Leon Leonard yang melihat Nata berhasil kabur membawa dua orang tawanannya yang hendak di eksekusi langsung bangkit dan menghampiri dua ksatria yang tadi dihajar oleh Nata. Leon langsung mencabut pedang yang ada di pinggangnya seraya memenggal leher kedua ksatria itu dengan penuh amarah.
Sontak saja perbuatan Leon membuat warga yang berkumpul di sekeliling lapangan langsung menjerit ketakutan. Sementara itu seorang wanita berjalan mendekat ke arah Lia, seorang pria yang tadi sempat menyerang Nata dengan belati juga masih berdiri menatap udara ke arah Nata melarikan diri.“Dasar tidak berguna! Keparat!” umpat Leon dengan penuh amarah sambil menendang tubuh kedua ksatria yang sudah bersimbah darah di tanah.“Mereka benar-benar tidak bisa diandalkan!” gerutu Leon seraya bertolak pinggang.“Bubar kalian! Bubar!” teriak Leon lagi mengusir kerumunan warga yang berkumpul mengelilingi lapangan.‘Plakk’Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Lia. Ternyata wanita yang tadi mendekatinya tiba-tiba melayangkan telapak tangannya dengan disertai tatapan jengkel. Lia hanya bisa tertunduk lemah tanpa berani menatap wanita yang menamparnya barusan.“Ada apa Shella?” tanya Leon yang langsung menoleh saat mendengar suara tamparan Shella yang begitu kencang.“Dia ini tidak pernah berubah tuan! Pergerakannya masih saja lambat, bahkan saat Baron menyerang musuh dia malah diam saja!” tegas wanita bernama Shella.“Maaf..” ucap Lia pelan.“Maaf, maaf!”‘Plakk’Shella kembali menampar Lia dengan keras. Sedangkan Leon hanya menghela nafas panjang. Sementara itu Baron yang sejak tadi termenung langsung menyarungkan belatinya dan berbalik menatap Lia serta Shella.“Itu bukan hanya kesalahan Lia, tapi musuh yang tadi menyerang memang cukup lihai dan cerdik dalam melakukan setiap tindakannya. Semua seranganku bahkan tidak bisa mengenainya, padahal aku sudah menyerang secara tiba-tiba,” ucap Baron.“Kau terlalu lembek Baron! Apa kau mau membiarkan Lia terus membuat malu keluarga Leonard?” tanya Shella dengan tegas.“Tidak sama sekali. Tapi memperlakukannya seperti itu sekarang ini juga tidak berguna, biarkan saja keluarga Leonard yang memutuskannya!” jawab Baron tanpa ragu.“Lalu apa kau punya rencana untuk mendapatkan mereka kembali Baron? Kau tidak mungkin membiarkan rumor buruk tentang keluargaku menyebar ke seantero kerajaan bukan?” tanya Leon dengan tatapan tajam.“Jangan khawatir tuan. Aku sudah punya rencana untuk mencegahnya, selain itu mereka berdua sudah tidak bisa diselamatkan lagi. Selain itu orang yang menyerang kita juga akan menyesali perbuatannya!” jawab Baron seraya tersenyum. Perlahan dia mengangkat tinju kanannya ke udara.“Baron.. kau jangan-jangan..” kata Shella yang tersentak kaget sebab paham apa maksud temannya itu.“Ya, aku sudah menanamkan sihirku di tubuh mereka berdua. Itu sebagai pencegahan jika kejadian seperti ini akan terjadi, sebagai penyihir keluarga Leonard aku tidak mungkin membiarkan nama baik keluarga tuanku tercemar!” tegas Baron.“The dark is more than black! Its darker than the night! Please answer my mana! Pass down the curse of death on the two people I want to present to you! Death Curse!” teriak Baron seraya mengangkat tinggi tinjunya ke langit. Saat itu juga asap hitam mengepul ke udara dari tinjunya.“Kau memang bisa diandalkan Baron, aku tidak menyangka jika kau sudah memasang sihir itu di tubuh mereka berdua,” puji Leon yang mulai terlihat senang kembali.“Itu memang benar, butuh sihir healing tingkatatan catur untuk menetralkan sihir Death Curse milik Baron. Meskipun orang itu memang bisa menggunakan sihir healing tingkat catur dia hanya akan bisa menyelamatkan salah satunya saja,” gumam Shella.