Bima masuk ke dalam kamarnya setelah semua acara di rumahnya selesai. Tubuhnya letih luar biasa. Sejak pagi tamu tidak ada habis-habisnya, entah sejawat papanya, teman-temannya sendiri, yang jelas hari ini acaranya begitu padat. Bagaimana tidak padat? Hari ini ia sudah resmi menikah, menyandang gelar dan status baru, yaitu seorang suami.
Bima tertegun menemukan Melinda tengah menyisir rambutnya yang setengah basah itu. Kekasihnya itu sekarang sudah resmi ia nikahi! Setelah sekian lama menjalin kasih, cinta mereka berlabuh juga di jenjang pernikahan ini.
"Sayang," Bima memeluk Melinda dari belakang, dikecupnya pipi Melinda dengan penuh kasih.
"Cepat mandi, biar badannya seger," tampak wajah itu begitu bahagia, sama, Bima juga sangat bahagia.
"Oke, jangan tidur dulu," pesan Bima sambil tersenyum jahil. Dapat Bima lihat wajah itu memerah, membuat Bima makin gemas dengan gadis yang perhari ini sudah resmi menjadi isterinya itu.
Bima mengunci pintu kamar mandinya. Di tengah kesendiriannya di dalam kamar mandi ini, mendadak ia teringat peristiwa beberapa bulan yang lalu, saat dimana untuk pertama kali Bima merasakan nikmat tubuh perempuan.
Bagaimana kabar gadis itu sekarang? Dia dimana? Siapa namanya? Jujur dibalik sikap tenang Bima selama ini, rasa bersalah itu masih menyeruak dan menyiksa Bima dengan begitu luar biasa. Bagaimana kalau dia kemudian hamil dari perbuatan yang sudah ia lakukan itu? Itu berarti Bima punya anak dari gadis itu?
Mendadak Bima menjadi pusing, antusiasnya terhadap momen malam pertamanya bersama Melinda sontak hilang, lenyap entah kemana. Ia malah memikirkan gadis itu. Wajah cantiknya masih terekam jelas dalam ingatan Bima. Nikmat tubuhnya pun seolah masih membekas di seluruh syaraf tubuh Bima. Bagaimana pun dia gadis pertama yang menyajikan kenikmatan itu untuk Bima.
"Siapa kamu, apa kabarmu? Maafkan aku, entah siapapun namamu!" desis Bima di bawah kucuran shower.
Bagaimana kalau dia benar-benar hamil? Bagaimana kalau Melinda tahu jika suaminya ini sudah pernah menikmati surga dunia bersama wanita lain? Ahh ... rasanya Bima sangat pusing.
Ia bergegas menyelesaikan mandinya, lalu meraih handuk dan melangkah keluar dari kamar mandi. Ia tertegun menatap Melinda sudah berbaring sambil bermain ponsel di atas ranjang. Tungkai putihnya itu begitu menggoda luar biasa, membuat jakun Bima naik turun. Ia dengan susah payah menelan ludahnya, tidak ia sangka Melinda juga cukup menggoda luar biasa.
"Sayang, jangan menggodaku!" guman Bima sambil melotot tajam, sungguh dia benar-benar tidak tahan lagi!
"Apakah salah jika aku menggoda suamiku sendiri?" Melinda bangun, tersenyum menatap suaminya itu dengan keringan mata menggoda.
Bima tersenyum, tanpa berkata-kata lagi ia bergegas meraih wajah isterinya, menyapu lembut bibir Melinda. Rasanya ia sudah tidak sanggup lagi, terlebih setelah kejadian itu dia sudah tidak pernah lagi merasakan kenikmatan tubuh wanita bukan? Jadi apa lagi yang ia tunggu?
Dan malam itu, penyesalan yang tadi sempat menyeruak dan memporak-porandakan perasaan Bima sontak lenyap bersamaan dengan pekikan Melinda yang tampak sangat kesakitan ketika Bima mulai menyatukan tubuh mereka. Rintihan kesakitan yang kemudian berganti dengan desahan dan erangan penuh nikmat. Penyesalan itu hilang entah kemana, terbang bersamaan dengan desah penuh nikmat yang keluar dari mulut Bima.
Malam ini Bima kembali meneguk nikmat itu, berbeda dengan beberapa bulan yang lalu, wanita yang Bima nikmati adalah isteri sahnya, gadis yang sudah lama ia pacari, ia sangat ia kenal betul siapa dia, bulan seperti dulu, bahkan namanya saja Bima tidak tahu! Namun Bima masih teringat betul wajahnya, nikmat tubuhnya, karena gadis itu adalah yang pertama dalam hidup Bima!
