Ki Bekel dan rombongan. Bisa jadi kedua lelaki itu malah tinggal tak jauh dari tempat robohnya pohon.
Tapi kalau memang demikian, sejauh mata Ki Bekel memandang juga tak terlihat satu pondokan pun di sekitar tumbangnya pohon. Begitu pula di sepanjang jalan yang baru saja mereka lintasi.
Satu dugaan tiba-tiba saja berkelebat dalam benak Ki Bekel. Sontak ia meningkatkan kewaspadaan, sekali pun air mukanya dibuat tetap setenang mungkin.
"Triguna, coba kau tanyai dua orang di depan sana. Sembari melihat-lihat apakah ada kemungkinan kita dapat menyingkirkan batang pohon yang melintang tersebut dalam waktu singkat." Ki Bekel akhirnya berkata.
"Baik, Ki Bekel."
Triguna menghaturkan sembah, kemudian membawa kuda tunggangannya ke depan.
"Ingat, jangan sampai mereka tahu apa yang kita bawa," pesan Ki Bekel ketika Triguna melintas di sebelahnya.
Si prajurit hanya anggukkan kepala dan terus melaju perlahan.
Di tempatnya, Ki Bekel berkata perlahan pada prajurit muda di sebelahnya. Sembari terus mengikuti gerakan Triguna dengan pandangan mata.
"Sudah aku katakan tadi, Tumanggala, kita seharusnya tidak melewati jalan ini. Terlalu sepi. Waktu tempuh yang mungkin dapat kita ringkas tidaklah sebanding dengan bahaya yang bisa jadi mengadang," ujarnya.
Prajurit muda yang diajak bicara palingkan kepalanya ke arah Ki Bekel.
"Mohon maafkan saya, Ki Bekel. Namun saya tadi hanya sekedar memberi usul. Dengan niatan agar kita dapat sampai lebih cepat di Kotaraja," sahutnya membela diri.
"Ya, aku tadi memberi persetujuan juga karena mempertimbangkan hal itu, Tumanggala," timpal Ki Bekel. "Tapi, entah mengapa firasatku sangat tidak enak kali ini."
Prajurit muda yang dipanggil Tumanggala mengernyitkan kening. Ujung kedua alisnya beradu.
"Apakah Ki Bekel hendak mengatakan bahwa Ki Bekel curiga dua orang di depan sana mempunyai maksud jahat?" tanya Tumanggala penasaran.
Ki Bekel hela napas panjang. Lalu balas menatap ke arah prajurit muda di sebelahnya itu.
"Dengar, Tumanggala. Kita jauh-jauh berjalan dari Wurawan membawa amanah besar dari pembesar di sana, untuk diserahkan pada Gusti Prabu Sri Maharaja Jayabhaya di Dahanapura.—"
Tumanggala sontak tundukkan pandangan mendengar ucapan yang belum tuntas tersebut. Ada rona kekhawatiran di wajahnya yang cakap.
"—Kalau sampai amanah ini tidak tersampaikan, hilang atau dirampas orang di tengah jalan, celakalah kita semua," ujar Ki Bekel dengan nada dalam.
"Jadi, benar Ki Bekel mencurigai mereka?" Tumanggala mengulangi pertanyaannya tadi. Ia membutuhkan jawaban tegas.
"Kita akan segera tahu jawabannya," jawab Ki Bekel, kemudian kembali tolehkan kepalanya ke arah muka.
Di depan sana, Triguna sudah sampai di tempat robohnya pohon besar yang menutupi jalan. Dua lelaki yang tengah memotongi dahan dan ranting tampak menyambut prajurit tersebut. Mereka bercakap-cakap.
"Maaf, Kisanak sekalian, sejak kapankah pohon ini tumbang melintang begini rupa?" tanya Triguna pada kedua lelaki di hadapannya.
Sekilas pandang saja prajurit tersebut sudah dapat mengenali jenis batang yang melintang. Ia yakin sekali itu batang pohon sonokeling.
Kayu sonokeling terhitung sangat keras. Triguna memperkirakan setidaknya butuh waktu dua-tiga kali penanakan nasi hanya untuk memotong batang tersebut. Belum lagi untuk menyingkirkannya dari tengah jalan.
