"Kerja bagus, Celine, karena bantuanmu, restoran mengalami peningkatan pengunjung," puji sang manajer pada Celine. Dia terkesan dengan ide wanita itu yang membuat harga miring khusus untuk para pasangan tanpa harus merugikan restoran. Menargetkan para muda-mudi yang memang menghabiskan waktu untuk kencan. Serta menambah beberapa varian baru di menu makanan.
Kini, di akhir pekan, restoran menjadi sangat ramai. Pengunjung yang kebanyakan anak muda datang bersama pasangannya. Terlebih mereka yang berniat merayakan hari valentine. Tak hanya pasangan, namun ada juga paket istimewa untuk mereka yang menghabiskan waktu akhir pekan bersama keluarga.Restoran yang memang berada di pusat kota dan memiliki tanah yang luas, membuat mereka bisa memakai area luar dan menciptakan pemandangan kota di malam hari. Hiasan yang dibuat senatural mungkin dan senada dengan alam dengan sedikit kesan yang menunjukkan hari valentine serta area berfoto bagi para pasangan atau keluarga."Saya tidak merasa melakukan apa-apa." Celine tersenyum kecil. Dia hanya membantu memberi saran pada manajernya saja. Sebagai seorang asisten, dia tentu akan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk membantu memajukan restoran tempatnya bekerja. Lagi pula, ini hanya ide biasa yang bisa semua orang pikirkan."Kamu selalu rendah hati."Sang manajer menepuk pundaknya dan berbalik kembali ke ruangannya. Sementara Celine berjalan-jalan dan membantu pelayan lain menangani pengunjung atau pun keluhan. Dia tahu kalau teman-temannya butuh bantuan. Namun karena pengunjung yang membludak seperti ini, Celine menjadi sangat kelelahan. Sampai ketika Celine beristirahat sejenak setelah melayani banyak pelanggan, seseorang tiba-tiba datang menghampirinya.Sebuah botol minuman dingin menyentuh pipinya dan membuat pandangannya teralihkan. Seorang pria seusianya tampak tengah tersenyum manis dan duduk tanpa sungkan di sampingnya. "Sepertinya kau lelah. Minumlah, Celine," ucapnya sembari menyodorkan botol tersebut pada Celine."Terima kasih, Simon."Tanpa ragu, Celine langsung meminum air dingin itu karena rasa haus yang menyiksa tenggorokannya. Sedang Simon sendiri menatap Celine dengan lekat. Beralih turun melihat leher wanita di sebelahnya yang sedikit berkeringat sambil menelan ludah. Bibir Celine yang meminum air miliknya dengan begitu nikmat, tampak terlihat seksi. Hampir saja dia membayangkan yang tidak-tidak jika seandainya Celine tidak segera menepuk pundaknya dan membuat dia tersadar."Aku harus kembali bekerja. Semangat untuk malam ini!" ucap Celine dengan semangat membara, meski keringat tampak membasahi wajahnya. Membuat senyum terbit di wajah laki-laki yang merupakan salah satu waiters di sana. Orang yang dulu mengajari Celine dan akrab dengannya pertama kali, di saat hampir semua orang di sana tidak memedulikannya.Celine adalah wanita yang Simon kagumi, meski dia sendiri sudah tahu jika wanita itu telah bersuami. Namun suaminya lumpuh dan tak berguna. Dia yakin, Celine butuh sosok laki-laki yang bisa melindunginya dan orang itu adalah ... dia.