Share

Masih pov Galuh

Saat malam tiba, aku dikejutkan dengan kedatangan Stecy ke rumahku. 

"Ada apa?" tanyaku sarkastik.

"Nih!" katanya seraya menyodorkan sebuah rantang padaku.

"Untuk saya?" tanyaku memastikan. 

Stecy mengangguk dan aku pun mengucapkan terima kasih. Namun wanita itu tak bergerak sedikitpun meski aku sudah berterima kasih. 

Dengan terpaksa aku mengulangi ucapan terima kasihku lagi, siapa tahu saja kan kalau wanita ini tidak mendengarnya tadi. 

Namun ia juga masih tak bergerak, atau dia memang tak berniat untuk pergi dari rumahku. 

Stecy dengan suara sedikit terbata pun menjelaskan bahwa dirinya di suruh bu Mutia untuk menunggu rantangnya setelah makanannya selesai ku pindahkan ke piringku.

"Baiklah, tunggu sebentar ya." ucapku yang awalnya memang tak bermaksud mengerjainya. 

Sebab aku memang tidak bohong saat mengatakan jadi lupa segalanya begitu makan masakan bu Mutia yang lezat. Itu bukan hanya sekadar pujian tapi memang beneran.

Selesai makan aku pun langsung mandi, malam ini aku mau pergi ke rumah orang tuaku. Sudah cukup lama juga aku tidak berkunjung ke sana, juga karena rindu berat yang melanda. 

Setelah merasa rapi dan cukup percaya diri aku pun hendak keluar, sesampainya di ambang pintu yang terbuka aku terkejut luar biasa. 

Masih ada Stecy yang berdiri disana, ya ampun! 

"Masih disini?" tanyaku pura-pura menatap tajam dirinya. Padahal sebenarnya aku cukup terkejut melihatnya yang begitu sabar menungguku.

Duh, aku jadi merasa kasihan padanya. Pasti dia lelah menungguku lumayan lama.

Dia mengangguk kemudian balik bertanya, "rantangnya mana?"

"Aduh!" pekik ku seraya menepuk jidatku. "Saya lupa mencucinya."

"Apa?!" dia memekik kaget. Wajahnya terlihat nelangsa sekali.

"Lah, sia-sia dong arti menunggu saya dari tadi disini?!" omelnya seraya mengacak-acak rambutnya frustasi. 

"Saya gak tahu kalau kamu nungguin, malah saya pikir kamu sudah pulang." ucapku yang memang tak menduga jika dirinya masih setia menungguku disini.

Dia menatap bengis diriku. Ah, aku pun baru ingat jika aku yang menyuruhnya tadi.

"Tidak perlu dicuci, biar saya bawa langsung saja." katanya.

Aku kembali menepuk jidatku. "Saya juga lupa memindahkan makanannya dari rantang ke piring saya."

"Jadi bagaimana?" tanyanya lirih, "apa jangan-jangan anda cuma mengerjai saya ya?" 

"Maaf, mengerjai kamu? Maksudnya?" 

"Oh, enggak kok. Bukan apa-apa, saya cuma asal bicara." katanya mengalihkan ucapannya tadi. 

"Sungguh, saya beneran lupa. Tadi begitu masuk rumah saya langsung menyantapnya lalu setelah selesai makan saya langsung mandi." ucapku sedikit terkekeh, "masakan Bu Mutia sungguh lezat. Sampai membuat saya melupakan segalanya, bahkan memindahkan makanan dari rantang ke piring saja saya lupa."

Dia mengangguk, "baiklah. Kalau gitu saya pamit pulang."

"Loh, kok pulang?" tanyaku sengaja membuatnya makin kesal.

"Iyalah, memang mau ngapain lagi saya disini?" 

"Terus soal rantangnya gimana?" tanyaku yang masih membahas soal rantang.

"Besok saja saya ambil lagi," tukasnya. 

"Oh, oke. Besok biar saya antar saja kesana."

"Ya, terserah anda lah." katanya terlihat pasrah dan masa bodo  dengan segala ucapanku.

Saat hendak pergi ia pun berbalik lagi ke arahku. "Jangan lupa sama isinya juga ya." 

Aku terbengong mendengarnya, sama isinya? 

Aku terkekeh setelah mengerti maksud dari ucapannya tadi. Oke, baiklah. Tak masalah.

Tapi, apa ucapannya yang terkejut tadi atas perintahnya bu Mutia juga gak ya?

***

Pagi-pagi sekali aku sudah heboh di dapur, membuat kue untuk di isi ke rantang bu Mutia sebagai balasan tanda terima kasih atas kebaikan dan perhatiannya kemarin. 

Berusaha membuat kue ini sepenuh hati, namun sialnya kue ini malah hampir jadi gosong. 

Hampir loh, ya! 

Dan untungnya saja rasanya tidak pahit.

