Terima kasih sudah membaca cersil ini sampai selesai. Cerita ini sengaja saya pusatkan pada pembalasan dendam Tumanggala terhadap gerombolan pembunuh anak-istrinya. Untuk hal-hal yang masih belum terungkap, silakan membaca ARYA TUMANGGALA 2 sebagai lanjutan. Salam hangat, @keborawis
MATAHARI tengah bersiap menuju puncak tertingginya ketika satu rombongan melintas di kaki Gunung Pawinihan. Terdiri atas selusin lelaki menunggang kuda. Sepuluh di antaranya berpakaian layaknya prajurit kerajaan. Rombongan itu mengiringi sebuah gerobak yang dikendalikan seorang sais.Entah apa isi gerobak tersebut. Sebab bagian atasnya tertutup rapat oleh sebentang kain hitam tebal. Jalanan di tengah hutan itu sangat sepi. Suara keteplak ladam kuda terdengar keras memecah kesunyian. Ditingkahi teriakan-teriakan menggebah agar hewan-hewan tersebut berlari kencang. Samar-samar ada cicitan burung nun tinggi di atas pepohonan. Serta pekik jerit kera di kejauhan. "Berhenti ...!" Sesampainya di satu tikungan, dua lelaki di bagian depan yang menjadi pemimpin rombongan tiba-tiba saja hentikan laju kuda mereka. Hewan tunggangan kedua lelaki tersebut meringkik keras, terlihat gelisah. Namun segera tenang kembali setelah leher mereka ditepuk
SELURUH anggota rombongan dari Wurawan bersicepat memutar balik kuda dan gerobak mereka. Bersiap kembali menuju ke arah Wengker. Tempat yang baru sekitar sepenanakan nasi lalu mereka tinggalkan. Namun, belum lagi semua anggota rombongan berbalik arah, terdengar satu suitan keras memecah udara. Lalu disusul satu suitan lagi dari arah lain. Setelah itu dari balik rimbunan semak belukar di kanan-kiri jalan bermunculan sosok-sosok tubuh berpakaian putih-putih. Ki Bekel cepat menghitung. Jumlah mereka tidak kurang dari empat orang. Orang-orang yang baru muncul tersebut menghunus sebilah golok besar di tangan masing-masing. Mereka berdiri mengadang tepat di hadapan rombongan dari Wurawan. "Celaka! Mereka pasti rombongan begal," desis Ki Bekel dengan suara agak bergetar. Lalu kepala lelaki paruh baya tersebut menoleh pada Tumanggala di sebelahnya. "Tumanggala, cepat kau amankan gerobak! Apa pun yang terjadi jangan sampai gerobak itu dikuasai
JERITAN melolong keluar dari mulut Ki Bekel Jayapati. Golok besar di tangan Ranasura menyambar perutnya.Wajah lelaki paruh baya tersebut seketika mengernyit. Menahan rasa sakit yang amat sangat. Tubuh setengah tua itu terjajar mundur beberapa langkah. Saat kemudian berhenti, sepasang kakinya yang bergetar membuat Ki Bekel Jayapati berdiri terhuyung-huyung bagaikan orang mabuk. Didorong rasa penasaran, Ki Bekel Jayapati arahkan pandangan ke perutnya yang nyeri. Saat itu pula ia keluarkan seruan tertahan. Ada luka besar menganga di sana. Ususnya yang putih memanjang terburai keluar. "Keparat!" maki sang bekel seraya meraba luka tersebut. Darah yang membasahi jari-jemari tangannya terasa dingin. Di tempatnya, Ranasura tertawa mengekeh. Satu seringai lebar tersungging di wajah bengis si gembong rampok. "Sudah aku bilang, seharusnya tadi kau serahkan saja barang bawaan kalian pada kami secara baik-baik," ujarnya dengan nada mengejek.
