Aku ikut berbahagia untukmu.
Itu yang semua orang katakan pada pesta lajang salah satu teman kantor Elora malam ini.
Tapi bagi Elora, ucapan itu hanyalah omong kosong.
Elora tidak bisa ikut berbahagia pada kenyataan bahwa seorang wanita akan melepas kebebasannya demi laki-laki. Makhluk paling brengsek yang ada di muka bumi ini.
Elora meludah ke dalam gelas minuman yang telah kosong. Hingar bingar kelab malam sama sekali tidak menarik minatnya sekarang karena hal yang paling Elora inginkan saat ini adalah berbaring di sofa di apartemennya, sembari menikmati secuil pemandangan danau Wakatipu yang gelap.
Jika bukan karena teman kantornya yang sekarang sedang merayakan pesta adalah teman yang membantunya mendapatkan proyek besar dari klien, Elora tentu tidak akan datang ke acara ini.
“El, ayo ikut aku!” teriak salah satu teman kerja Elora, seorang pria, yang sepertinya sudah setengah mabuk. Dia menarik paksa tangan Elora, menyuruhnya untuk bangkit dari sofa beludru berwarna merah marun yang nyaman. Elora menggeleng enggan, sembari menyentakkan tangan agar terlepas.
Satu tatapan kesal nan dingin Elora layangkan pada temannya. Tanpa perlu berkata-kata, temannya itu berjengit pergi dengan pandangan bersalah. Seharusnya dia, seperti semua lelaki di sekitar Elora, tahu bahwa Elora paling benci disentuh oleh lelaki.
Demi menghindari terjadinya tawaran berulang, mungkin dari temannya yang lain lagi, Elora bergegas berdiri dan menuju ke toilet.
Elora menyusuri lorong berpenerangan rendah, melewati pintu koboi kayu yang secara ajaib mampu meredam kebisingan musik EDM di kelab. Elora memutuskan untuk merokok, yang sepertinya bisa menghilangkan stres dan rasa kecewa. Elora membuka tas kerjanya, sebuah tas jinjing kecil berwarna hitam, dan mengambil sebungkus rokok dan sebuah pemantik.
Elora berhenti di lorong, bersebelahan dengan pintu masuk ke toilet laki-laki. Ia mengeluarkan sebatang rokok berfilter, dan menyulutkan api dari pemantik ke ujung rokoknya. Baru saja melakukan satu hisapan dan mengepulkan asap berwarna putih tipis, seseorang masuk dari arah kedatangan Elora.
Elora hanya melirik sekilas, untuk tahu apakah orang itu salah satu temannya atau bukan. Ternyata hanya seorang lelaki asing. Elora kembali melanjutkan aktivitasnya, tetapi siapa sangka lelaki itu mendatangi Elora sembari melepas pakaian bagian atas. Dan begitu Elora ada dalam jangkauannya, lelaki itu mengaitkan satu tangan dan menarik tubuh Elora mendekat.
“Siapa kau—“ Elora belum sempat mengeluarkan umpatan saat lelaki itu mengunci tatapan mata Elora dengan sepasang mata biru kobalt yang bagai berpendar dalam remangnya koridor.
“Diam dan cium aku,” bisik lelaki itu.
Ketika Elora tak bergeming, lelaki itu pun memiringkan wajah dan menyambar bibir Elora.
Elora mencoba berontak hingga rokok dan tas terjatuh dari tangannya. Namun cengkeraman lelaki ini pada Elora begitu kuat. Yang aneh adalah, lelaki ini begitu mahir mencium hingga amarah Elora berganti secepat kilat dengan kenikmatan.
Lelaki itu memainkan bibir Elora dengan bibirnya, dan menjelajahi rongga mulut Elora dengan lidahnya yang begitu lihai. Elora tenggelam untuk sejenak. Ia mendengar beberapa suara yang sepertinya hendak menuju ke lorong, tetapi mengurungkan niat karena melihat ada sejoli yang sedang bermesraan.
Semua bagaikan mimpi yang membuai, sampai lelaki itu mengarahkan tangannya ke perbatasan rok pendek Elora, mencoba menjelajah kulit di balik pantyhose tipis yang Elora kenakan.
Memanfaatkan kesempatan selagi lelaki itu lengah, Elora mengumpulkan tenaga dan mendorong lelaki itu dengan kasar. Satu tamparan Elora daratkan ke pipi lelaki yang lebih tinggi satu kepala darinya ini. Lelaki itu nampak terkejut, namun hanya sesaat. Dalam satu kedipan mata, raut wajahnya kembali berubah dingin, cenderung malas.
“Brengsek,” maki Elora, disusul acungan jari tengah dari jemarinya yang lentik dan bersaput kuteks berwarna merah.
“Seharusnya kau lakukan itu dari tadi,” balas lelaki itu. Dia membungkuk untuk mengambil pakaiannya di lantai, sebuah kaus hitam, yang kemudian dia kenakan kembali. Elora sempat menelan ludah saat melihat betapa sempurnanya tubuh lelaki di hadapannya.
