"Enghh, Ray–yan ...."
Celine menatap wajah Rayyan yang memerah di bawahnya. Suaminya tampak menahan gairah karena godaan yang dilakukannya. Tubuh mereka banjir oleh peluh hingga suhu tubuh di sekitar mereka mendadak terasa panas. Namun itu tak menyurutkan Celine untuk terus menggerakkan pinggulnya. Mencari kepuasan yang jarang dia dapatkan."Ce-celine ... kamu sangat cantikh ...."Rayyan mengusap peluh yang membasahi tubuh istrinya. Dia membiarkan Celine melakukan apa yang diinginkannya. Celine yang seperti ini tampak benar-benar sangat seksi. Tubuh istrinya yang selalu ingin dia sentuh. Sampai akhirnya, Celine menurunkan tubuhnya dan membelit lidahnya dengan intens. Tidak ada yang bisa menggambarkan betapa puasnya Rayyan dengan sang istri. Dia melumat bibir penuh Celine, mencecap dan bertukar saliva. Meredam desahan panjang saat mereka sampai pada titik kepuasan. Celine melepas pagutan bibir mereka dan jatuh di tubuh suaminya dengan napas tersengal-sengal, sampai Rayyan tersenyum kecil dan memindahkan tubuhnya. Melepaskan penyatuan mereka seraya memberi kecupan mesra di kening sang istri. Akan tetapi, Celine menatap Rayyan serius, seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.Tidak, bukan karena ada masalah, sebenarnya dia hanya belum puas. Celine masih menginginkan Rayyan. Dia sangat jarang sekali melakukan ini dengan suaminya setelah selama setahun sibuk bekerja. Waktunya banyak tersita oleh pekerjaan, dari pagi hingga malam."Ada apa? Kamu tidak seperti biasanya, Sayang." Rayyan jelas tidak bisa untuk tidak menyadari kalau istrinya tengah melamun. Padahal beberapa menit lalu, Celine dengan menggairahkannya menggoyang pinggulnya."Hmm? Tidak apa-apa, Rayyan."Sebisa mungkin, Celine mencoba untuk tersenyum. Dia tidak mau membuat Rayyan khawatir karena masalah yang menurutnya sepele. Lebih baik menikmati waktunya dengan sang suami. Meski pikirannya tiba-tiba teringat akan perkataan Dominic yang memintanya untuk jangan pulang.Membayar? Kalimat laki-laki itu sangat ambigu, hingga membuatnya berpikir kalau Dominic mau menghinanya dan menganggapnya sebagai wanita murahan. Meski laki-laki itu akhirnya menjelaskan kalau dia butuh seseorang yang bisa menjaganya semalaman. Berkata jika keluarganya akan membayar jasa Celine yang sudah menyelamatkan nyawanya.Semua itu tidak penting. Celine tidak mengharapkan apa pun dari Dominic. Dia hanya ingin menolongnya saja, tidak memiliki maksud lain. Meski saat ini, Celine tidak pernah tahu siapa sebenarnya Dominic. Laki-laki itu selalu mengalihkan pembicaraan setiap kali dia bertanya tentang keluarganya atau apa yang menimpa Dominic sebenarnya.Alhasil, Celine kini menganggap kalau Dominic adalah Tuan muda yang manja. Terlibat masalah dan berkelahi dengan musuhnya. Tak lama lagi, pasti ada orang yang mencarinya. Akan tetapi, ada satu hal yang mengherankan untuknya, laki-laki itu melarangnya untuk melapor pada polisi. Dominic lebih memilih untuk tetap diam sampai kondisinya sembuh. Itu artinya, Celine harus tetap merawatnya."Celine, kamu melamun lagi. Apa yang kamu pikirkan?""Dominic.""Apa? Siapa dia?" Rayyan menatap istrinya dengan serius. Dia baru pertama kali mendengar nama itu, seperti nama seorang laki-laki. Apa mungkin