“Papa nggak ada!”
“Masa, sih, Bel? Itu mobilnya masih ada kok?”
“Bella bilang nggak ada, ya gak ada! Udah tante pergi sana!”
“Ih, Bella. Kok nggak sopan, sih? Gini-gini Tante calon Mama kamu, loh. Belajar hormat sama Tante, Sayang!”
“Ogah! Bella nggak mau punya Mama kaya Tante.”
“Eh, Bella. Kok ngomongnya gitu? Tante bisa loh jadi Mama yang baik buat kamu. Plus ngasih kamu adik-adik yang lucu, terus— arghhh ... Bella! Kok Tante disiram, sih? Jadinya basah baju Tante nih?”
“Biarin! Biar Tante bangun terus nggak kebanyakan mimpi!”
“Tapi—”
“Pergi nggak, Tante! Kalau gak Bella siram lagi nih!”
“E..eh i..iya-iya deh. Tante pergi sekarang. Tapi salamin sama Papa kamu ya, bilang kalau— arghhh ... Bella!”
“Pergi!”
Aku pun langsung ngakak so hard, saat melihat Mbak Ida lari tunggang langgang karena takut disiram si Bella.
Anak itu benar-benar galak sekali jika melihat Mbak Ida mendekati rumahnya. Soalnya, sudah bisa ditebak maksud dan tujuannya, yaitu ingin menggoda Pak Dika yang katanya suami masa depannya.
Ah, ya. Mungkin kalian belum kenal Mbak Ida yang aku maksud tadi. Baiklah, mari kita kenalan dulu dengannya sebentar.
Jadi, Mbak Ida itu adalah janda kembang di sini. Serius deh! Dia memang janda kembang panggilannya. Namun, bukan karena dia janda cantik, bahenol dan seksi seperti yang kalian bayangkan. Melainkan memang Janda yang jualan kembang dan suka sekali memakai kembang di salah satu kupingnya.
Kata dia, sih, biar mirip Rosalinda Ayamor. Sampai sekarang itu, herannya aku masih belum menemukan kemiripannya sama sekali dengan bintang telenovela yang berjaya pada masanya.
Malah, Mamaku sering meledek saat Mbak Ida lewat depan rumah. Kata Mama, “Mana ada Rosalinda suaranya kaya kucing kejepit gitu? Itu, sih, Bukan Rosalinda Ayamor, tapi si Ida aya-aya wae!”
Maklum ye, emak-emak emang udah nalurinya julid kalau lihat yang kayak begituan. Sebenarnya, bukan cuma mamaku yang seringi julidin Mbak Ida, tapi juga ibu-ibu yang lainnya. Semua itu karena Mbak Ida ini suka sekali godain Bapak-Bapak yang lagi nongkrong di pos hansip.
Nanti kalau dilabrak salah satu emak-emak, Mbak Ida akan menjawabnya dengan jumawa, “Namanya juga orang cantik. Pasti banyak yang sirik.”
Kan emang ngajakin ribut banget tuh Janda satu. Cuma ya ... itu dulu, karena sejak ada Pak Dika tinggal di sini, Mbak Ida pun sudah menargetkan si duda itu sebagai suami masa depannya.
Hanya saja, tau sendiri ‘kan bagaimana si Bella. Nuakalanya naudzubillah, plus galak juga kalau sudah berhadapan dengan Mbak Ida. Aku, sih, udah biasa dengan pertengkaran seperti itu setiap hari.
“Diem deh, Tante! Nanti Bella siram juga, nih!” Bella sewot saat melihat aku masih ngakak menikmati kekesalannya pada Mbak Ida.
Dia mengarahkan selang yang biasa dipakai neneknya untuk menyiram tanaman ke arahku, tapi hari ini disalah gunakan untuk menyiram Mbak Ida oleh bocah kutil itu.
Aku, sih, nggak takut. Lah wong aku di balkon atas, Bella di halaman sebelah. Mana sampai airnya padaku, ye kan?
“Cie ... yang baru ditengokin calon mama baru. Berbunga-bunga pasti itu hatinya,” godaku sengaja membuatnya semakin meradang. Kapan lagi bisa bikin nih gagang kunci satu kesel.
“Amit-amit! Sampai kapan pun Bella nggak sudi!” balasnya menggebu-gebu dengan wajah yang di sangar-sangarin.
