SELURUH anggota rombongan dari Wurawan bersicepat memutar balik kuda dan gerobak mereka. Bersiap kembali menuju ke arah Wengker. Tempat yang baru sekitar sepenanakan nasi lalu mereka tinggalkan.
Namun, belum lagi semua anggota rombongan berbalik arah, terdengar satu suitan keras memecah udara. Lalu disusul satu suitan lagi dari arah lain.
Setelah itu dari balik rimbunan semak belukar di kanan-kiri jalan bermunculan sosok-sosok tubuh berpakaian putih-putih. Ki Bekel cepat menghitung. Jumlah mereka tidak kurang dari empat orang.
Orang-orang yang baru muncul tersebut menghunus sebilah golok besar di tangan masing-masing. Mereka berdiri mengadang tepat di hadapan rombongan dari Wurawan.
"Celaka! Mereka pasti rombongan begal," desis Ki Bekel dengan suara agak bergetar.
Lalu kepala lelaki paruh baya tersebut menoleh pada Tumanggala di sebelahnya.
"Tumanggala, cepat kau amankan gerobak! Apa pun yang terjadi jangan sampai gerobak itu dikuasai para pengadang ini," serunya memberi perintah.
"Baik, Ki." Tumanggala mengangguk cepat.
Usai berkata begitu lelaki muda tersebut arahkan kudanya menuju sisi gerobak. Empat prajurit ia atur agar bersiaga di sekeliling gerobak. Di belakang tali kemudi, sais gerobak tampak kebingungan melihat apa yang terjadi.
Belum habis kepanikan anggota rombongan dari Wurawan, terdengar suara tawa gelak-gelak dari arah belakang. Dari tempat dua lelaki yang memotong dahan dan ranting pohon tadi.
Ki Bekel melirik ke tempat tersebut dengan sudut mata. Seketika ia merasa kaget bukan alang kepalang. Di sana tidak lagi berdiri dua orang, melainkan empat!
Ini artinya, rombongan dari Wurawan tersebut telah terkepung depan-belakang. Masing-masing empat orang mengadang di tiap sisi.
“Gawat! Ini benar-benar gawat!” desis Ki Bekel dalam hati.
Lelaki paruh baya tersebut jadi merutuk sendiri. Prajurit yang mengawalnya dari Wurawan hanya berjumlah sebelas orang. Ia tidak yakin prajurit sebanyak itu mampu mengimbangi delapan begal yang tengah mengadang.
Sementara itu salah satu dari empat begal yang mengadang di depan maju beberapa langkah. Agaknya orang berwajah bengis, dengan cambang bauk lebat, itu adalah pemimpin gerombolan begal tersebut.
“Siapa yang menjadi pemimpin rombongan ini?” tanya si begal dengan suara garang. Tatapan matanya yang bengis berganti-ganti terarah pada Ki Bekel dan Tumanggala.
Meski hatinya mulai dirayapi rasa jeri, Ki Bekel majukan kudanya beberapa tindak ke depan.
“Aku Jayapati, bekel Panjalu. Aku pemimpin rombongan ini,” ujar Ki Bekel memperkenalkan diri.
Ki Bekel Jayapati sengaja menyebutkan pangkat. Ia berharap gerombolan begal itu jadi ciut nyali setelah mengetahui siapa dirinya. Namun yang terjadi justru sebaliknya.
Alih-alih takut, begal yang tadi maju malah tertawa panjang mendengar ucapan tersebut. Kepala si begal lantas menoleh ke belakang. Tiga temannya ikut tertawa.
“Bekel, hah?” ulang lelaki berwajah bengis tersebut dengan nada meremehkan.
Sambil melipat tangan ke pinggang, si begal melanjutkan, “Sayangnya aku tidak paham dengan segala macam tetek bengek pangkat dan jabatan. Jadi, mau bekel atau prajurit rendahan, bagiku sama saja.
“Dengar, siapa pun dirimu, kalau kau tidak mau menyerahkan gerobak yang kalian bawa pada kami, itu artinya ....”
“Keparat! Siapa kalian berani-beraninya memerintah kami!” tukas Tumanggala. Prajurit muda itu tak dapat mengendalikan amarah.
Begal tadi kembali tertawa panjang.
"Oh, untung sekali kau ingatkan, Anak Muda,” sahutnya dengan nada bicara mengesalkan. “Dengar baik-baik oleh kalian. Aku Ranasura, dan ini kawan-kawanku yang dikenal sebagai Begal Alas Wengker.”
Deg!
Ki Bekel Jayapati dan Tumanggala saling pandang. Nama tersebut sudah tidak asing lagi bagi mereka. Juga di kalangan prajurit Kerajaan Panjalu.
