Share

Kilas

Bima mengentikan mobilnya tepat di depan kantor cabang sebuah bank swasta terbesar di Indonesia, tempat di mana Melinda isterinya itu bekerja. Melinda adalah seorang banker, berbeda dengan Bima yang merupakan seorang dokter.

Jika kebanyakan teman-teman sejawat-sejawatnya memilih untuk menikahi sesama dokter, maka tidak dengan Bima. Ia lebih memilih mengikuti jejak sang ayah yang memilih menikahi wanita yang berbeda profesi dengan dirinya. Bima pun demikian, sama sekali ia tidak tertarik untuk menikahi sesama dokter karena ia tahu profesi mereka memakan banyak waktu, banyak waktu mereka akan habis di rumah sakit untuk pasien-pasien mereka. Akan sangat jarang mereka memiliki waktu di rumah, dan Bima ingin kelak anak-anaknya bisa punya banyak waktu di rumah dengan ibunya di rumah, seperti dirinya.

Dan itulah yang kemudian membuat Bima menikahi Melinda, anak fakultas ekonomi manajemen yang ia kenal sejak pre-klinik. Dari semula ikut seminar perpajakan yang diadakan fakultas ekonomi yang bekerja sama dengan fakultas kedokteran di hari perpajakan nasional beberapa tahun yang lalu, Bima dan Melinda bertemu.

Dan itu menjadi awal kisah mereka, hingga kemudian mereka bisa sampai pada tahap ini, sampai pada jenjang pernikahan.

Senyum Bima merekah ketika melihat sosok dengan blazer birunya itu melangkah keluar dari kantor cabang bank itu. Ia keluar bersama beberapa temannya. Tampak wajah itu tertawa begitu lepas, membuat lelah dan suntuk Bima sontak menguap.

"Halo My beloved doctor!" sapa Melinda lalu masuk ke dalam mobil.

"Bagaimana hari mu hari ini, Sayang?" tanya Bima lalu menghidupkan kembali mesin mobilnya.

"Bosan lihat uang hari ini, kau tau, Sayang, tadi ada nasabah setor seratus lima puluh juta uangnya sepuluh ribuan semua!" gerutu Melinda sambil memakai seat belt-nya.

"Kamu hitung manual memang uangnya?" tanya Bima sambil terus membawa mobilnya melaju membelah jalanan sore itu.

"Nggak lah, cuma itu duit bikin penuh tempat, dimana-mana isinya duit," guman Melinda lalu menurunkan suhu AC, ia tampak sangat gerah.

"Lha kan bank memang tempat duit, Sayang!" Bima terkekeh, kalau isinya obat jadi apotek dong ya?

"Ya tapi kan nggak sepenuh hari ini, bayangin seratus lima puluh juta dan nominalnya sepuluh ribuan semua!"

Tawa Bima meledak, ia melirik sang isteri yang masih tampak manyun itu, "Kau mau tahu apa pelajaran berharga yang kamu dapatkan hari ini dari kejadian itu?" tanya Bima sambil tersenyum simpul.

"Memang apa?" Melinda balas melirik, suaminya itu sudah kembali fokus ke jalanan yang ada di depannya.

"Pelajaran berharganya adalah, sepuluh ribu pun kalau kita niat dan giat bakalan jadi ratusan juta juga, benar, kan?"

Melinda tersenyum, benar apa yang dikatakan suaminya itu. Memang sekecil apapun nominalnya, kita tidak bisa menyepelekan uang. Peribahasa yang bilang bahwa sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit itu nyata adanya!

"Ya, kau benar. Bagaimana denganmu hari ini? Banyak pasien?" guman Melinda balik bertanya.

"Lumayan, benar-benar bikin jantungku tidak normal seharian ini tadi, gugup iya, takut iya, kadang merasa belum mampu, tapi ya mau bagaimana lagi?"

"Kalau kamu belum mampu, tentu tidak akan lulus kan kemarin itu?" Melinda tersenyum, ia menyandarkan kepalanya di bahu Bima.

"Iya kau benar, Sayang!" Bima menghela nafas panjang, membahas pasien ia jadi teringat Nina, gadis muda yang tadi ia bantu proses kuretase-nya.

Dan teringat akan Nina membuat Bima teringat pula akan gadis asing yang ia tiduri itu. Ia benar-benar tidak bisa tenang! Kalau bisa ia ingin secepatnya mencari tahu di mana dia, siapa dia, bagaimana kondisinya, namun bagaimana caranya jika namanya saja Bima tidak tahu?

