MENDENGAR aba-aba tersebut seluruh anggota pasukan sontak hentikan kuda masing-masing. Tempat itu pun seketika menjadi ramai oleh ringkikan nyaring yang saling tindih-menindih.
Di tempatnya, Tumanggala tengah berusaha menjinakkan kudanya yang gelisah akibat terkejut. Sembari mengelus-elus surai pada tengkuk hewan tersebut, sang prajurit edarkan pandangan ke sekeliling.
Tapi ke mana pun matanya memandang yang terlihat hanyalah kegelapan menghitam. Tumanggala segera maklum, mereka berhenti di jalur yang berada di tengah-tengah hutan lebat.
"Tumanggala!"
Terdengar Kridapala berseru memanggil. Tumanggala bergegas mengarahkan kudanya ke arah depan untuk mendekati lelaki paruh baya tersebut.
"Sendika dawuh, Ki Bekel," ujar Tumanggala seraya memberi sikap menghormat dari atas punggung kuda.
"Kau tentu masih ingat di mana tempat rombongan kalian tempo hari diadang gerombolan begal itu, bukan?" tanya Kridapala tanpa tedeng aling-aling.
Siapakah prajurit misterius yang memberi saran pada Tumanggala? Sadarkah Tumanggala jika dirinya sedang digiring masuk ke dalam jerat?
MALAM dengan cepat berlalu. Tepat pada saat kokok ayam jantan pertama kali terdengar, para prajurit Panjalu yang bermalam di hutan tersebut sudah kembali terjaga.Pagi masih jauh. Bahkan langit di ufuk timur masih hitam kelam. Namun suasana di tempat tersebut sudah terlihat sangat sibuk. Saat itu juga mereka harus bersiap-siap melakukan penyergapan ke Alas Wengker.Tak ada makan pagi. Para prajurit hanya dibekali beberapa macam buah-buahan untuk mengganjal perut. Begitu seluruhnya sudah bersiaga, Kridapala selaku pemimpin rombongan langsung memimpin perjalanan."Ingat rencana yang sudah kita susun, Wipaksa," ujar Kridapala begitu rombongan mereka bergerak melanjutkan perjalanan ke arah timur.Wipaksa hanya mengangguk. Lurah prajurit itu masih ingat betul rencana yang dibeberkan atasannya tersebut kemarin."Empat ratus depa di dekat sarang para begal keparat itu, kita berpencar. Kau dan selusin prajurit terus merangsek ke dalam. Sedangkan aku dan ya
KEMARAHAN yang seketika membakar hatinya membuat Tumanggala secara tak sadar berjingkat. Membuat gerakan hendak bangkit berdiri ke depan. Namun gerak tubuh prajurit itu segera tertahan oleh rentangan tangan Wipaksa."Tahan dulu amarahmu, Prajurit," ujar Wipaksa setengah berbisik. Sepasang matanya memandangi Tumanggala dengan tatapan tajam."Ini bukan penyergapan main-main. Setiap gerakan harus diperhitungkan dengan matang. Aku tidak mau amarahmu merusak tugas kita di sini," tambah Wipaksa.Meski disampaikan dengan perlahan, lagi setengah berbisik, namun dari nada bicaranya Wipaksa terdengar tengah mengancam Tumanggala. Lurah prajurit itu memang tidak main-main dengan ucapannya tersebut.Hal itu membuat Tumanggala kertakakkan rahang sekali lagi. Gerahamnya terdengar bergemeletuk keras. Dengan susah payah ditekannya hawa amarah yang serasa sudah berada di ubun-ubun.Seraya menghela napas panjang, perlahan Tumanggala kembali duduk berjongkok. Kembali
HUTAN yang semula sunyi senyap itu mendadak berubah riuh. Diawali oleh suara bentakan-bentakan marah, lalu disusul kerasnya dentrangan senjata nan nyaring. Gemeletak kayu atap pondok yang mulai terbakar api turut terdengar samar-samar. Pertempuran bersenjata antara dua begal melawan tiga prajurit Panjalu pecah. Kedua kubu saling bertukar serangan, saling mengancam. Senjata di tangan masing-masing bergantian berkelebat mencari mangsa. "Hiaaattt!" Sring! Sring! Trang! Trang! Dalam suasana yang berubah panik dan mencekam seperti itu, kembali keluar beberapa orang begal dari dalam pondok. Wajah mereka langsung berubah tegang begitu menyadari pondok terbakar hebat. Juga melihat pertarungan yang tengah berlangsung di halaman depan. Salah seorang dari begal yang baru keluar itu sangat dikenali oleh Tumanggala. Membuat wajah prajurit tersebut kelam membesi begitu melihatnya. Tak lain tak bukan, itulah dia Ranasura sang gembong Begal Alas Wengk