Ranasura adalah gembong rampok paling kuat di sisi barat Kerajaan Panjalu. Gerombolannya terkenal memiliki kemampuan hebat-hebat lagi kejam.
Sesuai julukan mereka, Begal Alas Wengker kerap mengadang di jalur-jalur dekat hutan nan sepi di sekitaran Wengker. Mereka tak pandang bulu. Dari saudagar kaya hingga kalangan bangsawan tinggi pernah menjadi korban.
Sudah sejak lama gerombolan rampok ini diincar oleh Kerajaan untuk ditumpas. Namun entah berapa kali pasukan penyergap dikirim, semuanya kembali dengan kegagalan
"Bagaimana ini, Ki Bekel?” tanya Triguna dengan berbisik.
Ki Bekel Jayapati mendengus kesal.
“Tidak ada pilihan lain. Apa pun yang terjadi kita harus mempertahankan barang bawaan kita!” sahut sang bekel tegas.
Triguna telan ludah. Bohong jika ia tidak merasa jeri. Jantungnya sudah berdegup kencang sejak tadi. Namun ditekannya semua rasa takut itu dalam-dalam.
Diam-diam sudut mata Triguna memandang pada Tumanggala. Ia ingat betul, prajurit muda itu yang tadi mengusulkan agar mereka memotong jalan lewat hutan ini.
“Jadi, bagaimana? Kalian mau menyerahkan gerobak itu pada kami secara baik-baik, atau ....” Ranasura sengaja penggal ucapannya, lalu kembali tertawa gelak-gelak.
“Langkahi dulu mayat kami!” sahut Ki Bekel Jayapati seraya mengertakkan rahang.
Usai berkata begitu sang bekel cabut pedang dari dalam warangka di pinggangnya. Senjata itu diacungkan tinggi-tinggi. Menjadi isyarat bagi para prajuritnya untuk menyerang duluan.
Sepuluh prajurit dalam rombongan tersebut lantas berpencar. Empat orang di bawah pimpinan Triguna menyerbu empat begal di bagian belakang. Lalu empat orang lagi di bawah pimpinan Tumanggala meladeni tiga begal yang mengadang di depan.
Sementara itu Ki Bekel Jayapati melesat ke arah Ranasura. Pedang di tangan sang bekel berkiblat. Mengancam batang leher gembong rampok di hadapannya. Diiringi suara berdesing nyaring yang menggidikkan nyali.
“Hiaaaatt!”
Sring! Sring!
Hutan sunyi itu seketika berubah ramai. Suara berdentrangan nyaring akibat beradunya senjata, diiringi bentakan-bentakan keras saling memaki, tumpang-tindih memenuhi liang pendengaran.
Tak sampai sepeminuman teh berselang, keramaian itu bertambah dengan jerit kesakitan. Korban mulai berjatuhan. Beberapa prajurit terlihat ambruk ke tanah dengan luka besar menganga. Darah segar mengucur deras.
Prajurit di bawah pimpinan Triguna tinggal tersisa dua orang. Bertiga mereka berusaha matian-matian bertahan dari gempuran lawan. Sedangkan empat begal yang dihadapi berkelahi sambil terus tertawa-tawa.
Di bagian depan, Tumanggala berhasil membabat putus tangan salah seorang begal. Namun itu harus dibayar dengan tewasnya satu prajurit.
“Dasar bekel bodoh! Harusnya tadi kau serahkan baik-baik barang bawaanmu pada kami,” dengus Ranasura mencemooh.
“Aku mungkin memang bodoh. Tapi yang pasti bukan seorang pengecut!” balas Ki Bekel Jayapati setengah menggeram.
Keduanya kembali terlibat dalam pertarungan sengit. Pedang di tangan Ki Bekel Jayapati berkali-kali melesat cepat. Mengarah pada bagian-bagian mematikan di tubuh Ranasura.
Namun yang diserang bukan begal kemarin sore. Berbekal golok besar di tangan, serangan demi serangan yang dilancarkan sang bekel dapat dengan mudah ia mentahkan.
Trang! Trang! Trang!
“Aaaaa!”
Terdengar satu raungan keras dari gelanggang lain. Ki Bekel Jayapati terkesiap. Perhatiannya seketika terbelah. Ia yakin betul itu suara jeritan Triguna.
Sekilas sudut mata sang bekel melihat ke arah asal suara. Benar saja. Triguna tampak terhuyung-huyung mundur. Tangannya yang memegangi dada memerah oleh darah.
Pada saat itulah golok Ranasura melesat ke arah Ki Bekel Jayapati. Serangan cepat tersebut terlambat disadari oleh sang bekel. Ia sudah berusaha menghindar. Tapi gerakannya sangat terlambat.
Sring! Sring!
Craasss!
