Share

Baru tahu (2)

"Kenapa lo gak bilang kalau Pak Galuh itu bukan cuma bos lo aja di kantor, tapi dia juga tetangga lo." omel ku pada Usron saat kami sudah sampai di rumah.

Usron melihat ke arahku, "ya lo juga gak pernah nanya."

Hmm, iya juga ya. batinku membenarkan ucapan Usron barusan. Aku memang tak pernah bertanya sih.

"Sudah, nanti lagi ngobrolnya. Sekarang kita makan siang dulu," ucap bibi ku yang memang tak suka saat makan sambil bicara.

Aku diam tak bicara sepatah kata pun lagi, begitu juga dengan Usron. Kami berempat menikmati makan siang dengan tenang sebelum suara bel berbunyi mengganggu konsentrasi makan kami.

"Biar aku saja," kata Usron saat aku hendak berdiri.

Aku pun kembali duduk menikmati makan siang ku. Lalu ku dengar suara langkah kaki mendekat—memasuki ruangan makan.

"Eh! Ada Pak Galuh," pekik bibi otomatis membuatku terkejut. Aku mendongak dan benar, ada pria angkuh itu.

Galuh tersenyum seraya berujar, "saya kesini cuma mau nganterin ini." katanya menunjukkan sesuatu. "Tertinggal di rumah saya."

"Hp Usron," ucapku tanpa sadar.

"Oh, jadi benar punya kamu ya Usron?" tanya Galuh pada Usron.

"Astaga! Iya Pak, ini punya saya." sahut Usron mengangguk dan mengambil ponselnya yang di sodorkan Galuh.

"Duh, pakai acara ketinggalan segala lagi. Jadi ngerepotin Bapak," cengir Usron merasa sungkan.

"Ya gak apa-apa. Untung aja ketinggalan di rumah saya, coba kalau jatuh dijalan?"

"Haduh, udah raib deh kayaknya Pak." kata Usron tak bisa membayangkan seandainya ponselnya jatuh dijalan tadi.

Aku turut senang mendengarnya, setidaknya meskipun terlihat angkuh namun ternyata Galuh adalah orang yang baik.

"Yaudah, kalau gitu saya pamit ya." Pak Galuh menepuk pelan pundak Usron. "Lain kali hati-hati, jangan sampai ceroboh lagi."

"Baik Pak, dan terima kasih ya pak." ucap Urson mengangguk.

"Oke, sama-sama." Galuh menatap ke arah paman, bibi dan terakhir aku.

"Nak Galuh, sudah makan siang?" tanya bibi begitu perhatiannya sampai menanyakan Galuh sudah makan siang atau belum.

"Sudah, Bu Mutia.

"Benar udah Pak? Gak bohong 'kan?" aku terkejut mendengarnya, paman pakai acara menggoda Galuh segala lagi.

Pria itu tertawa dengan godaan paman, "sebenarnya sih belum Pak. Ini juga saya tadi rencananya mau bikin nasi goreng sama telur dadar aja untuk makan siang."

"Nasi goreng dan telur dadar lagi? Emang gak bosen Pak?" tanya Usron.

"Ya, mau gimana lagi Us, cuma itu yang bisa saya buat." katanya tersenyum malu.

"Sabar ya Pak," kali ini Usron yang menepuk pelan pundak Galuh. "Rata-rata para duda memang mengeluhkan hal ini."

Aku tersenyum geli, sejak kapan sepupu menyebalkan ku ini jadi sok bijak begini.

"Eh, maaf ya Pak. Saya bukannya bermaksud mau ngatain Bapak, saya cuma mau kasih support aja. Karena beberapa teman saya mengalami hal ini, baru menjadi duda maksudnya."

"Miris ya," ku lihat ekspresi Galuh sedikit meringis mendengarnya.

"Ya gitulah, Pak. Jadi Bapak yang sabar ya, saya yakin suatu saat nanti Bapak akan bahagia dengan menemukan jodoh yang baru."

"Wah, amin. Semoga saja ya, Usron. Tapi saya masih trauma dengan hubungan pernikahan, takut di selingkuhin lagi." ungkapnya tanpa sadar. "Ya gitulah pokoknya. Duh! Kok saya jadi curhat ya." Galuh tersenyum kikuk.

"Gak apa-apa, Pak Galuh. Wong kita ini udah seperti keluarga kok, iya kan Pak?" ucap bibi menatap paman yang mengangguk.

"Jadi, jangan sungkan Pak sama kami dan tetangga yang lain. Kalau Bapak perlu bantuan, bisa bilang sama kami semua yang tinggal di komplek perumahan ini." kata paman menimpali ucapan bibi tadi.

Duh, aku jadi terharu mendengarnya. Paman, bibi dan sepupuku yang memang sangat baik.