BEGITU sampai di muka pondok, Wipaksa tampak tercenung sejenak. Lurah prajurit tersebut seketika menjadi bingung sendiri. Haruskah pengejaran diteruskan hingga masuk ke dalam bangunan kayu yang tengah dilamun api itu?Tadi Wipaksa jelas-jelas melihat Ranasura masuk ke dalam pondok. Namun, dirinya merasa tak yakin untuk menyusul masuk. Bunuh diri namanya jika ia nekat masuk ke dalam pondok yang terbakar hebat begitu rupa.Api sudah melalap habis lebih dari separuh dinding pondok. Hawa panas bahkan dapat dirasakan Wipaksa dalam jarak beberapa depa. Membuat kulitnya perih dan panas di saat yang sama. Karena itu tanpa sadar ia menyurutkan kakinya beberapa langkah ke belakang."Di mana dia? Lelaki keparat itu tidak mungkin terus-terusan berada di dalam pondok yang segera hangus terbakar ini. Kecuali dia mau jadi mayat gosong!" desis Wipaksa.Meski hanya berupa gumamam, ucapan itu agaknya ditujukan pada Tumanggala dan seorang prajurit lain yang sedari tadi meng
TUMANGGALA langsung mengempos kemampuan lari cepatnya. Tubuhnya melesat laksana kilat ,mendahului rekan-rekannya yang lain. Tahu-tahu saja prajurit muda itu sudah berada sangat dekat di belakang Ranasura dan anak buahnya. Mengetahui hal itu Ranasura jadi menggerendeng panjang pendek. Sekali lagi tangannya bergerak mengambil sesuatu dari balik angkin di pinggang. Kemudian tangan itu dikibaskan ke belakang, berniat melepas beberapa bilah pisau kecil beracun. Tapi belum lagi senjata rahasia mengandung racun ganas itu terlepas dari tangan Ranasura .... "Hiaaaatt!" Diiringi satu teriakan keras Tumanggala mendahului bergerak. Sekali kaki prajurit Panjalu itu mengentak tanah, tubuhnya seketika mencelat tinggi di udara. Laksana sebatang anak panah terlepas dari busur. Sembari berjumpalitan beberapa kali, tangan sang prajurit berkelebat cepat. Menyabetkan pedang di tangan ke arah Ranasura yang berada di bawahnya. Sring! Sring! Suara ber
DISERANG dari jarak dekat begitu rupa, Tumanggala tak punya pilihan lain kecuali melakukan tangkisan. Maka pedangnya pun disabetkan ke depan, menyongsong datangnya sambaran golok besar milik Ranasura. Tranggg! Suara berdentrang keras membelah udara. Kening Tumanggala yang diperciki keringat tampak mengernyit. Prajurit tersebut merasakan sekujur tangannya, mulai dari ujung jari hingga ujung siku, bergetar hebat dan mati rasa untuk sesaat. "Sial! Begal keparat ini memiliki kemampuan di atas diriku," maki Tumanggala dalam hati. Segera saja Tumanggala teringat pada pertempuran mereka sebelumnya. Ketika itu sang prajurit Panjalu harus mengakui keunggulan Ranasura. Hanya dalam beberapa jurus pedangnya dibuat mental, dan dadanya kena tendang bertubi-tubi. Namun sang prajurit tak mau mengalami nasib serupa kali ini. Ia tak boleh kalah lagi. Ia harus memberi pembuktian pada Senopati Arya Lembana bahwa dirinya tidak bersalah. Bahwa dirinya tidak berkomp
MELIHAT Ranasura terengah-engah mengatur napas, Tumanggala sunggingkan seringai. Sembari melangkah mendekati lawan, pedang di tangannya dibolang-balingkan sedemikian rupa. Sehingga menimbulkan suara berkesiuran menggidikkan bulu roma.Ranasura menggeram marah. Setelah meludah ke tanah untuk melampiaskan kekesalan, pemimpin Begal Alas Wengker itu bergerak hendak bangkit berdiri. Namun saat itu pula wajahnya mengernyit kesakitan. Gerakannya sontak berhenti."Keparat! Kenapa dadaku terasa sangat sakit sekali?" tanyanya di dalam hati. Napasnya terdengar semakin engap-engap.Rasa sesak yang dialami Ranasura bukan semata-mata akibat tendangan Tumanggala. Yang membuat keadaan gembong begal itu lebih parah adalah jantungnya berdegup lebih kencang akibat menahan kantuk.Alih-alih tidur seperti kebiasaannya, pada pagi hari itu Ranasura justru harus mengerahkan banyak tenaga untuk bertarung. Gabungan kedua hal tersebut memaksa jantungnya bekerja lebih keras da
TEPAT saat matahari sepenggalah, Wipaksa membawa pasukan kecilnya meninggalkan sarang begal Begal Alas Wengker. Dua pondok kayu milik para begal sudah habis, tinggal abu dan onggokan-onggokan arang menghitam yang berserakan di tanah. Sedangkan seluruh begal yang berada di tempat tersebut dihabisi oleh para prajurit Kerajaan Panjalu. Mereka sebelumnya diberi kesempatan menyerah, namun tak seorang pun yang mau ditangkap dan dibawa ke Kotaraja. Alih-alih menyerah, para begal justru terus berusaha melawan. Merek terus mencari-cari kesempatan untuk melukai bahkan membunuh para prajurit Panjalu yang mengepung mereka. Akhirnya, dengan seizin Wipaksa para begal itu pun dihabisi tanpa ampun. Beruntung sebelum dihabisi, salah seorang begal mau buka suara terkait tempat gerobak upeti disembunyikan. Wipaksa memerintahkan lima prajurit untuk mencari ke tempat yang disebutkan. Gerobak upeti tersebut benar ada di sana. "Bawa kepala Ranasura. Kau harus menunjukkannya