KABAR mengenai pembegalan yang dialami rombongan dari Wurawan langsung terdengar hingga Kotaraja. Sore itu juga petinggi keprajuritan Panjalu yang berwenang sudah mengetahui peristiwa tersebut. Adalah sais gerobak yang membawa kabar muram ke Kotaraja. Lelaki berbadan tambun tersebut diperintah oleh Tumanggala. Awalnya ia menolak karena masih gemetar ketakutan. Namun Tumanggala berhasil meyakinkannya untuk pergi. "Tinggal dirimu harapan kami. Jadi, aku mohon pergilah ke Kotaraja. Sampaikan kejadian ini pada Senopati Arya Lembana," ujar Tumanggala sebelumnya. Tepatnya tak lama setelah si prajurit memastikan kematian Ki Bekel Jayapati. Sais gerobak terpekur sejenak. Rasa takutnya belum lagi hilang. Karenanya ia masih tidak dapat membayangkan harus pergi sendirian menembus hutan yang sepi, menuju Kotaraja yang jaraknya tidak bisa dibilang dekat. "A-aku ... aku takut, Tumanggala," jawab sais gerobak akhirnya, berterus terang. "Tidak ada yang perlu
KEESOKAN harinya, pagi-pagi sekali Arya Lembana mendatangi ruang pengobatan istana. Sang senopati ingin menanyai beberapa hal pada Triguna. Begitu Arya Lembana memasuki ruang pengobatan, semua orang yang ada di dalam sana langsung berdiri memberi hormat. Yang dibalas oleh senopati Panjalu tersebut dengan anggukan kepala. Triguna tampak hendak beranjak turun dari tempat tidurnya. Agar dapat memberi hormat dengan sikap sempurna. Namun Arya Lembana mencegah. “Tetap di tempatmu, Prajurit. Kau masih terluka parah,” ujar sang senopati seraya melangkah mendekat. “Terima kasih, Gusti Senopati,” balas Triguna dengan takzim. Prajurit yang sudah berusia kepala tiga tersebut tengah dibaluri ramuan obat oleh seorang tabib. Luka besar di dadanya tak lagi mengeluarkan darah. Namun masih tampak basah. “Bagaimana keadaan lukanya?” tanya Arya Lembana pada tabib. “Sudah lebih baik, Gusti. Kalau aliran darah putih ini sudah berhenti, luka ini akan
UNTUK beberapa saat Tumanggala terdiam. Prajurit muda tersebut benar-benar tak tahu harus menjawab bagaimana. Namun dari pertanyaan terakhir Arya Lembana, ia tahu persis dirinya sedang dicurigai. Ketegangan tiba-tiba saja mengisi ruangan tersebut. Ada rasa tidak nyaman yang dirasakan oleh Tumanggala. Sebab ia tahu sebagai prajurit kedudukannya sangat tidak menguntungkan di saat-saat seperti itu. "Gusti Senopati, sekali lagi saya tegaskan saya memberi usulan-usulan tadi kepada Ki Bekel Jayapati semata-mata agar kami dapat lekas tiba di Kotaraja ini. Sungguh sama sekali tidak ada maksud lain," ujar Tumanggala kemudian. Arya Lembana tampak menyeringai. Tatapan mata senopati Panjalu itu terlihat aneh bagi Tumanggala. "Dengar, Prajurit. Aku sebetulnya tidak ingin mencurigai dan menuduh anggota pasukanku sendiri. Tapi dari keterangan-keterangan yang aku kumpulkan pagi ini, agaknya aku sudah dapat mengambil satu kesimpulan," ujar sang senopati. Tuman
NAMUN agaknya nasib baik masih menaungi Tumanggala. Beberapa saat setelah meninggalkan dirinya dalam ketakutan, Senopati Arya Lembana mengadakan pembicaraan dengan Kridapala. Sebuah pertemuan yang mengubah keputusan sang senopati.Kridapala adalah seorang berpangkat bekel. Sama halnya Ki Bekel Jayapati, orang tersebut merupakan tangan kanan kepercayaan Arya Lembana. Setiap kali menghadapi persoalan pelik, sang senopati akan meminta pendapat pada bawahannya tersebut.Termasuk saat itu. Di mana Arya Lembana sebenarnya diliputi kebimbangan. Ia sebenarnya tidak terlalu yakin Tumanggala terlibat dalam peristiwa pembegalan yang menimpa Ki Bekel Jayapati. Namun dari tiga anggota rombongan yang tersisa, hanya prajurit satu itu yang paling layak dicurigai."Menurut saya, Gusti Senopati tidak dapat begitu saja menghukum prajurit itu," kata Kridapala, menanggapi cerita Arya Lembana."Mengapa demikian, Ki Bekel?" tanya sang senopati penasaran."Bukankah Gusti
KEESOKAN harinya, empat prajurit meminta bertemu dengan Arya Lembana. Ada kabar penting mengenai tempat persembunyian Begal Alas Wengker yang ingin mereka sampaikan langsung pada sang senopati. Tanpa banyak tanya lagi Arya Lembana segera menemui keempat prajurit tersebut. Mereka adalah bagian dari enam belas prajurit yang dua hari lalu dilepasnya untuk melacak keberadaan para begal. Keempat prajurit membungkuk hormat begitu melihat kemunculan Arya Lembana. Sang senopati hanya membalas dengan kibasan tangan. "Apa yang ingin kalian laporkan?" tanya Arya Lembana tanpa basa-basi. Salah satu dari empat prajurit tersebut maju satu langkah. Sekali lagi memberi hormat sebelum buka suara. "Gusti Senopati, kami sudah mengetahui tempat persembunyian Begal Alas Wengker," ujar prajurit tersebut. Arya Lembana angkat alisnya tinggi-tinggi. Meski merasa senang, tapi ia cukup terkejut juga para prajurit tersebut dapat melakukan tugas secepat ini.