***"Celine, apa aku boleh mengantarmu?" tawar Simon saat restoran baru saja tutup. Namun seperti biasa, Celine hanya menggeleng."Aku akan pulang sendiri.""Tapi ini sudah malam. Kau tahu Celine, beberapa hari yang lalu ada kejadian pembunuhan di jalan menuju rumahmu. Apa kau sudah membaca beritanya?"Celine langsung terdiam di tempat. Dia mengingat tentang kejadian saat Dominic terluka. Mungkinkah ada hubungannya? Sayang sekali dia tidak pernah melihat berita online atau televisi. Celine tidak pernah memiliki waktu untuk menonton kabar terbaru. Kerja, kerja dan hanya kerja yang menyita semua waktunya."Aku tidak tahu, tapi aku yakin Tuhan melindungiku. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku, Simon."Dia tidak bisa membiarkan Simon mengantarnya lagi seperti waktu itu. Celine tidak mau gosip buruk tentangnya tersebar. Wanita yang main belakang saat suaminya sedang sakit. Bukan hanya dia yang akan terkena imbasnya, tapi anak dan suaminya juga. Sungguh tidak etis mengingat ini juga sudah malam."Tapi, Celine--""Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa."Tanpa menunggu balasan dari laki-laki itu, Celine dengan cepat berjalan menjauh dari Simon dan menuju halte. Menunggu bus terakhir untuk pulang. Meski demi benar-benar sampai rumah, Celine masih harus berjalan kaki. Sepertinya, gajian nanti dia harus mengumpulkan uang untuk membeli motor.***Dominic terbangun dari tidurnya. Dia bangkit dari ranjang dan memeriksa lukanya, sebelum melihat matahari yang sudah mulai meninggi. Celine tidak datang tadi malam maupun sekarang dan semalaman Dominic tidak bisa tidur. Meski begitu, tubuhnya sudah jauh lebih baik. Hingga dia rasa, sekarang saatnya untuk pergi dan mencari barang-barangnya. Menelusuri kembali jejaknya yang beberapa hari lalu diserang. Dia harus kembali sebelum kediamannya hancur. Tak membuang waktu, Dominic berusaha berjalan ke arah pintu gubuk. Melihat sekitar sana dan kakinya memutuskan untuk tetap melangkah. Menelusuri gang sempit yang ada dalam ingatannya. Dominic berjalan dengan santai karena lukanya sudah tidak terlalu parah atau mungkin memang sudah sembuh? Meski masih ada sedikit rasa sakit saat berjalan. Namun tak seberapa dibanding hari pertama. Kakinya terus melangkah hati-hati, hingga saat dia keluar dari gang, matanya melihat dua jalan cukup besar yang dapat dilalui oleh dua mobil. Satu jalan yang mengarah ke kiri tampak terdapat beberapa rumah-rumah warga sekitar. Sementara jalan ke arah kanan yang merupakan jalan utama.Jalan yang mengarah ke kiri adalah jalan yang juga merupakan tempat di mana dia berusaha dibunuh. Dominic yang mengingatnya, memilih untuk menyusuri jalan ke arah kiri. Dia bisa melihat jalanan yang lurus dan menurun. Jalan yang ditumbuhi oleh beberapa pohon-pohon rindang. Namun tentu mobil masih bisa masuk ke sana. Jalan yang juga menuju ke area hutan dan tidak ada rumah warga sama sekali. Sedang di tempatnya berhenti waktu itu, ada sebuah jurang cukup dalam. Dia ingat saat sang sopir malah membawanya ke sini malam itu. Hampir saja nyawanya melayang saat mobilnya hendak dijatuhkan ke jurang.Akan tetapi, selain lurus, terdapat dua jalan lagi yang lebih kecil. Tidak selebar jalan yang lurus dan dipenuhi pepohonan di depannya, tapi masih bisa masuk untuk satu mobil. Jalanan samping kirinya tampak cukup banyak rumah-rumah. Sementara lainnya adalah seperti tempat warga sekitar untuk bercocok tanam.Dominic berusaha mengabaikan kedua jalan kecil itu dan fokus pada jalan lurus di depannya. Dia mencari-cari