"Ssshhh ... mmmpphh ...."
***
Levina bangkit dengan susah payah, kenapa rasanya malam ini ia begitu gerah? Padahal AC kamarnya sudah menyala! Kenapa sepanas ini sih? Levina menyeka keringat yang mengucur dari dahinya. Rasanya ia benar-benar tidak nyaman.Dengan perlahan Vina bangkit, lalu melangkah keluar dari kamarnya. Apakah mamanya itu sudah tidur? Rumahnya sepi. Dengan perlahan ia melangkah ke dapur, hendak mengambil minum.
"Non, kok bangun?" suara itu menyapa Vina dan Vina tahu betul itu adalah Heni, asisten rumah tangga di rumah mereka.
"Haus banget nih, Hen. Mana hawanya panas banget, jadi nggak bisa tidur," Vina tersenyum lalu duduk di kursi makan dengan membawa sebotol air mineral dingin itu.
"Non Vina hamil sih, jadi kayak gini deh," guman Heni lalu ikut duduk di sebelah anak majikannya itu.
"Memang kalau hamil kenapa sih, Hen? Wajar kalau sering merasa gerah dan panas?" tanya Vina penasaran, ia tidak terlalu paham karena jujur kehamilan ini benar-benar tidak ia inginkan! Memangnya siapa sih yang mau hamil di luar nikah? Dan parahnya Vina tidak tahu siapa laki-laki yang sudah menanamkan benih di dalam rahimnya. Konyol bukan?
"Biasanya kalau hamil kan kadang memang bawaannya kalau malam gerah terus, Non. Dan agak nggak bisa tidur malam karena selain gerah juga perutnya mulai nggak nyaman gitu kan, Non?"
"Kok kamu malah tahu sih, Hen?" Vina tertawa, padahal Heni ini masih tujuh belas tahun!
"Kakak saya hamil dulu kayak gitu, Non. Jadilah saya paham," jawab Heni sambil tersenyum.
"Oh begitu," Vina mengangguk pelan tanda mengerti, "Kamu jangan sampai kayak aku ya, Hen."
Heni tertegun, ia tahu betul anak majikannya itu hamil tanpa ada suami, tanpa ada ikatan pernikahan. Dan bahkan tidak ada yang tahu siapa laki-laki yang menjadi ayah dari janin itu, tidak dengan Vina sendiri!
"Saya mengerti, Non. Non Vina yang sabar ya, saya berdoa kelak anak ini akan menjadi kebanggaan Non sekeluarga."
Vina mengangguk pelan, ya mau bagaimana lagi, sebenarnya ia tidak mau membesarkan anak ini. Untuk apa? Dia sendiri tidak tahu siapa ayahnya, bagaimana nanti kalau anaknya tanya siapa bapaknya? Di mana bapaknya? Vina mau bilang apa?
Namun Ani bersikeras meminta Vina mempertahankan kehamilannya, melahirkan dan merawat anak itu. Sebagai penebusan dosa dan menurut Ani, anak ini berhak hidup, ia berhak disayangi dan dikasihi, tidak perduli bagaimana dia bisa ada, tidak peduli bagaimana asal usulnya.
Vina menghela nafas panjang, kenapa dulu ia harus nekat pergi sih? Ani sudah melarangnya bukan? Dan benar-benar terjadi! Sekarang ia menyesal setengah mati, sebuah penyesalan yang sudah tidak ada artinya lagi.
***
Tubuh Bima mengejang luar biasa, ia sudah hampir sampai puncaknya! Rasanya begitu luar biasa akhirnya ia bisa kembali menikmati kenikmatan seperti ini.Ia makin mempercepat ritmenya dan meledaknya sudah dia di dalam sana! Keringat mengucur deras, rasanya tubuh Bima begitu panas. Tak terkecuali dengan Melinda yang tampak banjir peluh di bawah kungkungan tubuhnya.
"Terima kasih banyak Sayang," bisik Bima lirih.
Melinda hanya mengangguk pelan, nafasnya masih tersengal-sengal luar biasa, malam ini sah sudah statusnya sebagai isteri dari Dokter Bima Dirgantara Soebroto itu, ia sudah seratus persen isterinya.
"Sekarang istirahat ya."
Melinda kembali hanya mengangguk, rasa pedihnya sirna ketika melihat wajah bahagia suaminya itu, sungguh hari ini adalah hari paling bahagia dalam hidupnya!
