Share

Emily Rose Carter

*20 tahun kemudian*

Siang itu ruang sidang begitu hening ketika jaksa penuntut umum membacakan tuntutannya terhadap terdakwa di sidang pemerkosaan seorang gadis 17 tahun.

"Bapak Hakim Yang Terhormat, setelah Jaksa Penuntut Umum mempelajari barang bukti, saksi ahli dan wawancara persidangan dengan terdakwa, saya memutuskan untuk memberikan tuntutan hukuman maksimum penjara seumur hidup kepada terdakwa," ucap Emily dengan tegas membacakan tuntutan vonis untuk terdakwa.

Pria botak bertato yang duduk di bangku terdakwa itu berlari membabi buta ke arah Emily untuk menyerangnya. Emily berkelit mundur ketika tangan penjahat itu ingin mencekik lehernya. Petugas keamanan pengadilan segera merengut tubuh penjahat itu dan menyetrumnya dengan senjata penyetrum listrik.

Ruang sidang yang hening sontak menjadi ribut karena kejadian penyerangan itu. Hakim pun mengetuk-ngetukkan palunya berusaha menenangkan ruang sidang yang kacau.

"Harap tenang!" seru Hakim tua berambut penuh uban itu seraya mengetukkan palunya.

"Tuntutan dikabulkan. Terdakwa menerima hukuman maksimum penjara seumur hidup," ujar Hakim tersebut kemudian mengetukkan palunya menandai putusan vonis pengadilan. Dia pun meninggalkan ruang persidangan yang ramai berdengung karena obrolan-obrolan di antara pengunjung persidangan.

Emily menyunggingkan senyum kemenangan. Dia merasa puas dengan vonis hakim baru saja. Bajingan pemerkosa dan pembunuh remaja itu memang pantas membusuk di penjara seumur hidup.

Dia pun berjalan ke ruang kantornya yang terletak di pojok barat lantai 2 bangunan pengadilan kota Chicago. Emily sudah menempati ruangan itu 3 tahun belakangan ini. Ratusan kasus kriminal telah dia tangani, dengan vonis terberat yang bisa dia ajukan kepada hakim.

Emily Rosalyn Carter adalah puteri tunggal dari jaksa penuntut umum legendaris di negara bagian Chicago, United States. Sosok ayahnya yang begitu melegenda di ruang sidang dengan reputasinya yang tak bercela sepanjang karirnya telah memberikan Emily Rose kemudahan menapaki tangga karirnya dengan profesi yang sama seperti ayahnya yang kini telah menikmati masa pensiunnya dengan tenang.

"Like father like daughter." Pepatah itulah yang disematkan kolega-kolega seniornya kepada Emily Rose. Profesionalisme yang dimiliki oleh Emily sama baiknya dengan ayahnya. Luar biasa malahan, dia tidak pernah memilih-milih kasus dan segera menyelesaikan setiap kasus yang mampir ke mejanya.

Para pesakitan di meja hijau selalu gentar ketika menghadapi sosok Emily Rose. Jaksa cantik itu bagaikan malaikat penunggu gerbang neraka yang siap memberikan vonis maksimum bagi mereka yang bersalah. Tetapi Emily Rose adalah malaikat pembela keadilan bagi mereka yang tertindas dan terluka.

Namun, tidak banyak yang mengetahui sisi kehidupan asmara jaksa cantik itu. Permainan cintanya yang tertutup rapat dari konsumsi publik dan paparazi. Sederet pria-pria luar biasa yang bertekuk lutut di hadapan pesona seorang Emily Rosalyn Carter. 

Bercinta adalah cara Emily untuk melepaskan tekanan beratnya persidangan, membuatnya merasakan sisi manusiawi yang lembut. Kekejaman para pelaku kriminal itu membuatnya seolah kehilangan sisi kelembutan jiwanya. Foto-foto bukti kejahatan mengoyak jiwa polosnya semenjak Emily melangkahkan kakinya ke dunia karir jaksa penuntut umum.

Sore ini Emily memiliki janji untuk berlatih satu sesi tarung bebas dengan mentornya sekaligus partner ranjangnya, Maximillian Darren Levine. 

Pria itu adalah pemilik sasana martial art besar di Chicago. Dia kadang masih menjalani pertandingan pertarungan bebas profesional atau yang biasa disingkat MMA (Mixed Martial Art).

Emily pertama kali berkenalan dengan Max Levine ketika menangani kasus tuduhan pelecehan seksual seorang wanita paruh baya. Kala itu Emily menemukan banyak kejanggalan dari bukti dan juga saksi yang ternyata telah dimanipulasi oleh wanita yang mengaku menjadi korban pelecehan seksual itu. 

Emily memutuskan bahwa Max Levine tidak bersalah. Suatu kasus yang jarang terjadi di sepanjang karirnya sebagai jaksa penuntut umum.

Sejak saat itu mereka berdua pun menjadi teman dekat. Max menawarkan dirinya untuk menjadi personal trainer bela diri Emily. Menurutnya profesi Emily adalah profesi yang rentan mengalami bahaya kekerasan dan penyerangan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan tuntutan hukum darinya.