Selesai menggoreng semua kuenya, aku pun mulai memasukkannya ke dalam rantang bu Mutia. Lalu segera bergegas pergi ke rumah beliau. 

Sesampainya disana aku langsung memencet bel rumahnya, bibir ku tersenyum sumringah merasa bangga diri sendiri yang karena pada akhirnya bisa menyelesaikan membuat kue ini. 

Ya, walaupun hasilnya belum maksimal. Tapi aku sudah sangat senang, dan semoga saja bu Mutia sekeluarga bisa memakluminya. 

Pintu rumah bu Mutia terbuka menampilkan sosok wanita yang tadi malam datang ke rumahku. 

"Silakan masuk," katanya tanpa mau repot-repot berbasa-basi menyapaku. 

Bahkan senyuman tak tampak menghiasi wajahnya, hanya wajah jutek yang selalu ia tunjukkan untukku.

"Aku cuma mau mengantar ini," kataku menjelaskan kedatanganku kemari seraya menyodorkan rantang. 

"Oh," tangannya terulur ingin mengambil rantang itu tapi aku malah menjauhkannya. Otomatis dia kaget dengan tindakan yang ku lakukan.

"Sudah saya isi sesuatu sesuai permintaan kamu tadi malam." ucapku.

"Waduh! Kok beneran di isi sih, saya kan cuma bercanda Pak." ucapnya basa-basi. Padahal sih senang dan penasaran sepertinya.

"Ambilah dan lihat sendiri isinya," titahku masih dengan nada suara dan ekspresi yang sama. Tegas dan datar. 

"Baiklah." 

Lagi-lagi aku menjauhkan lagi rantang yang hampir ingin dia ambil dariku. Haha. Kenapa aku jadi suka mengerjainya begini? 

"Sampaikan ucapan terima kasih saya pada Bu Mutia, Pak Mahmud dan Usron ya." Dia mengangguk dan kali ini aku benar-benar memberikan rantang padanya.

Aku pergi begitu saja dengan perasaan kesal, Stecy sama sekali tak mengucapkan terima kasih. Huh! 

Sudahlah, tak ingin memikirkan sikap wanita itu. Yang ada aku malah makin kesal. Lebih baik aku lekas sarapan dan segera pergi bekerja. 

Hari ini waktuku lumayan terkuras banyak oleh pekerjaanku yang menumpuk. Kalo hari libur waktu ku justru terbuang banyak oleh pekerjaan rumah.

Sampai-sampai nyaris tak pernah bebas menikmati waktu luang walau hanya untuk sekadar menenangkan diri sejenak. 

Tapi sebisa mungkin aku selalu berusaha meluangkan waktu untuk Miyara setiap gadis kecilku itu kemari.

Hmm, mengingat Miyara aku jadi semakin rindu. Tak sabar menunggu waktu seminggu ini habis agar Miyara segera ke rumahku. 

Memang pernah terlintas bagiku untuk mempekerjakan seorang asisten rumah tangga. Hal ini pun di dukung kuat oleh orang tuaku yang langsung mencarikan seseorang yang mau bekerja di rumahku. 

Aku sih mintanya seseorang yang sudah paruh baya saja, seperti mbok Jum yang bekerja di rumah papa dan mama. 

Karena aku gak kurang nyaman bila asisten rumah tangganya seorang wanita muda. 

Malam ini aku pergi ke rumah Usron, kebetulan aku ada perlu dengan pemuda ini. 

Aku melihat pintu rumah utamanya terbuka dan segera mendekatinya. Namun alangkah terkejutnya aku begitu mendengar suara Stecy yang tampak marah ketika bu Mutia menyuruhnya untuk mengantarkan lagi makan malam untukku. 

Bahkan Stecy menolak tegas perkataan bu Mutia yang seakan membelaku. 

Stecy terdiam dengan tubuh kaku begitu berbalik badan dan mendapati ku berdiri.

Bu Mutia juga tampak terkejut, namun ia segera menyapaku dan mempertanyakan ada keperluan apa aku datang ke rumahnya. 

Aku langsung mengutarakan maksud dan tujuanku, bu Mutia berlalu ke kamar Usron. Meninggalkan aku dan Stecy berdua. 

Wanita itu menundukkan kepalanya, tampak tak berani menatap ke arahku. Hmm, aku yakin pasti dia merasa malu sekali karena terpergok diriku yang tengah menceritai diriku sendiri. 

"Loh, Stecy, kok Pak Galuhnya gak di suruh masuk sih?" itu suara bu Mutia yang sudah kembali bersama Usron. 

"Nggak apa-apa, Bu. Saya juga mau pamit," ucapku. "Pinjam Usron-nya dulu ya Bu." godaku yang dibalas bu Mutia dengan kekehan.

Sementara Stecy masih terdiam di posisinya sembari mencuri-curi pandangan ke arahku yang tak sengaja juga tengah menatap ke arahnya. Duh!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status