"Gimana, keren kan?"Bima terbelalak ketika tahu akhirnya ia dapat wahana internship masih di kota ini, tanpa perlu keluar kota bahkan ke luar pulau. Sebuah keberuntungan karena ia tidak harus pisah dari sang isteri."Kok bisa sih, Pa? Hebat!" senyum Bima merekah, apakah ini yang dinamakan keuntungan punya half blood? Alias darah keturunan dokter? Jadi semua langkahnya sedikit dipermudah?"Pentingnya punya koneksi ya seperti ini, Bim. Sudah ya, lega kan internship tidak harus jauh dari isteri dan orangtua?" Andi tersenyum, lalu menepuk lembut pundak Bima."Terima kasih banyak ya, Pa. Sejauh ini papa selalu ada buat bantu Bima, entah biayain, entah mempermudah langkah Bima, Bima nggak bisa apa-apa tanpa Papa." guman Bima tulus."Sudahlah, itu sudah jadi kewajiban papa, Bim. Fokus ke internship mu dan segera lanjut ambil PPDS, oke?" Andi tersenyum, menatap putra semata wayangnya itu dengan penuh kebanggaan.Bima meng
Bima tersentak dari tidurnya, nafasnya tersengal-sengal. Keringat dingin mengucur membasahi tubuhnya. Gadis itu ... gadis yang dulu dia setubuhi itu datang dalam mimpinya! Datang dengan membawa pisau menghampiri dirinya, kenapa ia harus mimpi seperti itu sih?Bima mencoba menetralkan nafasnya, ia tidak mau menganggu tidur sang isteri. beberapa bulan setelah peristiwa itu, baru kali ini dia mimpi seperti ini. Apa artinya? Apa jangan-jangan gadis itu depresi lalu bunuh diri? Astaga, kenapa jadi rumit macam ini sih? Kenapa?Bima bangkit dari ranjangnya, lalu melangkah ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya, ia mencuci wajahnya di wastafel. Wajah gadis itu masuk begitu ia ingat, masih sangat jelas terbayang dalam benak Bima! Dia cantik, sangat cantik, dengan tubuh yang luar biasa menggodanya! Kulit putih bersih, dengan dengan rambut panjang hitam legam. Belum lagi kenikmatan tubuh itu sama sekali tidak bisa Bima lupakan begitu saja!Sama-sama masih perawan, kenap
"Kehamilan sebelas minggu, namun sayang sekali, Bu, kehamilan Nina tidak bisa dipertahankan lagi," guman dokter Gina sambil menatap nanar wanita paruh baya yang menangis sesegukan itu."Jadi terpaksa kita harus lakukan kuretase ya, Bu." lanjut dokter Gina lagi."Astaga, Nin! Kenapa kamu jadi begini? Kenapa kamu sampai jauh kebablasan sejauh ini? Siapa pelakunya, Nin?" rintih wanita itu sambil mengangkat sesegukan."Ini mohon maaf, suaminya benar-benar tidak ada? Kami dari pihak rumah sakit hendak meminta tanda tangan persetujuan prosedur kuretase-nya, Ibu," tanya dokter Gina sabar."Biar saya yang tanda tangan saja, Dokter!" guman wanita itu sambil menyusut air matanya."Minta perawat mempersiapkan dokumennya, Bim!" perintah dokter Gina pada Bima yang langsung dibalas anggukan kepala.Bima bergegas pergi menemui perawat jaga IGD untuk mempersiapkan lembar persetujuan itu. Hatinya berkecamuk luar biasa, dipikirannya hanya ada gadis itu. Apaka
Bima mengentikan mobilnya tepat di depan kantor cabang sebuah bank swasta terbesar di Indonesia, tempat di mana Melinda isterinya itu bekerja. Melinda adalah seorang banker, berbeda dengan Bima yang merupakan seorang dokter.Jika kebanyakan teman-teman sejawat-sejawatnya memilih untuk menikahi sesama dokter, maka tidak dengan Bima. Ia lebih memilih mengikuti jejak sang ayah yang memilih menikahi wanita yang berbeda profesi dengan dirinya. Bima pun demikian, sama sekali ia tidak tertarik untuk menikahi sesama dokter karena ia tahu profesi mereka memakan banyak waktu, banyak waktu mereka akan habis di rumah sakit untuk pasien-pasien mereka. Akan sangat jarang mereka memiliki waktu di rumah, dan Bima ingin kelak anak-anaknya bisa punya banyak waktu di rumah dengan ibunya di rumah, seperti dirinya.Dan itulah yang kemudian membuat Bima menikahi Melinda, anak fakultas ekonomi manajemen yang ia kenal sejak pre-klinik. Dari semula ikut seminar perpajakan yang diadakan fakulta