"Oh, apakah kau seorang prajurit?" Bukannya menjawab, salah satu dari kedua lelaki yang tengah memotong ranting justru balik bertanya.
Triguna tidak suka pertanyaannya justru berbalik tanya. Namun ia memilih bersikap hati-hati.
"Ya, aku prajurit Panjalu yang baru saja bertugas ke Wurawan," jawabnya tegas.
Dua lelaki di hadapan Triguna saling berpandangan. Wajah mereka berubah cerah. Lalu pecah tawa tergelak dari mulut keduanya.
Triguna yang tak paham kenapa kedua orang di hadapannya tertawa, hanya dapat mengerutkan kening dengan wajah penuh keheranan.
"Wurawan, Kang!" kata salah satu dari dua lelaki tersebut, setengah berseru. Lalu kembali tertawa.
"Dan orang Wurawan ini membawa harta sangat banyak!" sahut lelaki satunya, kemudian melanjutkan tawanya pula.
Percakapan singkat itu sudah cukup bagi Triguna untuk mengetahui apa yang tengah terjadi. Dugaannya sama dengan Ki Bekel.
Tidak lain tidak, pohon sonokeling itu sengaja ditumbangkan ke tengah jalan untuk menghambat perjalanan mereka. Dan itu mereka lakukan dengan maksud tidak baik.
Bergegas Triguna berbalik kembali ke rombongan. Melihat itu Ki Bekel mengernyitkan kening.
"Kenapa kau begitu cepat, Triguna?" Ki Bekel tak sabar bertanya.
Dengan wajah tegang Triguna menjawab, "Agaknya mereka bermaksud tidak baik, Ki Bekel. Kita sebaiknya waspada."
"Apa maksudmu?" tanya Ki Bekel lagi. Sudut matanya melirik ke arah dua lelaki di kejauhan.
"Mereka tahu kita membawa barang-barang berharga," sahut Triguna.
Mendengar itu Ki Bekel saling berpandangan dengan Tumanggala. Setelah mendengus kesal, pria paruh baya tersebut memberi aba-aba.
"Kita putar balik, kembali ke arah Wengker!"
***
Halo. Terima kasih sudah membaca cersil pertama saya di GoodNovel. Semoga terhibur ya. Oya, sebagai catatan, cerita ini mengambil latar pada masa Kerajaan Panjalu. Tepatnya lagi era Raja Jayabhaya (sekitar 1135-1157 Masehi). Oleh karena itu, nama-nama tempat yang digunakan dalam cersil ini merupakan nama arkhais atau nama lama dari wilayah bersangkutan. Misalnya, Gunung Pawinihan adalah nama arkhais dari Gunung Wilis. Adapun Katang Katang adalah nama arkhais dari Desa Kalangbret di Tulungagung. Demikian pula Wurawan (Ngrawan, Madiun), Dahanapura (Kota Kediri), Hasin (Trenggalek), dan Wengker (Ponorogo).