Padahal aslinya, malah jadi kelihatan gemes. Asli deh! Nih bocah sebenarnya cantik kayak boneka, tapi kelakuannya itu bikin nilai minus buat dia. Nakalnya udah kebangetan! Dia juga galak sebenarnya. Saking galaknya, rumah Pak Dika nggak butuh security atau pun hewan penjaga. Taruh saja si Bella di depan rumah. Dijamin bakal aman sentosa. Ya ‘kan dia itu kalau nyalak, lebih dari hewan mana pun.
Nggak percaya? Coba aja deketin bapaknya. Dia pasti bakal ngamuk kayak beruang lepas dari kandangnya.
Mungkin cuma sama aku doang dia nggak galak. Soalnya dia tau pasti, aku memang nggak pernah godain bapaknya.
“Jangan gitu , Bell! Kalau ternyata Mbak Ida beneran jodoh Papamu. Bisa apa kamu?” Aku mencoba menasehatinya. Sekaligus membuatnya semakin meradang.
“Bisa minta sama Tuhan. Biar jodohnya di ganti yang lain aja,” jawabnya asal, membuat aku tergelak renyah.
Dasar bocah! Dikata jodoh apaan bisa minta tuker? Loakan!
“Ngawur kamu! Yang namanya jodoh mana bisa ditawar? Emang kangkung Mang Mamat, bisa nenekmu tawar jadi seiket 500 perak?” balasku menyebutkan tukang sayur yang biasa mangkal di depan rumah kami.
“Buat Tante emang nggak bisa. Tapi kalau buat Bella, pasti bisa. Bella ‘kan anak baik. Jadi pasti doanya didengar Tuhan. Memang Tante suka dzolim sama Bella. Dosa Tante banyak tuh! Buruan tobat, Tan!”
Emang ya, mulut si Bella nih mancing banget buat diulek. Nggak ngaca dia kelakuannya selama ini?
“Sembarangan kamu! Baik buruknya manusia itu hanya Tuhan yang tau. Emang kamu siapa? Sok-sokan nuduh Tante dzolim?”
“Ratu Isabella dong! Masa Tante nggak kenal? Ke mana aja, sih?”
Sebenarnya, kadang aku curiga loh. Jangan-jangan si Bella itu manusia kerdil yang lagi nyamar jadi anak SD. Soalnya mulutnya itu loh ... lemesnya udah bisa ngalahin lambe-lambean.
“Nggak penting! Lagian, kalau kamu nggak setuju papamu nikah sama Mbak Ida, kamu setujunya sama siapa? Emang kamu nggak pengen punya ibu baru?” tanyaku, mencoba berdamai dengan Bella.
“Tante dong!”
Eh?
“Tante siapa?”
“Tante Intan! Siapa lagi coba? Tante, mau ‘kan jadi Mamaku?”
“Ish ... ngawur kamu! Tante nggak suka sama papamu. Cari yang lain aja!” tolakku mentah-mentah.
“Ih, kenapa? Papa ‘kan ganteng, Tan?”
Ya emang! Cuma masalahnya, bapakmu punya anak kaya kamu, Bell. Bisa bikin siapa aja makan hati dan aku gak mau mati muda.
“Bodo! Pokoknya Tante nggak mau! Cari yang lain aja sana!” Aku tetap bersikukuh menolak tawaran si Bella. Sekalipun sebenarnya tawaran itu menggiurkan banget, tapi ... gimana dong? Aku ‘kan masih mau panjang umur.
Bella pun terlihat kesal dengan jawabanku dan menghentakan kakinya tanda marah.
“Papa…! Kita cari dukun biar bisa pelet Tante Intan yuk?!”
Eh? Maksudnya apa itu? Emang aku ikan lele dikasih pelet!