"Sayang, ingat Regina? Yang dulu kita datang ke resepsi nikahan dia dua Minggu sebelum kita nikah itu," ujar Melinda yang masih bersandar di bahu Bima.

Bima mencoba menekan semua perasaan bersalah itu dari dalam hatinya, matanya masih fokus ke depan, membiarkan Melinda bersandar manja di bahunya.

"Ingat. Kenapa, Sayang?" tanya Bima lirih.

"Dia sudah hamil," jawab Melinda singkat.

Sontak senyum mengembang di bibir Bima, ia melirik sekilas sang isteri, "Pengen?" tanya Bima lalu menginjak remnya dengan lembut, lampu berubah merah.

Melinda tidak menjawab, ia hanya mengangguk pelan tanpa berusaha berganti posisi.

"Nanti malam ya, kita agendakan!" guman Bima sambil mengulum senyum.

"Semangat banget sih kalau masalah gituan?" Melinda mengangkat kepalanya, pura-pura mencebik sambil kembali bersandar di joknya.

"Gimana sih? Katanya mau hamil? Memang bisa hamil kalau nggak pakai gituan?" Bima sontak terbahak, kalau benar hanya dengan berenang bisa hamil karena adanya ejakulasi sperma di dalam air kolam, rasanya Bima mau pensiun jadi laki-laki saja! Namun karena salah satu cara agar hamil adalah tentu saja dengan melakukan hal itu atau intrauterine insemination, jadi ia masih bertahan menjadi laki-laki.

"Ya tapi semangat amat kalau masalah gituan, apa semua laki-laki seperti itu?"

"Perempuan pun sama kok, jangan hanya menjadikan laki-laki sebagai kambing hitam, Sayang!" Bima tersenyum simpul, memang kalau berhubungan hanya dia yang diuntungkan? Rasanya kedua belah pihak untung bukan? Asal sesama pasangan bisa saling mengerti satu sama lain.

"Iya deh, iya ...," guman Melinda akhirnya, tangannya terulur mencubit pipi suaminya itu.

"Tiga anak ya?" ujar Bima tiba-tiba, yang makin membuat Melinda memperkeras cubitannya.

"Dua anak cukup!" guman Melinda tegas.

"Dua anak cukup, tiga anak lebih baik!" balas Bima tidak mau kalah.

Sontak tawa mereka berdua lepas, sungguh bahagia sekali Bima dengan kehidupannya yang sekarang. Sudah dapat gelar dokternya, sudah punya isteri, hanya saja satu kesalahannya itu terus menghantuinya dirinya, kesalahan satu malam yang berakibat sangat fatal bagi kehidupan seorang gadis muda yang tidak pernah Bima bayangkan sebelumnya.

***

"Ingat kan apa kata dokter Hen tadi?" guman Ani ketika mereka tengah memasak bersama di dapur. Sebenarnya hanya Ani dan asistennya yang masak, sementara Vina hanya duduk sambil memakan buah-buahan potong di dalam mangkuk yang ada di hadapannya itu.

"Iya, Ma ... bakal ingat terus kok!" jawab Vina malas.

"Mulai trimester ke dua, ikut senam hamil sampai nanti kamu melahirkan, oke?" perintah Ani tegas.

"Ah, kenapa pakai senam-senaman segala sih, Ma?" Vina benar-benar malas, nggak hamil aja dia malas sekali senam atau olahraga, bagaimana hamil?

"Biar besok lahiran gampang, Sayang. Oke?" Ani menoleh, menatap Vina yang masih sibuk mengunyah potongan buah itu.

"Iya deh, iya ... kalau pas nggak malas ya, Ma!" balas Vina akhirnya.

"Nggak boleh malas!"

Vina hanya memanyunkan bibirnya, tadi siang ia kembali periksa kandungan, kembali mengintip janin dalam rahimnya itu. Semuanya baik, sehat, normal dan tidak ada masalah dengan kandungan itu.

Jujur makin ke sini Vina semakin ingin segera melihat sosok itu, ia ingin melihat bagaimana wajah anaknya, darah dagingnya ini. Tangan Vina terulur, dielusnya lembut perutnya itu.

'Sehat-sehat terus ya, Sayang!'

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Yuli Defika
Jgm2 bima n melin nanti gak punya anak
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status