saat ini, istrinya ...."Ah, jangan salah paham, dia hanya seseorang yang kutolong, Rayyan," ucap Celine sedikit gelagapan. Harusnya, dia tidak perlu menceritakan tentang pria yang ditolongnya kemarin malam, tapi jika Rayyan sudah tahu, apa boleh buat."Kamu menolong seseorang? Lalu, bagaimana keadaannya sekarang?" Kedua alis hitam Rayyan mengernyit. Tangannya mengusap rambut sang istri dengan lembut."Ya, kemarin malam. Saat aku pulang ke rumah, aku melihatnya terluka. Dia sepertinya mengalami perampokan, semua indentitas tidak ada. Aku merawatnya di sebuah rumah tua. Sekarang kondisinya sudah jauh lebih baik, mungkin besok dia akan pergi," jelas Celine, dia sedikit menambahkan praduganya di akhir percakapan."Jadi itu alasanmu pulang dengan basah kuyup?"Celine menggangguk. Meski darah dari Dominic sudah tersapu oleh hujan, tapi tubuhnya tetap basah karena dia tidak membawa payung malam itu."Kamu memang sangat baik, Sayang. Istriku mau menolong orang." Rayyan tersenyum hangat dan memeluk pinggang Celine sambil menutupi tubuh mereka dengan selimut. Membuat Celine yang awalnya gugup, kini menjadi rileks. Dia balas memeluk Rayyan dan menyembunyikan wajahnya di dada bidang suaminya."Kamu juga suami terbaikku."***"CARI SAMPAI DAPAT! JANGAN BIARKAN DIA LOLOS!"Sebuah teriakan terdengar dari seorang laki-laki bertubuh besar pada beberapa orang berpakaian hitam. Terdengar mereka berlari mencari satu orang yang melarikan diri dan bersembunyi. Seseorang yang harus dibunuh atas perintah bos mereka. Di sisi lain, di sebuah rimbunnya semak-semak, seorang laki-laki tengah terduduk sambil menutup bagian perutnya yang terluka. Napasnya tersengal-sengal. Dia berusaha untuk tak mengeluarkan suara dan membiarkan mereka pergi. Tidak boleh terbunuh di tempat ini. Dia harus hidup. Barulah setelah keadaan cukup hening dan orang-orang yang berniat membunuhnya itu telah pergi, dia dengan cepat bangkit dan berjalan menyusuri jalan. Berharap ada seseorang yang bisa menyelamatkannya. Meski sepanjang jalan, dia tidak menemukan siapa pun. Sampai saat dia akan berbelok, dirinya dikejutkan oleh seseorang yang menepuk pundaknya dari arah belakang. Tubuhnya sontak menegang dan menoleh. Hampir saja dia mengira jika itu adalah orang-orang yang akan membunuhnya, tapi begitu melihat siapa orang itu, ada perasaan lega muncul dalam hatinya."Jery, tolong. Tolong bawa aku pergi."Sadar kalau dia tidak lagi mampu untuk berkelahi, orang-orang yang memburunya juga begitu banyak dan dia sedang dalam keadaan kondisi terluka. Satu-satunya cara adalah pergi untuk menyembuhkan diri atau meminta bantuan dari orang lain."Tuan, sepertinya Tuan salah paham.""Apa? Apa maksudmu?" Kedua alisnya mengernyit. Dia tidak mengerti perkataan bawahannya itu, namun sebelum pertanyaan terjawab, sebuah pisau ditarik dan ditusukkan ke arahnya."Tuan harus mati." Seringai keji terlihat sebelum pisau tersebut mengoyak dada dan perutnya. Membuat darah menyembur."TIDAK ...."Dominic tiba-tiba membuka matanya. Melotot ke arah atap. Napasnya memburu. Tampak tubuhnya dipenuhi keringat dingin. Wajahnya pun sedikit memucat. Dia bermimpi. Mimpi mengenai kejadian kemarin malam. Tentang seseorang yang mengejarnya dan berniat membunuhnya dengan