SELURUH anggota rombongan dari Wurawan bersicepat memutar balik kuda dan gerobak mereka. Bersiap kembali menuju ke arah Wengker. Tempat yang baru sekitar sepenanakan nasi lalu mereka tinggalkan. Namun, belum lagi semua anggota rombongan berbalik arah, terdengar satu suitan keras memecah udara. Lalu disusul satu suitan lagi dari arah lain. Setelah itu dari balik rimbunan semak belukar di kanan-kiri jalan bermunculan sosok-sosok tubuh berpakaian putih-putih. Ki Bekel cepat menghitung. Jumlah mereka tidak kurang dari empat orang. Orang-orang yang baru muncul tersebut menghunus sebilah golok besar di tangan masing-masing. Mereka berdiri mengadang tepat di hadapan rombongan dari Wurawan. "Celaka! Mereka pasti rombongan begal," desis Ki Bekel dengan suara agak bergetar. Lalu kepala lelaki paruh baya tersebut menoleh pada Tumanggala di sebelahnya. "Tumanggala, cepat kau amankan gerobak! Apa pun yang terjadi jangan sampai gerobak itu dikuasai
JERITAN melolong keluar dari mulut Ki Bekel Jayapati. Golok besar di tangan Ranasura menyambar perutnya.Wajah lelaki paruh baya tersebut seketika mengernyit. Menahan rasa sakit yang amat sangat. Tubuh setengah tua itu terjajar mundur beberapa langkah. Saat kemudian berhenti, sepasang kakinya yang bergetar membuat Ki Bekel Jayapati berdiri terhuyung-huyung bagaikan orang mabuk. Didorong rasa penasaran, Ki Bekel Jayapati arahkan pandangan ke perutnya yang nyeri. Saat itu pula ia keluarkan seruan tertahan. Ada luka besar menganga di sana. Ususnya yang putih memanjang terburai keluar. "Keparat!" maki sang bekel seraya meraba luka tersebut. Darah yang membasahi jari-jemari tangannya terasa dingin. Di tempatnya, Ranasura tertawa mengekeh. Satu seringai lebar tersungging di wajah bengis si gembong rampok. "Sudah aku bilang, seharusnya tadi kau serahkan saja barang bawaan kalian pada kami secara baik-baik," ujarnya dengan nada mengejek.
KABAR mengenai pembegalan yang dialami rombongan dari Wurawan langsung terdengar hingga Kotaraja. Sore itu juga petinggi keprajuritan Panjalu yang berwenang sudah mengetahui peristiwa tersebut. Adalah sais gerobak yang membawa kabar muram ke Kotaraja. Lelaki berbadan tambun tersebut diperintah oleh Tumanggala. Awalnya ia menolak karena masih gemetar ketakutan. Namun Tumanggala berhasil meyakinkannya untuk pergi. "Tinggal dirimu harapan kami. Jadi, aku mohon pergilah ke Kotaraja. Sampaikan kejadian ini pada Senopati Arya Lembana," ujar Tumanggala sebelumnya. Tepatnya tak lama setelah si prajurit memastikan kematian Ki Bekel Jayapati. Sais gerobak terpekur sejenak. Rasa takutnya belum lagi hilang. Karenanya ia masih tidak dapat membayangkan harus pergi sendirian menembus hutan yang sepi, menuju Kotaraja yang jaraknya tidak bisa dibilang dekat. "A-aku ... aku takut, Tumanggala," jawab sais gerobak akhirnya, berterus terang. "Tidak ada yang perlu
KEESOKAN harinya, pagi-pagi sekali Arya Lembana mendatangi ruang pengobatan istana. Sang senopati ingin menanyai beberapa hal pada Triguna. Begitu Arya Lembana memasuki ruang pengobatan, semua orang yang ada di dalam sana langsung berdiri memberi hormat. Yang dibalas oleh senopati Panjalu tersebut dengan anggukan kepala. Triguna tampak hendak beranjak turun dari tempat tidurnya. Agar dapat memberi hormat dengan sikap sempurna. Namun Arya Lembana mencegah. “Tetap di tempatmu, Prajurit. Kau masih terluka parah,” ujar sang senopati seraya melangkah mendekat. “Terima kasih, Gusti Senopati,” balas Triguna dengan takzim. Prajurit yang sudah berusia kepala tiga tersebut tengah dibaluri ramuan obat oleh seorang tabib. Luka besar di dadanya tak lagi mengeluarkan darah. Namun masih tampak basah. “Bagaimana keadaan lukanya?” tanya Arya Lembana pada tabib. “Sudah lebih baik, Gusti. Kalau aliran darah putih ini sudah berhenti, luka ini akan