“Jika orang itu bisa menyelamatkan keduanya berarti dia bisa menggunakan sihir healing tingkatan panca. Jika hal itu terjadi, kemungkinan besar aku memang tidak salah lihat,” batin Baron sembari mengingat kembali wajah Nata yang sempat membuatnya kaget.“Untuk sementara mungkin aku harus menyelidikinya terlebih dahulu sebelum melaporkannya,” pikir Baron seraya menatap Leon yang sejak tadi terdengar terus memuji kecerdikannya.***“Cih,” gerutu Nata sembari menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya. Kedua tangan Nata masih menggenggam erat tangan Elis serta ayahnya, meski bergetar namun Nata tidak menyerah.“Kemampuan sihir healingku memang tidak sebaik Nira, tapi sihir kutukan seperti ini seharusnya masih bisa aku tangani,” gerutu Nata di dalam benaknya. Dia tidak mengerti kenapa dia tidak bisa menggunakan sihir healing tingkatan panca. Apa yang salah dengan kekuatannya? Sama sekali dia tidak memahaminya.Wajah Nira yang merupakan salah satu temannya di pentagram kini terbayang, Nata berpikir apa yang akan dilakukan Nira andaikan saat ini berada di posisinya. Namun semuanya nihil, di situasi genting dan kritis seperti ini dia tidak menemukan satupun jalan keluar. Nata hanya bisa mengecam dirinya sendiri yang tidak bisa berbuat apa-apa.“Kenapa seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi kepadaku?” ucap Nata dengan lirih, dia sudah kehabisan akal untuk menyembuhkan Elis serta ayahnya. Jika saja dia bisa menukar jiwanya untuk menolong mereka berdua tentunya akan segera dia lakukan tanpa pikir panjang. Namun itu hal yang mustahil.Di tengah keputusasaan melanda Nata, tangan ayah Elis tiba-tiba bergerak. Nata yang tertunduk lesu segera menatap wajah ayah Elis yang terlihat menahan rasa sakit yang begitu luar biasa. Bibirnya perlahan bergerak seiring tangannya yang hendak melepaskan genggaman Nata.“Elis.. selamatkan putriku..” ucap Atang dengan lirih serta terbata-bata, perlahan dia mengalihkan tangannya ke kepala Elis.Sontak saja Nata tersentak kaget mendengarnya, dilema kembali memenuhi perasaannya. Sejak awal dia terus berpikir untuk menyelamatkan mereka berdua hingga membagi sihir healingnya untuk dua orang sekaligus. Nyatanya dia belum berubah sama sekali sejak satu tahun yang lalu bertarung bersama dengan teman-temannya melawan Lotus. Di situasi kritis seperti itu kepanikan selalu menghantui pikirannya.“Tolong.. putri..ku,” sambung Atang dengan suara yang semakin dalam.Nata tak kuasa menjawab, dia hanya bisa mengangguk lemah mengiyakan permintaan terakhir seorang ayah demi putrinya itu. sambil tertunduk Nata langsung menggenggam kedua tangan Elis dengan erat. Sementara Atang terkulai lemas setelah asap hitam menyelimuti tubuhnya, Nata sadar dia tidak mungkin bisa menyelamatkan keduanya. Dia dihadapkan dengan pilihan sulit, kehilangan salah satunya atau kehilangan keduanya.Nata hanya bisa berjanji kepada dirinya sendiri bahwa pengorbanan ayah Elis tidak akan sia-sia. Dia akan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyelamatkan Elis. Perlahan asap hitam membumbung keluar dari dada Elis yang tidak sadarkan diri, bersamaan dengan hal itu tubuh Elis bergetar hebat hingga bulir-bulir keringat tampak di keningnya.Perlahan Elis mulai tenang kembali setelah tidak ada asap hitam yang keluar lagi dari tubuhnya. Nata akhirnya menghela nafas panjang karena tidak merasakan aliran mana aneh lagi dari diri Elis. Perhatiannya kini tertuju kepada ayah Elis yang tergeletak tidak bernyawa, Nata kemudian mendekat lalu mengusap wajah ayah Elis hingga matanya terpejam.Bersambung…Perlahan Elis membuka kedua matanya. Tubuhnya terbaring di bawah pohon yang rindang, angin semilir menerpa tubuhnya yang terasa pegal-pegal di tambah perutnya sudah keroncongan. Elis menggerakan kepalanya mencari ayahnya dan orang yang sudah menyelamatkan mereka berdua.