“Kiri-kiri, Sist. Di sini aja.” Aku menepuk pundak Nur, yang hari ini tumben baik hati mau nganterin aku pulang.Nurhayati tepatnya, karna Nurbaiti sedang tidak masuk hari ini. Si Nur pun mencebik kesal dan menoyorku yang tadi iseng memperlakukannya seperti kang ojeg.“Kunyuk! Ngelunjak emang lo ya? Udah gue anterin bukannya makasih, malah bikin gue kaya kang ojek aja,” omelnya membuat aku terbahak saja.“Abis lo mirip banget sama kang ojek jaman now. Sweater ijo sama helm ijo. Jadi salfok ‘kan gue. Lo kayaknya benar-benar menghayati banget peran lo jadi kang ojek ya, Nur?” sindirku di sela kekehanku.“Bangke emang lo! Temen nggak ada akhlak. Nama gue emang Nurhayati, kali! Dan gue—”“POKOKNYA BELLA NGGAK MAU!”Ucapan si Nur pun langsung terhenti, tatkala lengkingan suara Bella menginterupsi dari arah rumahnya. Aku dan si Nur sontak menoleh ke arah sumber suara. Kami langsung melihat Bella tiba-tiba keluar dari sana, sambil berlari sembarang arah. Entah mau ke mana itu bocah, yang jela
“Tunggu deh, Pak!” Aku akhirnya menarik tangan Pak Dika, setelah kami lumayan jauh dari mantan istrinya.Ya! Setelah pernyataan sepihaknya itu. Pak Dika memang langsung menyeretku lagi, hingga aku tidak bisa berkilah untuk ucapannya tadi. Namun, walau pun begitu, tetap saja ini harus diluruskan. Semua karena wanita selalu membutuh kepastian. Iya ‘kan?“Kenapa, Tan?” tanya Pak Dika akhirnya. Ia menurut untuk menghentikan langkahnya.“Itu, Pak. Sebelum kita lanjut cari si Bella. Saya mau tanya dulu. Tadi itu ... maksud Bapak apa men
“Pokoknya Bella maunya sama Tante Intan aja!” Bella merapatkan pelukannya padaku, saat ibunya berusaha menggendongnya.Ya! Akhirnya kami berhasil menemukan Bella, berkat orang gila yang terus saja menyebut Bella ini boneka. Wajar, sih. Bella memang seperti boneka tampangnya. Soalnya, biangnya juga licin banget kayak keramik di mall.Nggak itu bapak atau ibunya. Dua-duanya dari bibit unggul. Lalu, apa kalian mau tau di mana Bella ditemukan?
“Tan?”“Iya, Pah?”“Sini bentar, Nak,”Aku pun langsung mengurungkan niatku yang tadinya hendak ke dapur untuk ambil minum. Kini aku berbelok ke arah ruang tv, di mana Papa dan Mama berada.“Duduk sini, Nak,” titah Papah saat sudah dekat dengan tempat itu.Aku pun mengambil duduk di sofa samping Mama, karena Papa sendiri duduk di sofa single. Mama duduk di sebelahnya, di
Ratu Isabella sakit!Wew! Haruskah aku bikin pengajian buat ngerayainnya? Soalnya aku senang banget dengar kabar ini.Asli!Please, jangan bilang aku kejam atau nggak punya hati. Kalian nggak tau aja bagaimana rasanya hidup berdampingan sama makhluk ngeselin kayak bocah itu.Hidupku rasanya runyam!Makanya boleh ya aku adain pengajian syukuran. Biar boc
Sluuurrrppp ….Aaahhh ….Glek!Aku meneguk ludah tanpa sadar. Saat melihat Bella menyeruput kuah sayur yang aku buatkan, hingga tak bersisa di mangkuknya.Gila! Nih bocah doyan apa lapar, sih? Sampai bersih gitu mangkoknya. Nggak usah dicuci lagi kayaknya. Sudah licin gitu kok.“Enak, Tante. Nanti bikinin lagi ya?”Kebiasaan! Sakit-sakit tetap aja ngelunjak.“Masih ad
“Pagi, Tan. Udah mau berangkat kuliah ya?” sapa Bu Nana, saat aku baru saja nengeluarkan motor matic ke halaman rumah.Bu Nana ini adalah ibunya Pak Dika dan saat ini dia sedang menyiram tanaman kesayangannya di depan rumah. Orang tua Pak Dika memang sudah kembali pulang, sehari setelah kejadian itu.Duh, nggak usah diingetin ya soal kejadian itu. Soalnya jantung aku suka mau copot kalau inget moment mendebarkan itu.
“Tante, lama,” rengek Bella, saat siang itu aku jemput di sekolahnya.“Jangan rewel. Udah untung Tante jemput,” balasku malas plus kesal.Soalnya gara-gara harus jemput Bella, aku harus absen dari acara nonton bareng duo Nur. Padahal, acaranya sudah kami rencanakan dari jauh-jauh hari. Gara-gara telepon dari Bu Nana, semua jadi buyar sudah.“Tan,