"Ya sudah kalau gitu, hayuk mari makan siang Pak." tawar bibi sekali lagi, "jangan ngerasa sungkan loh Pak. Ingat, kita semua ini sudah seperti saudara. Oke?"

"Lagian juga ya Pak, gak baik loh kalau nolak rezeki." ucapku membuat semua pasang mata kini menatap ke arahku. "Kenapa? Apa aku salah bicara?" tanyaku gugup di tatap begitu.

"Tumben banget ngomong lo bener, Cy." protes Usron.

Dih, kampret ini anak. Jadi maksud dia selama ini omongan gue gak pernah bener gitu?

***

Selesai makan siang Galuh langsung berpamitan pada paman dan bibi. Sementara aku mendengus kesal melihat kepergiannya.

Huh! Seharusnya habis dapat makan gratis jangan pulang dulu. Cuci piring dulu kek, sebagai ucapan terima kasih.

"Kenapa lo? Kok muka lo cemberut gitu?" tanya Usron mengagetkan ku.

Aku pun lantas menggeleng dan berlalu dari hadapannya. Piring-piring kotor sudah menanti diriku.

"Loh, Bi! Ngapain?" pekik ku kaget melihat bibi yang malah mencuci piring.

"Sini, biar aku aja Bi." pintaku yang justru di tolak Bibi.

"Gak usah, gak apa-apa ndok. Biar Bibi saja, lagian kamu pasti kan capek."

"Lah, Bibi kan juga capek tadi udah masakin makan siang buat kita semua."

"Udah tugas Bibi, sayang." ucapnya tersenyum.

"Yaudah, kalau gitu ini juga udah tugas Ecy." aku pun berusaha mengambil alih pekerjaan cuci piring ini. Tapi, lagi-lagi bibi menolak. Melarang keras diriku menyentuh piring-piring kotor ini.

"Sudah Bibi bilangin juga, biar Bibi saja mumpung lagi mau ini." ucapnya seraya mengerlingkan mata padaku.

Hmm, baiklah. Kalau memang kemauannya bibi, aku cuma pasrah aja.

"Bener nih, Bibi aja yang nyuci piring?"

"Iya."

"Yakin gak mau biarin aku aja yang nyuci piring?" tanyaku sekali lagi memastikan

"Iya Ecy, ya ampun! Perkara nyuci piring kotor juga kok di ribetin," omel bibi kesal padaku yang banyak tanya. Otomatis itu menganggu konsentrasinya mencuci piring.

"Oke deh, Bi. Makasih ya, mmuaacch." aku mengecup pipi bibi dan pergi.

Sesampai di kamar aku mendadak bingung ingin melakukan apa. "Hmm, mau ngapain ya enaknya?" gumamku bertanya-tanya sendiri.

"Ah, ke kamar Usron deh." aku pun memutuskan ke kamar Urson saat sebuah ide untuk mengerjainya terlintas.

Menyentuh dan memutar bola pintu kamar Usron, namun tak bisa di buka karena Usron menguncinya.

"Eh, tumben nih anak ngunci pintu kamarnya." aku pun merasa heran. "Ngapain sih nih anak?"

Ku ketuk-ketuk pintu kamar Usron beberapa kali sambil memanggil namanya. "Usron, buka!"

Namun tak ada respon sampai tanganku pegal sendir mengetuk pintu yang tak kunjung dibuka. Dan mulutku terasa kebas karena berulang kali memanggil namanya.

Nyebelin!

Aku pun menendang-nendang pintu kamar Usron cukup kuat, dan tanpa sadar aksi kurang ajar ku ini menarik perhatian paman yang menegurku.

"Ecy, kamu ngapain?" tanyanya dengan pandangan keheranan. "Berantem sama Usron? Sampai kamu nendang-nendang pintu kamar dia kayak gitu? aku menggeleng.

"Cuma pemanasan dari bagian akting Paman."

"Akting?"

"Iya, Ecy pikir-pikir sebaiknya ikut les akting aja. Karena Ecy cantik ya 'kan Paman? Jadi sepertinya bisa lah jadi artis," kataku memberikan alasan yang sangat omong kosong sekali.

"Ya bagus itu, Paman dukung aja apapun pilihan dan keputusan kamu. Kamu cantik, masih mudah dan juga pintar."

"Wah! Makasih Paman." ujarku riang.

Paman mengangguk, memberikan dua jempolnya untukku dan setelahnya berlalu dari hadapanku.

Huffh! Syukurlah, ia tidak tahu kalau aku tadi berniat ingin menjebolkan pintu kamar anak laki-laki semata wayangnya ini.

Aku menatap bengis penuh kebencian kamar Usron. Seakan tahu aku ingin menggangunya dia sudah siap sedia dulu mencegahnya. Huh!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status