menyabotase mobilnya sampai menewaskan sang supir.Sayangnya, dia masih belum tahu siapa yang berbuat hal keji tersebut. Saingan bisnis atau justeru orang terdekatnya? Di sekelilingnya, banyak sekali orang bermuka dua. Bersikap baik di depan dan menjelek-jelekkan di belakang."Sial."Dominic melenguh. Tangannya memegang luka di dada dan bagian perut. Rasa sakit itu masih lekat dalam ingatannya, terasa sangat nyata meski sekarang dia sudah lebih baik dari kemarin. Tak ada yang aneh dengan tubuhnya. Tidak ada darah seperti kemarin malam. Dia baik-baik saja. Seseorang telah menyelamatkannya. Helaan napas kasar berhembus dari mulutnya. Melirik ke arah lubang yang terbuka di bagian atap. Tampak langit masih gelap gulita. Menandakan jika ini masih malam. Akan sangat sulit baginya untuk tidur kembali setelah terbangun dari mimpi buruk. Sialnya, dia juga harus berdiam dengan tubuh lemahnya seorang diri. Kedua tangannya sudah kembali normal, tapi luka di perut dan dadanya, membuat dia sulit untuk bergerak. Ia juga hanya bisa berbaring terlentang karena takut lukanya akan kembali terbuka.Dominic juga harus menahan rasa haus yang mencekik tenggorokannya. Dia ingin minum, namun tidak ada seorang pun yang bisa dia mintai tolong. Jika saja wanita itu mau menemaninya di sini, mungkin dia tidak perlu susah payah. Akan tetapi, Celine memilih pergi dan mengatakan jika dia tidak pulang, maka keluarganya akan mencemaskannya.Alhasil, Dominic tidak bisa mencegahnya. Dia membiarkan wanita itu pergi. Namun meski demikian, Dominic tentu tidak akan menganggap pertolongan Celine sebagai kebaikan semata. Setelah dia sembuh dan kembali ke kediamannya, dia berjanji akan membalas kebaikan wanita itu. Seperti apa katanya, dia akan membayar semuanya, tanpa terkecuali. Pantang baginya untuk memiliki hutang. Semua akan dibalas sesuai perbuatan dan pengkhianat akan dia balas dengan hukuman."Kau yakin tidak mau ke rumah sakit atau ke kantor polisi? Kau bisa menangkap orang yang melukaimu dan kembali pada keluargamu," ujar Celine yang kini menatap Dominic makan.Pagi ini, dia juga memberi laki-laki itu sarapan, setelah sebelumnya berpamitan pada sang suami. Rayyan sudah memahami dan mengizinkannya tanpa banyak tanya. Celine menyempatkan untuk melihat Dominic pada saat sebelum dan sepulang kerja, itu pun jika hari masih sore, karena dia tidak berani lewat ke arah sini ketika hari sudah malam. Celine memilih jalan yang ramai, meski itu cukup jauh."Kau tidak perlu datang jika aku membebanimu," balas Dominic tanpa mengalihkan pandangannya dari makanan di depan mata."Sepertinya kau salah paham, aku tidak mengeluh karena harus merawatmu. Aku hanya berpikir, mungkin keluargamu sedang mencarimu. Kau tahu, keluarga adalah satu-satunya yang paling berarti."Celine tidak ingin Dominic menyalahartikan perkataannya. Dia hanya khawatir karena l