smartphone serta dompetnya. Namun sialnya, tak satu pun barang miliknya itu ditemukan. Semak-semak belukar tempat dia bersembunyi pun tidak ada, jalanan yang dilalui para bedebah sialan juga tidak ada. Begitu juga dengan bangkai mobilnya yang sudah hilang. Alhasil, Dominic harus kembali lagi ke atas ketika pencariannya sia-sia. Dia juga bingung, di daerah mana dirinya berada saat ini?Tepat di saat dia tengah kebingungan dan ingin mencari sesuatu, matanya tanpa sengaja menatap ke arah jalan yang dapat dimasuki oleh satu mobil itu dan tertarik untuk masuk ke sana. Celine bilang, dia tinggal tak jauh dari sana. Mungkinkah itu di dalam sana?Dominic pikir, perkataan Celine benar, dia butuh bantuan wanita itu untuk menghubungi orang-orangnya agar bisa menjemputnya kembali. Sampai akhirnya Dominic memutuskan untuk berjalan menuju ke arah tempat yang dikira adalah jalan menuju rumah Celine. Kakinya melangkah sambil memerhatikan sekitar. Berharap menemukan seseorang yang bisa menunjukkan jalan menuju rumah wanita yang menolongnya.Rumah-rumah mewah dengan pagar tinggi tampak berjejer rapi dan tak terlihat seorang pun keluar dari dalam rumah. Menimbulkan rasa heran. Sampai matanya menemukan seorang laki-laki menggunakan kruk, tampak berjalan bertatih di depannya sambil membawa sebuah kantung plastik di salah satu tangannya. Segera saja Dominic menghentikannya."Maaf, bisa saya minta tolong sebentar?" Orang itu spontan menoleh saat bahunya ditepuk. Mengernyitkan dahi pada Dominic dan menatapnya bingung. "Ya?""Saya tersesat dan tidak tahu di mana ini. Saya butuh bantuan Anda." Dominic sedikit berbohong. Berharap laki-laki itu mau membantunya menemukan rumah Celine. Jika dilihat, tampak laki-laki tersebut orang baik-baik. "Anda ... siapa kalau boleh tahu? Ke mana tujuan Anda? Apa Anda ingat sesuatu? Bagaimana jika kita ke rumah saya lebih dulu untuk membicarakan ini?"Dominic bisa melihat tatapan serius di mata laki-laki itu. Tidak ada maksud terselubung dan dia tahu kalau laki-laki ini mau membantunya dengan tulus. "Jika Anda mengizinkan."Dominic menatap rumah sederhana di depannya. Dia ikut masuk saat laki-laki yang tadi mengajaknya itu, mempersilakan dia masuk. Matanya seketika menjelajahi rumah tersebut. Memerhatikan dengan teliti. Sempit dan kecil, namun sangat bersih. Membuatnya tak henti menatap sekitar. Hingga dari arah salah satu ruangan, tiba-tiba muncul seorang anak kecil sambil mengganti seragam sekolahnya."Papa!" serunya, cukup memekakkan telinga Dominic yang ada di sisi pria itu. Dia hanya diam melihat si bocah tersebut memeluk pria di sebelahnya. Seolah senang dengan kedatangannya. Namun tidak dengan Dominic.Anak kecil adalah hal yang sangat mengganggu dan membuatnya terkadang kesal dengan keberisikkan mereka. Akan tetapi, dia yang merupakan tamu jelas tidak bisa berbuat banyak dan hanya bisa diam memerhatikan keduanya. Sedikit tak terduga jika ternyata pria di sebelahnya telah memiliki anak. Dia pikir, pria itu masih lajang."Papa 'kan nggak boleh ke mana-mana. Nanti kalau Mama tahu ba