“Kalian semua brengsek!” Emosi mulai menguasai Elora saat ia mengatakan itu.
Si lelaki berambut cepak itu mengangkat satu alis. Bukannya marah karena berulang kali diumpat dan ditampar, lelaki itu justru kelihatan heran. “Kalian? Memang sebelum aku, ada yang menciummu tiba-tiba?”
“Pergi kau!” jerit Elora. “Pergi sekarang juga dari hadapanku!!”
“Tunggu dulu. Aku bisa jelaskan—“
Belum selesai lelaki itu berbicara, Elora meraih tas jinjingnya dan memukulkannya ke lengan berotot lelaki itu. “Pergi kau! Enyah kalian semua, lelaki jahanam!”
Elora tak peduli pada lelaki yang sepertinya kewalahan menghadapi serangannya yang bertubi-tubi. Lelaki itu pun pergi. Dia memberikan satu kerlingan terakhir, yang Elora artikan sebagai sebuah rasa iba untuk dirinya.
Setelah yakin bahwa Elora sendiri di lorong itu, Elora merosot ke lantai … dan ia mulai menangis.
*
Seminggu berlalu semenjak kejadian memuakkan itu … dan Elora masih bisa merasakan sentuhan memabukkan, yang meninggalkan jejak rasa jijik, dari bibir lelaki misterius itu. Ya, Elora benci pada fakta bahwa ia belum bisa melupakannya. Sekaligus pada kenyataan bahwa apa yang lelaki itu lakukan telah membangkitkan sebuah trauma yang coba Elora kubur dalam-dalam bertahun-tahun belakangan ini. Elora mengembuskan napas seraya memandang tumpukan pekerjaan di mejanya. Pekerjaannya sebagai Direktur Kreatif di sebuah perusahaan periklanan, tak pernah memberi Elora waktu untuk sekadar bernapas dan menikmati hidup. Dreamcacther, nama perusahaan tempat Elora bekerja, sedang berada pada masa kejayaannya. Biro iklan ini terkenal memberikan konsep iklan yang tak biasa pada klien-klien mereka. Setiap iklan yang dihasilkan akan selalu menjadi perbincangan di antara Kiwi, sebutan untuk penduduk New Zealand, bahkan di negara-negara tetangga. Dan orang yang berjasa dibalik semua i
Tunggu dulu … dia adalah pria yang mencium Elora di kelab malam seminggu yang lalu. Elora berusaha menyembunyikan wajahnya dibalik gelas plastik kopi, yang tentu saja percuma, dan mendesak dirinya sendiri lebih ke sudut. Elora berharap bisa melebur bersama dinding lift, atau menghilang tiba-tiba dari kotak kecil ini. Saat pria itu masuk, mata mereka bertemu, dan Elora langsung mengingatnya. Sepasang netra berwarna biru kobalt yang berpendar. Elora kira malam itu dia mengenakan lensa kontak, namun sepertinya itu warna asli matanya. Indah … dan dingin. “Apa aku mengenalmu?” Si pria bertanya, suaranya tanpa minat. Mungkin dia sudah sering berhadapan dengan cewek-cewek, jadi dia bersikap seolah tak punya ketertarikan pada Elora. Seharusnya dia sadar bahwa Elora juga tidak punya minat untuk bercakap-cakap. Elora tak lantas menjawab pertanyaan itu, ia menunduk dan mengangkat gelas kopinya agar menutup sudut wajah yang terekspos. “Tidak,” jawab Elora
Syuting iklan berjalan dengan lancar dan sangat menarik perhatian semua orang yang melihatnya. Tentu saja tubuh atletis Caspian yang hanya tertutup celana dalam, sebuah tas kantor, dan sepasang sepatu kerja itu merupakan pemandangan yang tak bisa ditolak siapapun, bahkan oleh para lelaki. “Kau jadi ambil cuti panjang?” tanya Javier. Elora sudah kembali ke ruangannya sesaat setelah syuting selesai. Dan seperti biasa, Javier tak pernah mengetuk pintu saat masuk ke ruangan Elora. Elora yang tengah membereskan meja kerjanya, memberikan protes dalam bentuk desahan, lalu ia menggumamkan ‘ya’. “Aku baru tahu kalau waktu cuti bisa diakumulasi seperti itu. Kau dapat jatah cuti berapa? Sebulan, dua bulan?” Dari awal bekerja di Dreamcatcher, Elora memang tidak pernah mengambil cuti maupun izin sakit. Kecuali pada waktu itu … itupun Elora masuk lebih cepat dari yang seharusnya. Stamina dan dedikasi Elora pada pekerjaannya memang sungguh luar biasa. Mungkin hal it