***
Masih ingat kan ya, Wengker adalah nama lawas dari Ponorogo :)
JERITAN melolong keluar dari mulut Ki Bekel Jayapati. Golok besar di tangan Ranasura menyambar perutnya.Wajah lelaki paruh baya tersebut seketika mengernyit. Menahan rasa sakit yang amat sangat. Tubuh setengah tua itu terjajar mundur beberapa langkah. Saat kemudian berhenti, sepasang kakinya yang bergetar membuat Ki Bekel Jayapati berdiri terhuyung-huyung bagaikan orang mabuk. Didorong rasa penasaran, Ki Bekel Jayapati arahkan pandangan ke perutnya yang nyeri. Saat itu pula ia keluarkan seruan tertahan. Ada luka besar menganga di sana. Ususnya yang putih memanjang terburai keluar. "Keparat!" maki sang bekel seraya meraba luka tersebut. Darah yang membasahi jari-jemari tangannya terasa dingin. Di tempatnya, Ranasura tertawa mengekeh. Satu seringai lebar tersungging di wajah bengis si gembong rampok. "Sudah aku bilang, seharusnya tadi kau serahkan saja barang bawaan kalian pada kami secara baik-baik," ujarnya dengan nada mengejek.
KABAR mengenai pembegalan yang dialami rombongan dari Wurawan langsung terdengar hingga Kotaraja. Sore itu juga petinggi keprajuritan Panjalu yang berwenang sudah mengetahui peristiwa tersebut. Adalah sais gerobak yang membawa kabar muram ke Kotaraja. Lelaki berbadan tambun tersebut diperintah oleh Tumanggala. Awalnya ia menolak karena masih gemetar ketakutan. Namun Tumanggala berhasil meyakinkannya untuk pergi. "Tinggal dirimu harapan kami. Jadi, aku mohon pergilah ke Kotaraja. Sampaikan kejadian ini pada Senopati Arya Lembana," ujar Tumanggala sebelumnya. Tepatnya tak lama setelah si prajurit memastikan kematian Ki Bekel Jayapati. Sais gerobak terpekur sejenak. Rasa takutnya belum lagi hilang. Karenanya ia masih tidak dapat membayangkan harus pergi sendirian menembus hutan yang sepi, menuju Kotaraja yang jaraknya tidak bisa dibilang dekat. "A-aku ... aku takut, Tumanggala," jawab sais gerobak akhirnya, berterus terang. "Tidak ada yang perlu
KEESOKAN harinya, pagi-pagi sekali Arya Lembana mendatangi ruang pengobatan istana. Sang senopati ingin menanyai beberapa hal pada Triguna. Begitu Arya Lembana memasuki ruang pengobatan, semua orang yang ada di dalam sana langsung berdiri memberi hormat. Yang dibalas oleh senopati Panjalu tersebut dengan anggukan kepala. Triguna tampak hendak beranjak turun dari tempat tidurnya. Agar dapat memberi hormat dengan sikap sempurna. Namun Arya Lembana mencegah. “Tetap di tempatmu, Prajurit. Kau masih terluka parah,” ujar sang senopati seraya melangkah mendekat. “Terima kasih, Gusti Senopati,” balas Triguna dengan takzim. Prajurit yang sudah berusia kepala tiga tersebut tengah dibaluri ramuan obat oleh seorang tabib. Luka besar di dadanya tak lagi mengeluarkan darah. Namun masih tampak basah. “Bagaimana keadaan lukanya?” tanya Arya Lembana pada tabib. “Sudah lebih baik, Gusti. Kalau aliran darah putih ini sudah berhenti, luka ini akan
UNTUK beberapa saat Tumanggala terdiam. Prajurit muda tersebut benar-benar tak tahu harus menjawab bagaimana. Namun dari pertanyaan terakhir Arya Lembana, ia tahu persis dirinya sedang dicurigai. Ketegangan tiba-tiba saja mengisi ruangan tersebut. Ada rasa tidak nyaman yang dirasakan oleh Tumanggala. Sebab ia tahu sebagai prajurit kedudukannya sangat tidak menguntungkan di saat-saat seperti itu. "Gusti Senopati, sekali lagi saya tegaskan saya memberi usulan-usulan tadi kepada Ki Bekel Jayapati semata-mata agar kami dapat lekas tiba di Kotaraja ini. Sungguh sama sekali tidak ada maksud lain," ujar Tumanggala kemudian. Arya Lembana tampak menyeringai. Tatapan mata senopati Panjalu itu terlihat aneh bagi Tumanggala. "Dengar, Prajurit. Aku sebetulnya tidak ingin mencurigai dan menuduh anggota pasukanku sendiri. Tapi dari keterangan-keterangan yang aku kumpulkan pagi ini, agaknya aku sudah dapat mengambil satu kesimpulan," ujar sang senopati. Tuman