"Ka-kau? Kenapa bisa ada di sini?" Mulut Celine terbuka dan matanya terbelalak. Dia kaget sekaligus tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dominic, laki-laki yang dia kira sudah pergi justru ada di depan matanya. Bagaimana mungkin Dominic bisa tahu rumahnya? Matanya seketika beralih menatap sang suami yang masih tersenyum. Rayyan seperti tidak tahu apa yang terjadi. "Rayyan, kenapa kamu membawa orang asing masuk?""Kamu mengenalnya, Sayang? Kami tidak sengaja bertemu tadi. Dia membutuhkan pertolongan dan aku hanya membantunya," jawab Rayyan dengan santai. Berbeda dengan Celine yang seketika menepuk jidatnya. Dia sengaja tidak memberitahu Dominic tempat tinggalnya karena takut kalau laki-laki itu orang jahat, tapi suaminya dengan sangat polos mengatakan membantu orang dan membiarkannya masuk?"Dia adalah orang yang kuceritakan kemarin."Rayyan menatap Celine heran, sebelum sang istri mengatakan tentang orang yang ditolongnya. Membuat Rayyan memutar kembali ingat
Cahaya yang hanya berasal dari lampu tidur, tak terlalu membuat Dominic bisa melihat kamar dengan jelas. Meski iris matanya bisa melihat sofa bed yang dimaksud oleh Celine juga Rayyan. Ada Arion yang saat ini tengah terlelap di ranjang. Ini sedikit tidak nyaman. Sudah dikatakan kalau Dominic tidak menyukai anak kecil, tapi kini dia harus tidur bersama salah satu dari mereka. Apa boleh buat, dia juga tidak mau tinggal di gubuk itu lagi.Dalam remangnya cahaya, Dominic melihat sekeliling kamar Arion yang tampak cukup besar. Matanya melihat ada rak mainan dan lemari pakaian. Sampai berhenti dan menatap Arion yang tertidur menghadap ke arahnya. Siapa anak kecil ini? Arion memanggil Rayyan, Papa dan Celine berkata anak. Apakah mungkin jika Rayyan dan Celine ...?Dominic terdiam. Semua ini tak ada urusannya dengan dia. Mau Celine sudah menikah atau tidak, dia tidak punya urusan. Walau dia merasa sedikit aneh, kenapa wanita itu masih mau bersama pria yang bahkan berjalan saja sus
Sia-sia Dominic menunggu kedatangan ayahnya. Pasti tua bangka itu sedang bersenang-senang bersama ibunya tanpa dia. Sampai matahari berada di atas kepala, tak terlihat sedikit pun batang hidung ayahnya atau anak buahnya datang. Hal yang membuatnya bosan setengah mati karena berada di dalam rumah.Tidak ada Celine di sini. Hanya Rayyan dan Arion yang sejak tadi tengah belajar bersama, setelah anak itu pulang dari sekolah. Biasanya, anak seusia Arion akan memilih bermain bersama anak-anak lain dari pada menghabiskan waktunya untuk belajar. Namun Arion sedikit berbeda. Entah ini hanya dugaannya saja atau memang dia merasa anak kecil itu cukup pintar. Tidak berisik dan banyak mengganggu seperti anak-anak lain."Papa, Al lapar. Al mau makan."Ucapan Arion mengalihkan perhatian Dominic. Dia menatap anak tersebut dengan alis terangkat. Di depan Arion terlihat Rayyan yang juga menatap anaknya. Buku yang dia pegang untuk mengajari sang anak, diletakkan kembali di atas me
“Dia Rayyan, suami dari wanita yang menyelamatkanku,” ucap Dominic sembari memperkenalkan laki-laki di sebelahnya—yang saat ini tengah terduduk kaku. Ruang tengah kini seolah penuh oleh kehadiran ayah serta orang-orangnya.Sementara di sebelahnya tampak Rayyan seperti tidak nyaman saat mendapat tatapan selidik dari ayahnya, sampai Dominic harus memutar bola matanya kesal ketika melihat sikap sok kuasa itu. Beruntungnya, Arion tidak ada di sana. Rayyan sudah menyuruh anaknya untuk pergi bermain. "Berhentilah membuat orang lain takut, Pa.”“Ah, maaf. Aku tidak bermaksud begitu. Aku hanya penasaran dengan orang menyelamatkan anakku.”Kata-kata dan senyum simpul di bibir pria tua yang merupakan ayah dari Dominic, sedikit membuat perasaan Rayyan menjadi lebih santai. Dirinya ikut tersenyum, meski dalam hati masih tak percaya dengan orang yang ada di depannya. Rayyan tahu, dia jelas tahu kalau orang yang ada di depannya adalah pemilik per