"Kerja bagus, Celine, karena bantuanmu, restoran mengalami peningkatan pengunjung," puji sang manajer pada Celine. Dia terkesan dengan ide wanita itu yang membuat harga miring khusus untuk para pasangan tanpa harus merugikan restoran. Menargetkan para muda-mudi yang memang menghabiskan waktu untuk kencan. Serta menambah beberapa varian baru di menu makanan.Kini, di akhir pekan, restoran menjadi sangat ramai. Pengunjung yang kebanyakan anak muda datang bersama pasangannya. Terlebih mereka yang berniat merayakan hari valentine. Tak hanya pasangan, namun ada juga paket istimewa untuk mereka yang menghabiskan waktu akhir pekan bersama keluarga.Restoran yang memang berada di pusat kota dan memiliki tanah yang luas, membuat mereka bisa memakai area luar dan menciptakan pemandangan kota di malam hari. Hiasan yang dibuat senatural mungkin dan senada dengan alam dengan sedikit kesan yang menunjukkan hari valentine serta area berfoto bagi para pasangan atau keluarga."S
Dominic menatap rumah sederhana di depannya. Dia ikut masuk saat laki-laki yang tadi mengajaknya itu, mempersilakan dia masuk. Matanya seketika menjelajahi rumah tersebut. Memerhatikan dengan teliti. Sempit dan kecil, namun sangat bersih. Membuatnya tak henti menatap sekitar. Hingga dari arah salah satu ruangan, tiba-tiba muncul seorang anak kecil sambil mengganti seragam sekolahnya."Papa!" serunya, cukup memekakkan telinga Dominic yang ada di sisi pria itu. Dia hanya diam melihat si bocah tersebut memeluk pria di sebelahnya. Seolah senang dengan kedatangannya. Namun tidak dengan Dominic.Anak kecil adalah hal yang sangat mengganggu dan membuatnya terkadang kesal dengan keberisikkan mereka. Akan tetapi, dia yang merupakan tamu jelas tidak bisa berbuat banyak dan hanya bisa diam memerhatikan keduanya. Sedikit tak terduga jika ternyata pria di sebelahnya telah memiliki anak. Dia pikir, pria itu masih lajang."Papa 'kan nggak boleh ke mana-mana. Nanti kalau Mama tahu ba
"Ka-kau? Kenapa bisa ada di sini?" Mulut Celine terbuka dan matanya terbelalak. Dia kaget sekaligus tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dominic, laki-laki yang dia kira sudah pergi justru ada di depan matanya. Bagaimana mungkin Dominic bisa tahu rumahnya? Matanya seketika beralih menatap sang suami yang masih tersenyum. Rayyan seperti tidak tahu apa yang terjadi. "Rayyan, kenapa kamu membawa orang asing masuk?""Kamu mengenalnya, Sayang? Kami tidak sengaja bertemu tadi. Dia membutuhkan pertolongan dan aku hanya membantunya," jawab Rayyan dengan santai. Berbeda dengan Celine yang seketika menepuk jidatnya. Dia sengaja tidak memberitahu Dominic tempat tinggalnya karena takut kalau laki-laki itu orang jahat, tapi suaminya dengan sangat polos mengatakan membantu orang dan membiarkannya masuk?"Dia adalah orang yang kuceritakan kemarin."Rayyan menatap Celine heran, sebelum sang istri mengatakan tentang orang yang ditolongnya. Membuat Rayyan memutar kembali ingat
Cahaya yang hanya berasal dari lampu tidur, tak terlalu membuat Dominic bisa melihat kamar dengan jelas. Meski iris matanya bisa melihat sofa bed yang dimaksud oleh Celine juga Rayyan. Ada Arion yang saat ini tengah terlelap di ranjang. Ini sedikit tidak nyaman. Sudah dikatakan kalau Dominic tidak menyukai anak kecil, tapi kini dia harus tidur bersama salah satu dari mereka. Apa boleh buat, dia juga tidak mau tinggal di gubuk itu lagi.Dalam remangnya cahaya, Dominic melihat sekeliling kamar Arion yang tampak cukup besar. Matanya melihat ada rak mainan dan lemari pakaian. Sampai berhenti dan menatap Arion yang tertidur menghadap ke arahnya. Siapa anak kecil ini? Arion memanggil Rayyan, Papa dan Celine berkata anak. Apakah mungkin jika Rayyan dan Celine ...?Dominic terdiam. Semua ini tak ada urusannya dengan dia. Mau Celine sudah menikah atau tidak, dia tidak punya urusan. Walau dia merasa sedikit aneh, kenapa wanita itu masih mau bersama pria yang bahkan berjalan saja sus