NAMUN agaknya nasib baik masih menaungi Tumanggala. Beberapa saat setelah meninggalkan dirinya dalam ketakutan, Senopati Arya Lembana mengadakan pembicaraan dengan Kridapala. Sebuah pertemuan yang mengubah keputusan sang senopati.Kridapala adalah seorang berpangkat bekel. Sama halnya Ki Bekel Jayapati, orang tersebut merupakan tangan kanan kepercayaan Arya Lembana. Setiap kali menghadapi persoalan pelik, sang senopati akan meminta pendapat pada bawahannya tersebut.Termasuk saat itu. Di mana Arya Lembana sebenarnya diliputi kebimbangan. Ia sebenarnya tidak terlalu yakin Tumanggala terlibat dalam peristiwa pembegalan yang menimpa Ki Bekel Jayapati. Namun dari tiga anggota rombongan yang tersisa, hanya prajurit satu itu yang paling layak dicurigai."Menurut saya, Gusti Senopati tidak dapat begitu saja menghukum prajurit itu," kata Kridapala, menanggapi cerita Arya Lembana."Mengapa demikian, Ki Bekel?" tanya sang senopati penasaran."Bukankah Gusti
KEESOKAN harinya, empat prajurit meminta bertemu dengan Arya Lembana. Ada kabar penting mengenai tempat persembunyian Begal Alas Wengker yang ingin mereka sampaikan langsung pada sang senopati. Tanpa banyak tanya lagi Arya Lembana segera menemui keempat prajurit tersebut. Mereka adalah bagian dari enam belas prajurit yang dua hari lalu dilepasnya untuk melacak keberadaan para begal. Keempat prajurit membungkuk hormat begitu melihat kemunculan Arya Lembana. Sang senopati hanya membalas dengan kibasan tangan. "Apa yang ingin kalian laporkan?" tanya Arya Lembana tanpa basa-basi. Salah satu dari empat prajurit tersebut maju satu langkah. Sekali lagi memberi hormat sebelum buka suara. "Gusti Senopati, kami sudah mengetahui tempat persembunyian Begal Alas Wengker," ujar prajurit tersebut. Arya Lembana angkat alisnya tinggi-tinggi. Meski merasa senang, tapi ia cukup terkejut juga para prajurit tersebut dapat melakukan tugas secepat ini.
ALAS Wengker yang menjadi tujuan penyergapan berjarak hampir lima puluh satu ribu depa dari Dahanapura. Atau sekitar seratus sembilan puluh li jika memakai satuan ukuran bangsa Song. Bukan jarak yang terhitung dekat. Lebih-lebih jalur yang dilalui berupa lereng pegunungan. Sebab antara Dahanapura dan Wengker terpisah oleh Gunung Pawinihan nan menjulang. Karena itu pasukan penyergap yang dipimpin Kridapala musti mengambil jalan memutar. Dari Dahanapura lurus terus menuju Katang Katang. Untuk kemudian berbelok ke barat dan menyusuri lereng selatan gunung. "Apakah kita akan langsung menyergap gerombolan begal itu malam ini juga, Ki Bekel?" tanya Wipaksa kepada Kridapala. Ketika itu rombongan mereka baru saja menyeberangi Bengawan Sigarada. Sebuah parit alam maha luas yang menjadi batas sekaligus pelindung kotaraja. Ditanya begitu rupa, Kridapala tak langsung menjawab. Pandangan lelaki paruh baya itu tampak menerawang ke depan. Menatap ja
MENDENGAR aba-aba tersebut seluruh anggota pasukan sontak hentikan kuda masing-masing. Tempat itu pun seketika menjadi ramai oleh ringkikan nyaring yang saling tindih-menindih. Di tempatnya, Tumanggala tengah berusaha menjinakkan kudanya yang gelisah akibat terkejut. Sembari mengelus-elus surai pada tengkuk hewan tersebut, sang prajurit edarkan pandangan ke sekeliling. Tapi ke mana pun matanya memandang yang terlihat hanyalah kegelapan menghitam. Tumanggala segera maklum, mereka berhenti di jalur yang berada di tengah-tengah hutan lebat. "Tumanggala!" Terdengar Kridapala berseru memanggil. Tumanggala bergegas mengarahkan kudanya ke arah depan untuk mendekati lelaki paruh baya tersebut. "Sendika dawuh, Ki Bekel," ujar Tumanggala seraya memberi sikap menghormat dari atas punggung kuda. "Kau tentu masih ingat di mana tempat rombongan kalian tempo hari diadang gerombolan begal itu, bukan?" tanya Kridapala tanpa tedeng aling-aling.