“Ayah..” gumam Elis pelan saat melihat ayahnya terbaring kaku di tanah. Jantungnya berdetak begitu kencang seakan merasakan firasat yang begitu buruk.“Ayah!” teriak Elis yang langsung berlari menghampiri jasad ayahnya. Sembari duduk kedua tangannya mencoba menggerakan tubuh ayahnya namun tak kunjung membuka mata. Saat itu juga airmata Elis langsung mengalir tak tertahan lagi.Elis mendekap tubuh ayahnya yang sudah dingin, ingin sekali dia berteriak kencang namun suaranya tidak kunjung keluar. Hanya raungan kecil penuh pilu yang terdengar menggema diantara pepohonan. Elis mengangkat tubuhnya serta menatap wajah sang ayah yang sudah terpejam. Dia sadar kalau ayahnya sudah tiada, tubuhnya
“Ada apa?” tanya Nata.“Aku hanya terkejut sebab nama anda sama persis dengan salah satu legenda penyihir di masa lalu. Baru kali ini aku bertemu dengan orang yang memiliki nama sama seperti mereka,” jawab Elis sembari tersenyum dan melangkahkan kakinya kembali.“Legenda?” tanya Nata lagi.“Ya, ayah pernah bercerita jika delapan ratus tahun yang lalu ada sekelompok penyihir dengan julukan Pentagram. Mereka adalah lima orang penyihir hebat yang tidak ada tandingannya, awalnya aku mengira itu hanya dongeng saja. Tapi ayahku mengatakan bahwa itu adalah kebenaran,” jawab Elis seraya mengenang kembali sosok ayahnya.“Kelihatannya memang benar dugaanku. Tapi kenapa, kapan, siapa dan dimana orang yang telah melakukan sihir terlarang itu?” batin Nata.“Lalu apa yang terjadi kepada mereka?” tanya Nata lagi dengan nada serius hingga membuat Elis keheranan.“Kalau tidak salah, ayah bilang kalau seluruh Pentagram lenyap hanya dalam
Prajurit yang dibawa Daiats mulai kebingungan karena tidak mengetahui arah dari serangan Nata yang dengan lincah terus bergerak ke sana kemari menyerang para prajurit itu secara acak. Meski begitu para ksatria itu memang sejak awal sudah ditempa baik fisik dan mentalnya, jadi kadang ada yang bisa menangkis serangan Nata, kadang serangan Nata juga tidak berdampak sama sekali.“Kemampuan mereka memang luar biasa, sejak awal mereka memang sudah biasa dengan pertarungan jarak dekat,” batin Nata setelah serangan pisau anginnya ditangkis oleh salah satu prajurit yang hendak diserangnya.“Meski aku sudah berlatih keras selama setahun ini untuk menutupi setiap kekuranganku, tapi kelihatannya memang masih belum cukup jika harus berhadapan yang sejak awal selalu melatih fisiknya. Ditambah lagi zirah yang mereka kenakan benar-benar mengurangi dampak serangan sihirku. Satu-satunya cara melukai mereka adalah dengan sihir penetrasi tinggi seperti tombak angin atau pisau an
"Like the fury of the dragon, a fire that will burn for thousands of years. Dragon Fire!” teriak Daiats.Tepat dari depan tubuh Daiats muncul sebuah lingkaran api, udara di sekitar tempat itu semakin panas. Bahkan tangan Daiats juga mulai melepuh karena belum sempurna menguasai sihir yang akan digunakannya itu.Suara api yang menjilat-jilat membuat pasukan yang dibawa Daiats ketakutan, Nata menggerakan kakinya hingga pasukan musuh yang masih hidup tertutup oleh tanah dan bebatuan sama seperti yang terjadi kepada Elis. Dari lingkaran api di depan Daiats itulah menyembur api yang melesat cepat dan melebar layaknya ombak.“Sihir yang sesungguhnya? Kau bahkan tidak tahu makna sejati dari kekuatan yang namai sihir,” gumam Nata dengan tenang menatap lautan api yang bergerak ke arahnya.Nata menghirup udara dalam-dalam lalu merentangkan tangan kirinya ke depan dengan telapak tangan terbuka. Udara di sekitar Nata