Pertamanya Elora pikir Caspian sedang melakukan suatu aksi vandalisme bersama teman-temannya. Karena orang-orang yang lain kelihatan segarang dia, beberapa bahkan membawa tongkat pemukul yang terbuat dari besi, serta senjata tajam yang berkilau keperakan saat tertimpa sinar lampu mobil Elora. Tetapi kemudian dugaan itu terpatahkan saat seseorang dari mereka mulai menyerang Caspian. Caspian menangkis serangan yang datang bertubi-tubi kepadanya. Elora yang menyaksikan itu semua dari balik kemudi, hanya bisa gemetar ketakutan. Ia memasukkan perseneling mundur dan mulai menginjak pedal gas sedalam mungkin. Tapi sial, tidak ada yang terjadi. Mobilnya lagi-lagi mogok di saat yang tidak tepat. Dasar mobil tua sial. Umpat Elora dalam hati. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Berlari meninggalkan mobilnya begitu saja untuk mencari pertolongan? Tidak. Hanya ini kendaraan yang Elora miliki dan tanpa mobil Elora bakal kewalahan. Tungkai Elora semakin berguncang h
Setiap malam bulan purnama, Elora selalu mengalami mimpi yang sama.Ia berjalan di sebuah padang rumput tak berujung, dikelilingi oleh pegunungan berujung runcing. Pemandangan yang familiar, yang biasa Elora lihat di Queenstown. Tetapi sejauh apapun Elora berjalan, padang rumput itu tak pernah habis … seolah tak memiliki tepi.Tidak ada siapapun yang bisa Elora temui. Tak ada kehidupan, tak ada suara. Hanya dirinya bersama sebuah bulan besar yang cahaya peraknya membutakan.Tetapi … mimpi malam ini berbeda.Elora tidak sendiri.Ia masih sama, berdiri di tengah padang rumput. Mengenakan gaun putih yang ujungnya terseret di tanah berbatu. Rambutnya tergerai, hitam seluruhnya. Cahaya bulan masih sama menyilaukan, tetapi ada sosok yang menarik perhatian Elora.Seseorang berdiri tak jauh di depannya. Bermandikan cahaya. Rambutnya perak dan berpendar, matanya punya warna yang sama. seluruh tubuhnya bagai dilingkupi gaun yang terbuat
Caspian kembali sambil membawa tas Elora, sebuah kemeja berwarna putih berukuran besar, dan celana jins.“Jangan mendekat,” perintah Elora. “Lemparkan semuanya ke atas sofa.” Elora menunjuk sofa yang ada dihadapannya dengan dagu.Caspian berdecak sembari menelengkan kepala ke satu sisi. “Kenapa lagi? Aku tidak akan menerkammu. Aku sudah janji.”“Aku tidak percaya padamu.” Bahkan pada lelaki manapun di dunia ini, tambah Elora dalam hati.Caspian melontarkan raut wajah yang menyatakan ‘aku lelah dengan drama ini, tapi lebih baik kuturuti saja’, kemudian melemparkan semuanya ke atas sofa yang ada di dekat Elora.“Sekarang keluar dari sini. Aku mau berpakaian.”“Aku sudah pernah melihatmu tanpa pakaian. Kenapa sekarang aku harus keluar?”“KELUAR!” bentak Elora, dan dengan brutal menyambar tasnya, mencari semprotan merica. Caspian mengangkat ked
Elora meminta Caspian untuk mengantarkannya ke apartemen, karena Elora baru saja ingat kalau dia harus mempersiapkan diri. Ada calon klien yang potensial, dan ini adalah pekerjaan terakhir sebelum Elora mengambil cuti panjang. Jadi Elora harus bisa menyukseskannya.Sebenarnya ini adalah ide buruk karena Caspian jadi tahu dimana Elora tinggal. Tapi Elora tak punya pilihan lain.“Terima kasih. Kau boleh pulang.” Elora mengatakannya sembari membuka pintu mobil. Tentu saja Caspian tak melepaskannya semudah itu. Dia menangkap pergelangan tangan Elora, membuat Elora terhenti.Elora menengok untuk menatap jemari Caspian yang melilit pergelangan tangannya.“Lepaskan,” desis Elora dari balik geliginya yang mengatup.“Ada hal penting yang ingin kusampaikan.”“Apa?” Elora menyentakkan tangan agar terlepas dari cengkeraman Caspian.“Jika terjadi sesuatu, segera hubungi aku.”Elora
“Maaf, tapi aku bukan seorang model,” tolak Elora cepat. Ia tak butuh banyak pertimbangan untuk menolak mentah-mentah gagasan dari Caspian.Caspian bersidekap, dengan santai memberikan tatapan menilai pada Elora. Elora tak suka dengan kilat cemooh yang samar di kedua mata Caspian saat melakukan itu.“Sebagai klien, kami berhak meminta apapun sesuai dengan keinginan kami kan?” kilah Caspian.“Ya, kau memang berhak. Tapi tidak semua hal bisa kami penuhi, terutama jika itu dirasa tak memungkinkan,” sanggah Elora.Kini Caspian mengarahkan percakapannya pada Charlie. “Katakan padaku, Charlie. Apakah permintaanku barusan tidak memungkinkan?” Caspian mengeluarkan seringai tipis yang nyaris tak kentara setelah menanyakan itu.Charlie menelan ludah, kemudian ekor matanya menangkap sosok Elora untuk sejenak. Elora tahu Charlie tak bisa langsung mengambil keputusan. Jika menolak, bisa-bisa mereka kehilangan klie