UNTUK beberapa saat Tumanggala terdiam. Prajurit muda tersebut benar-benar tak tahu harus menjawab bagaimana. Namun dari pertanyaan terakhir Arya Lembana, ia tahu persis dirinya sedang dicurigai. Ketegangan tiba-tiba saja mengisi ruangan tersebut. Ada rasa tidak nyaman yang dirasakan oleh Tumanggala. Sebab ia tahu sebagai prajurit kedudukannya sangat tidak menguntungkan di saat-saat seperti itu. "Gusti Senopati, sekali lagi saya tegaskan saya memberi usulan-usulan tadi kepada Ki Bekel Jayapati semata-mata agar kami dapat lekas tiba di Kotaraja ini. Sungguh sama sekali tidak ada maksud lain," ujar Tumanggala kemudian. Arya Lembana tampak menyeringai. Tatapan mata senopati Panjalu itu terlihat aneh bagi Tumanggala. "Dengar, Prajurit. Aku sebetulnya tidak ingin mencurigai dan menuduh anggota pasukanku sendiri. Tapi dari keterangan-keterangan yang aku kumpulkan pagi ini, agaknya aku sudah dapat mengambil satu kesimpulan," ujar sang senopati. Tuman
NAMUN agaknya nasib baik masih menaungi Tumanggala. Beberapa saat setelah meninggalkan dirinya dalam ketakutan, Senopati Arya Lembana mengadakan pembicaraan dengan Kridapala. Sebuah pertemuan yang mengubah keputusan sang senopati.Kridapala adalah seorang berpangkat bekel. Sama halnya Ki Bekel Jayapati, orang tersebut merupakan tangan kanan kepercayaan Arya Lembana. Setiap kali menghadapi persoalan pelik, sang senopati akan meminta pendapat pada bawahannya tersebut.Termasuk saat itu. Di mana Arya Lembana sebenarnya diliputi kebimbangan. Ia sebenarnya tidak terlalu yakin Tumanggala terlibat dalam peristiwa pembegalan yang menimpa Ki Bekel Jayapati. Namun dari tiga anggota rombongan yang tersisa, hanya prajurit satu itu yang paling layak dicurigai."Menurut saya, Gusti Senopati tidak dapat begitu saja menghukum prajurit itu," kata Kridapala, menanggapi cerita Arya Lembana."Mengapa demikian, Ki Bekel?" tanya sang senopati penasaran."Bukankah Gusti
KEESOKAN harinya, empat prajurit meminta bertemu dengan Arya Lembana. Ada kabar penting mengenai tempat persembunyian Begal Alas Wengker yang ingin mereka sampaikan langsung pada sang senopati. Tanpa banyak tanya lagi Arya Lembana segera menemui keempat prajurit tersebut. Mereka adalah bagian dari enam belas prajurit yang dua hari lalu dilepasnya untuk melacak keberadaan para begal. Keempat prajurit membungkuk hormat begitu melihat kemunculan Arya Lembana. Sang senopati hanya membalas dengan kibasan tangan. "Apa yang ingin kalian laporkan?" tanya Arya Lembana tanpa basa-basi. Salah satu dari empat prajurit tersebut maju satu langkah. Sekali lagi memberi hormat sebelum buka suara. "Gusti Senopati, kami sudah mengetahui tempat persembunyian Begal Alas Wengker," ujar prajurit tersebut. Arya Lembana angkat alisnya tinggi-tinggi. Meski merasa senang, tapi ia cukup terkejut juga para prajurit tersebut dapat melakukan tugas secepat ini.
ALAS Wengker yang menjadi tujuan penyergapan berjarak hampir lima puluh satu ribu depa dari Dahanapura. Atau sekitar seratus sembilan puluh li jika memakai satuan ukuran bangsa Song. Bukan jarak yang terhitung dekat. Lebih-lebih jalur yang dilalui berupa lereng pegunungan. Sebab antara Dahanapura dan Wengker terpisah oleh Gunung Pawinihan nan menjulang. Karena itu pasukan penyergap yang dipimpin Kridapala musti mengambil jalan memutar. Dari Dahanapura lurus terus menuju Katang Katang. Untuk kemudian berbelok ke barat dan menyusuri lereng selatan gunung. "Apakah kita akan langsung menyergap gerombolan begal itu malam ini juga, Ki Bekel?" tanya Wipaksa kepada Kridapala. Ketika itu rombongan mereka baru saja menyeberangi Bengawan Sigarada. Sebuah parit alam maha luas yang menjadi batas sekaligus pelindung kotaraja. Ditanya begitu rupa, Kridapala tak langsung menjawab. Pandangan lelaki paruh baya itu tampak menerawang ke depan. Menatap ja