“Elis,” ucap Nata sembari memegang kedua bahu Elis dan menggerakannya.Elis tidak berkata sepatah katapun, tatapannya masih kosong, meskipun tubuhnya digerakan oleh Nata tapi dia tidak menggerakan anggota tubuhnya sedikitpun. Nata hanya menghela nafas dalam, kelihatannya situasi yang dilihatnya ini membuat mentalnya langsung lemah dan syok.“Sungguh menyedihkan sekali nasibmu, Elis,” kata Nata seraya memangku tubuh Elis dan membawanya ke sebuah rumah yang terlihat masih utuh.Nata membaringkan tubuh Elis di atas tikar setelah membersihkan debunya. Nata menempelkan tangan kanannya di kening Elis yang terlihat setengah sadar, tatapan matanya masih kosong melihat langit-langit. Nata mulai menggunakan sihir healing tingkatan Tri untuk menenangkan Elis.Gradasi cahaya berwarna kuning menerangi seisi rumah. Perlahan mata Elis bergerak, tubuhnya terlihat lebih tenang sampai airmatanya juga berhenti mengalir
Nata hanya duduk di samping Elis seraya menyandarkan kepala Elis ke bahunya. Langit yang kelabu seolah menjadi saksi betapa merananya hati Elis saat ini. Cukup lama Elis menangis sampai akhirnya dia mulai tenang, Nata menyarankan agar Elis segera makan sebab sejak tadi siang dia belum makan sedikitpun.Elis hanya mengangguk pelan sembari menyeka airmatanya. Nata sendiri langsung ke dalam rumah untuk membawa makanan dan air, saat kembali ke luar rumah tampak Elis sedang menimang-nimang liontin milik ibunya. Nata hanya tersenyum sembari meletakan air dan makanan di tanah.“Mau aku bantu memakainya?” tawar Nata sambil tersenyum. Elis hanya mengangguk pelan dan memberikan liontin tersebut kepada Nata, dengan hati-hati dia mulai memakaikan liontin itu di leher Elis.“Nata,,” ucap Elis dengan lirih selagi Nata memasangkan liontin di lehernya.“Ya?” jawab Nata.“Maukah kau men
Nata dan Elis berjalan beriringan, mereka tampaknya sudah agak jauh dari desa Nalangsa. Nata terlihat terus memperhatikan sekelilingnya dengan waspada, dia tidak menurunkan kewaspadaannya meskipun tidak ada hal mencurigakan yang terlihat. Yang ada di depan mereka hanyalah pepohonan besar nan rindang.“Kelihatannya Kerajaan Irish ini daerahnya memang didominasi oleh hutan,” ujar Nata.“Aku sering dengar dari pengembara yang datang ke desaku kalau di daerah selatan Kerajaan memang masih banyak hutan. Tapi katanya kalau di daerah sebelah utara kerajaan hutan memang sudah sangat jarang,” timpal Elis.“Begitu ya,” ucap Nata yang tak ingin lagi memperpanjang percakapannya, dia khawatir nanti Elis malah akan curiga sebab pengetahuannya tentang daerah di Kerajaan Irish sangat kurang. Padahal dia sendiri mengaku sebagai seorang pengembara.“Baiklah mungkin di sini,” kata Nata sembari m
Mereka kembali melanjutkan perjalanan setelah selesai makan. Sepanjang perjalanan Elis terus berusaha mencari elemen mana yang cocok dengan tubuhnya setelah tidak cocok dengan elemen angin, mulai dari healing, tanah dan air. Tapi sejauh ini dia masih belum menemukan kecocokan. Nata mengatakan bahwa kini tersisa dua kemungkinan saja, elemen api atau Elis menguasai sihir khusus. “Tapi bagaimana kalau aku ternyata tidak memiliki bakat dalam ilmu sihir?” tanya Elis. “Itu tidak mungkin, setiap tubuh makhluk hidup baik itu hewan atau tumbuhan apalagi manusia selalu memiliki mana. Bakat itu bukanlah sesuatu yang penting sebab pada dasarnya semua orang bisa menjadi hebat hanya dengan berusaha keras pantang menyerah,” tutur Nata. “Tapi, jika aku berhasil menemukan kecocokan dengan salah satunya. Belum tentu dalam waktu cepat bisa segera menggunakannya,” ucap Elis sembari memegang liontin di lehernya. Nata yakin kalau Elis ingin segera membalaskan dendam orang tua dan