Melinda meletakkan testpack yang baru saja ia gunakan itu dengan lesu, masih garis satu! Sudah tiga bulan bukan ia bergumul dengan suaminya, tanpa pengaman, menghitung masa subur, kenapa ia belum hamil juga? Kenapa? Apa yang salah?Air matanya mendadak menetes, ia menangis sesegukan di kamar mandi. Hatinya khawatir, risau, takut dan kecewa! Ia benar-benar kecewa dengan dirinya sendiri! Kenapa ia tidak kunjung hamil?Bima menekan knop pintu kamar mandi kamar mereka dan tertegun mendapati sang isteri tengah menangis sambil duduk di atas kloset."Sayang, kenapa?" tanya Bima lalu jongkok di depan sang isteri.Melinda sontak memeluk erat-erat tubuh suaminya, tangisnya kembali pecah, dadanya sesak luar biasa. Bima masih tidak mengerti apa yang membuat isterinya itu menangis sesegukan macam ini, hingga kemudian matanya menatap benda itu ada di depan bagian atas kloset. Dan ia paham apa yang kemudian membuat Melinda menangis sampai sebegitunya."Sudah, ken
"Dokternya saya perjalanan ya!" Bima menelepon Dokter Hendratmo, untung dia orang dalam, jadi bisa sedikit meminta waktu makan siang Dokter Hen untuk sekedar memeriksa sang isteri."Oke, langsung ke ruangan saya ya, Bim! Saya tunggu!" balas suara itu ramah."Baik terima kasih banyak, Dokter!" Bima melepas headset bluetooth-nya, meletakkan benda itu di dashboard mobilnya.Melinda hanya menghela nafas panjang, jujur ia khawatir dan takut. Ia takut hasil pemeriksaannya tidak baik, ia takut bahwa dia harus dihadapkan pada kenyataan bahwa dia tidak bisa hamil, tidak bisa memberikan keturunan untuk suaminya ini."Hei Sayang, kenapa melamun?" tanya Bima sambil tersenyum, ia tahu pasti pikiran Melinda kemana-mana kan?"Aku takut!" jawabnya simpul."Apa yang kamu takutkan?" benarkan? Sudah tepat dugaan Bima bahwa istrinya itu ketakutan."Hasilnya," desis Melinda lirih."Sudahlah, jangan khawatirkan apapun, mengerti?" tangan Bima terulur
Bima kembali ke rumah sakit dengan kepala pusing bukan main. Ternyata benar, Melinda sang isteri ada gangguan kesuburan dan itu membuat Bima kembali bimbang. Jujur ia benar-benar terpukul luar biasa, ia sedih dan kecewa. Harusnya ia menuruti semua saran sang papa dulu itu, harusnya ia cek semuanya! Jadi masalah ini tidak timbul dan menjadi bumerang seperti ini.Kista ovarium? Astaga, mimpi apa dia semalam? Selama ini Melinda tidak pernah laporan mengenai keluhan-keluhan yang dia rasakan. Dan sekarang ia mendapat vonis itu? Ini semua seperti mimpi buruk di siang bolong!"Selama ini ketika mens tidak pernah merasakan keluhan apapun?" Dokter Hendratmo menatap lekat pasien yang juga isteri juniornya itu."Ya sebenarnya sih ada, Dokter. Cuma saya kira semuanya normal-normal saja, saya nggak pernah berpikiran bahwa ada penyakit seperti ini," Melinda terisak, sementara Bima yang duduk disisinya berusaha menenangkan sang isteri."Apa keluhan yang kamu rasakan?" t
Bima menatap nanar sosok itu, sosok yang sedang melangkah keluar dari kantornya itu masih tampak lesu, matanya masih sembab, ia berani bertaruh bahwa sepanjang sore tadi Melinda masih menangis meratapi penyakitnya itu.Harus bagaimana dia sekarang? Sepulang di rumah nanti pasti mama-papa akan mengintrogasi dia bukan? Lalu apa yang hendak mereka katakan pada mereka? Sudah menjadi kesepakatan bukan bahwa mereka akan merahasiakan semua ini dari mereka, namun nanti apa yang harus Bima katakan pada papanya? Tentu sebagai sesama tenaga medis ia sulit untuk dibohongi bukan?"Hai, sudah dong jangan sedih lagi," sapa Bima ketika sosok itu sudah masuk ke dalam mobil."Gimana nggak sedih kalau ...," Melinda sudah tidak bisa berkata-kata lagi, air matanya kembali menitik.Bima menghela nafas panjang, direngkuhnya tubuh itu kedalam pelukannya. Hatinya makin hancur melihat isterinya serapuh ini. Ia makin lemah, makin kacau dan entah apa lagi. Namun ia harus tetap kuat