"Domi Sayang, akhirnya kamu pulang. Mama sangat mengkhawatirkanmu," ucap Daisy. Wanita yang baru memasuki kepala lima namun masih terlihat muda itu, memegang kedua pipi putranya cukup kuat. Linangan air mata terlihat di pelupuk matanya. Berniat mengecup manis kening anak semata wayangnya, namun hal itu tak terwujud saat sang suami justru menghalanginya."Oh, Dear, jangan terlalu berlebihan. Anakmu baik-baik saja. Dia sudah tua, jangan memperlakukannya seperti anak kecil," decak Kenneth sembari menatap tajam ke arah Dominic dan memerintahkannya untuk segera menjauh."Tapi, Sayang—""Honey, biarkan anakmu istirahat. Kita panggilkan dokter, ok?" tawar Kenneth. Ucapannya cukup membuat Daisy yang masih sangat mengkhawatirkan Dominic, mengangguk tak rela. Matanya bisa melihat wajah Dominic yang sedikit kurus.Sebagai seorang ibu yang mendengar kalau anaknya mengalami musibah sekaligus pernah meregang nyawa, dia sangat sedih bukan main. Daisy tidak pernah bi
Hari-harinya yang membosankan datang lagi. Dominic harus menyelesaikan pekerjaan yang sudah seminggu ini dia abaikan. Dia jelas tidak mau kredibilitas perusahaannya turun. Ditambah ayahnya berkata kalau sahamnya hampir merosot jatuh saat sebuah kabar burung mengabarkan berita kematiannya.Beruntung ayahnya sudah mengurus semua itu. Jelas, ini adalah ulah seseorang. Hanya saja, Dominic tidak mengetahui siapa dia. Apa maksud dari orang itu yang berniat membunuhnya? Sialnya lagi, meski ayahnya berkata sudah membereskan sebagian pengkhianat, Jery–orang kepercayaan–ternyata menjadi salah seorang yang berhasil meloloskan diri. Dominic sudah berusaha mengerahkan seluruh orang-orangnya untuk mencari keberadaan laki-laki itu. Begitu pun dengan ayahnya.Tujuan atau motif Jery melakukan percobaan pembunuhan untuknya masih abu-abu. Dia yakin seratus persen kalau laki-laki itu tidak akan bertindak tanpa dukungan. Pasti ada orang lain yang menjadi dan menggerakkan mereka unt
"Kami menemukan anak kecil yang merupakan adik dari Jery, Tuan," ucap seorang pria yang merupakan suruhan Kenneth. Berjalan mendekat sambil memerlihatkan seorang gadis cilik yang ketakutan. Mengalihkan perhatian Dominic serta ayahnya yang tengah berbincang membahas siapa orang yang berniat membunuhnya.Dominic menatap anak kecil itu dengan dahi berkerut. Seorang gadis kecil sekitar empat tahunan yang mengingatkannya akan Arion. Hanya saja, jelas terlihat perbedaan besar antara keduanya. Baik dari umur atau pun dari sifat. Arion adalah anak yang ceria sementara gadis kecil ini tampak pendiam. Wajahnya pun terlihat pucat seolah tidak sehat dan tubuhnya mengkerut takut saat dia menatapnya. "Bawa dia kemari," titahnya.Orang yang membawa anak tersebut menarik anak kecil yang sejak tadi bersembunyi di belakangnya. Berniat untuk menyerahkannya pada Dominic. Namun yang terjadi, anak itu malah menggeleng sambil memegangi kedua kakinya. Ekspresi wajahnya berubah seperti hendak mena