Sia-sia Dominic menunggu kedatangan ayahnya. Pasti tua bangka itu sedang bersenang-senang bersama ibunya tanpa dia. Sampai matahari berada di atas kepala, tak terlihat sedikit pun batang hidung ayahnya atau anak buahnya datang. Hal yang membuatnya bosan setengah mati karena berada di dalam rumah.Tidak ada Celine di sini. Hanya Rayyan dan Arion yang sejak tadi tengah belajar bersama, setelah anak itu pulang dari sekolah. Biasanya, anak seusia Arion akan memilih bermain bersama anak-anak lain dari pada menghabiskan waktunya untuk belajar. Namun Arion sedikit berbeda. Entah ini hanya dugaannya saja atau memang dia merasa anak kecil itu cukup pintar. Tidak berisik dan banyak mengganggu seperti anak-anak lain."Papa, Al lapar. Al mau makan."Ucapan Arion mengalihkan perhatian Dominic. Dia menatap anak tersebut dengan alis terangkat. Di depan Arion terlihat Rayyan yang juga menatap anaknya. Buku yang dia pegang untuk mengajari sang anak, diletakkan kembali di atas me
“Dia Rayyan, suami dari wanita yang menyelamatkanku,” ucap Dominic sembari memperkenalkan laki-laki di sebelahnya—yang saat ini tengah terduduk kaku. Ruang tengah kini seolah penuh oleh kehadiran ayah serta orang-orangnya.Sementara di sebelahnya tampak Rayyan seperti tidak nyaman saat mendapat tatapan selidik dari ayahnya, sampai Dominic harus memutar bola matanya kesal ketika melihat sikap sok kuasa itu. Beruntungnya, Arion tidak ada di sana. Rayyan sudah menyuruh anaknya untuk pergi bermain. "Berhentilah membuat orang lain takut, Pa.”“Ah, maaf. Aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya penasaran dengan orang menyelamatkan anakku.”Kata-kata dan senyum simpul di bibir pria tua yang merupakan ayah dari Dominic, sedikit membuat perasaan Rayyan menjadi lebih santai. Dirinya ikut tersenyum, meski dalam hati masih tak percaya dengan orang yang ada di depannya. Rayyan tahu, dia jelas tahu kalau orang yang ada di depannya adalah pemilik per
"Domi Sayang, akhirnya kamu pulang. Mama sangat mengkhawatirkanmu," ucap Daisy. Wanita yang baru memasuki kepala lima namun masih terlihat muda itu, memegang kedua pipi putranya cukup kuat. Linangan air mata terlihat di pelupuk matanya. Berniat mengecup manis kening anak semata wayangnya, namun hal itu tak terwujud saat sang suami justru menghalanginya."Oh, Dear, jangan terlalu berlebihan. Anakmu baik-baik saja. Dia sudah tua, jangan memperlakukannya seperti anak kecil," decak Kenneth sembari menatap tajam ke arah Dominic dan memerintahkannya untuk segera menjauh."Tapi, Sayang—""Honey, biarkan anakmu istirahat. Kita panggilkan dokter, ok?" tawar Kenneth. Ucapannya cukup membuat Daisy yang masih sangat mengkhawatirkan Dominic, mengangguk tak rela. Matanya bisa melihat wajah Dominic yang sedikit kurus.Sebagai seorang ibu yang mendengar kalau anaknya mengalami musibah sekaligus pernah meregang nyawa, dia sangat sedih bukan main. Daisy tidak pernah bi