Emily memiliki darah Latin dari mamanya yang berkewarganegaraan Puerto Rico. Rambut berwarna cokelat keemasan seperti madu murni, wajah berbentuk oval dengan tulang pipi dan rahang yang runcing. Sepasang mata berwarna hazel dengan bulu mata lentik nan lebat dan sepasang alis berbentuk bulan sabit. Hidung mungil panjang yang tidak terlalu mancung dan bibir merah muda sensual yang mengundang ciuman.

Emily membuka jubah hitam seragam persidangan yang tadi dia kenakan. Di balik seragam itu dia biasa mengenakan chiffon sleeveless blouse dan short skirt. Penampilan yang sangat seksi dan menantang di mata kaum Adam.

Pakaian itu memamerkan lekuk tubuhnya yang indah. Dadanya yang padat berisi memang tertutupi oleh longgarnya lapisan kain chiffon bermodel halter neck, tetapi mengekspose kulit lengannya yang mulus yang berwarna kecoklatan seperti caramel. Short skirtnya biasanya berwarna merah atau hitam yang membalut ketat bokongnya yang membulat penuh sepanjang setengah pahanya.

Emily tidak merasa malu berpenampilan seksi dan menantang seperti itu. Baginya sebagian besar pria akan memilih untuk berlama-lama menatap tubuh indahnya sementara otaknya sendiri dapat berpikir dengan waktu ekstra ketika berbicara dengan lawan bicaranya. Suatu pertukaran yang sepadan menurutnya.

Dalam kondisi tertentu, Emily pun selalu membawa pistol Glock 21 SF miliknya untuk berjaga-jaga di dalam tas tangannya. Pistol itu sangat nyaman dipakai untuk pengguna senjata api bertangan kecil seperti dirinya. 

Emily sering melakukan latihan menembak di tempat latihan tembak kepolisian Chicago, dia harus mengasah ketajamannya menembak untuk menjaga dirinya sendiri. Sekalipun dia memiliki 2 ajudan yang mengawalnya kemana pun. Chicago adalah kota yang keras dengan tingkat kriminalitas yang cukup tinggi.

"Tok tok tok." Pintu kantornya diketuk oleh seseorang. 

"Masuk!" seru Emily dari dalam ruangan kantornya.

Ternyata Ronald Banning yang mengetuk pintu kantornya, salah satu ajudannya yang berusia 41 tahun.

 

Pria itu telah menikah dan memiliki 2 orang anak, laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa kesempatan pria paruh baya itu telah menjaga nyawa Emily dari ancaman penyerangan. Menahan beberapa tembakan peluru nyasar dengan tubuhnya. Emily sangat menghormati dan menyayangi ajudannya itu.

"Halo Ron. Ada apa?" sapa Emily seraya tersenyum ramah.

Ronald duduk di hadapan meja Emily lalu berkata, "Apa rencanamu sore ini, Em?"

"Aku sudah membuat janji untuk menjalani sesi latihan sore bersama Maxie di sasananya. Kau bisa mengantarku lalu meninggalkanku di sana. Nanti dia akan mengantarku pulang ke apartment," jawab Emily sambil memasukkan ponsel dan buku notesnya ke dalam tas tangannya.

Ronald pun mengangguk-anggukkan kepalanya tidak mendebat Emily. Dia mengenal pria itu dengan baik. Max Levine cukup populer di kalangan pecinta MMA. 

"Ayo kita berangkat, Ron. Aku tidak ingin membuat Maxie menunggu lama," ucap Emily seraya bergegas meninggalkan ruangan kerjanya.

Jalanan kota Chicago sore itu sangat padat, mobil dengan berbagai merk berjubel di tengah kemacetan lalu lintas berjuang untuk sampai ke tempat tujuan masing-masing, bunyi klakson tak sabar bersahut-sahutan menambah hiruk pikuk jalanan.

Musim panas di kota Chicago didominasi warna merah jingga daun pohon mapel yang berguguran tertiup angin di sepanjang kanan kiri jalan raya kota. Suatu pemandangan artistik seandainya diabadikan dalam sebuah lukisan kanvas cat air. 

Emily termenung larut dalam lamunannya sambil menatap keluar dari kaca mobilnya. Seorang pria tua gelandangan berjalan melewati mobil Emily, dia melangkah gontai seolah tak memiliki energi. Emily berpikir mungkin pria tua itu belum makan entah sejak kapan.

Dia pun mengambil selembar uang 10 dolar dari dalam dompetnya lalu menurunkan kaca mobilnya. Dia memanggil pria tua itu.

"Sir!! Mendekatlah ...," seru Emily yang langsung ditanggapi oleh pria tua itu.

Pria tua itu tersenyum lebar dengan giginya yang ompong di sana sini, dia menerima selembar uang 10 dolar dari Emily. 

"Terima kasih, Nyonya! Semoga Tuhan membalas kebaikan budimu," ujar pria tua itu seraya menundukkan kepalanya.

"Kembali kasih, Tuan. Belilah makanan yang sehat," pesan Emily kemudian menutup kembali kaca jendelanya seiring dengan laju mobil itu kembali terurai dari kemacetan lalu lintas kota Chicago sore itu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status