Share

Crazy Intention Senator's Son

Seperti yang dikatakan Henry Crawford tadi siang, orang suruhannya menjemput Emily di apartment wanita itu. Bahkan tepat di depan pintu unitnya.

Hal itu membuat Emily sedikit banyak merasa ngeri. Pria yang akan berkencan dengannya malam ini bukanlah pria sembarangan. Dia tidak takut karena dia yakin pria itu jauh lebih menginginkan bercinta dengannya dibanding menghilangkan nyawanya.

Mereka pernah memiliki hubungan sebagai sepasang kekasih selama beberapa tahun. Tetapi, kesibukan Henry sebagai calon senator berikutnya menggantikan ayahnya yang menjabat sebagai senator saat inilah yang membuat mereka berdua mengambil jalan yang berlawanan arah.

Namun, Emily tidak pernah ambil pusing dengan hal itu. Ketika terlalu banyak pilihan pria untuk berbagi sisi romantisme bersamanya. Dia tidak mencari dan tidak menawarkan dirinya seperti seorang pelacur. Pria-pria itu yang mendekatinya, mengejar perhatiannya yang mahal dari waktunya yang berharga.

"Nona Emily, silakan ikut saya ke mobil. Tuan Crawford sudah menantikan kehadiran Anda." Pria yang memakai setelan jas hitam itu mengawal Emily menuju limosine di depan pintu lobi apartmentnya.

Emily mengenakan gaun sutera merah dengan belahan punggung rendah berkerah halterneck yang memperlihatkan sebagian belahan dadanya. Gaun itu sepanjang mata kakinya dengan belahan setinggi setengah pahanya. Penampilannya anggun dan seksi, membuat semua mata yang menatapnya tak berkedip ketika dia melenggang melewati lobi apartmentnya.

Dia naik ke dalam limosine itu sendirian. Pria suruhan Hendry duduk di samping kursi pengemudi.

Mobil itu pun melaju membelah keramaian lalu lintas. Emily menatap lampu-lampu kota Chicago yang sudah dinyalakan menerangi kegelapan malam. Dia pun teringat akan ayahnya, sudah hampir sebulan dia tidak memberi kabar pada ayahnya. Kesibukan persidangan yang jadwalnya sangat padat membuatnya terlupa pada keluarga satu-satunya yang tersisa di dunia ini.

Mama Emily sudah berpulang mendahului mereka 2 tahun yang lalu karena penyakit kanker darah yang sudah mencapai stadium 4. Baik Emily maupun Jaksa Lincoln, ayahnya, sudah merelakan kepergian wanita yang sangat mereka kasihi itu. Mereka tak tega melihat penderitaan yang terkasih karena penyakit yang menggerogoti tubuhnya.

Setelah 30 menit perjalanan, Emily pun tiba di salah satu gedung pencakar langit di kota Chicago. Dia turun dari limosine dan langsung menuju ke lift. Emily menekan tombol angka 50, lantai tempat penthouse Henry Crawford berada.

Ketika pintu lift terbuka, pria tampan itu berdiri di hadapannya. Emily pun tertawa renyah, dia merasa tersanjung Henry menjemputnya hingga pintu lift. Mungkin pengawalnya yang telah memberitahukan kedatangannya pada tuannya itu.

"Selamat malam, Cantik. Kau begitu memukau malam ini. Aku tak sabar untuk menikmati malam panjang ini bersamamu," ujar Hendry Crawford seraya mengulurkan tangan kanannya ke hadapan Emily seperti seorang gentlemen. Dia memakai setelan jas warna hitam dengan dalaman kemeja abu-abu tua tanpa dasi.

"Selamat malam, Henry. Kau sangat tampan malam ini. Apa kita benar-benar hanya akan makan malam di penthouse-mu? Kau rapi sekali ...," balas Emily sembari melangkah bersisian dengan pria itu menuju penthouse yang super mewah itu. 

Di lantai 50 yang merupakan lantai teratas dari gedung pencakar langit itu, hanya ada 2 penthouse. Yang satu milik Henry Crawford dan satunya dia tidak tahu milik siapa karena belum pernah berpapasan dengan sang empunya penthouse super mewah itu, yang jelas pasti orang super kaya juga.

"Kita hanya akan berada di penthouse-ku. Aku tidak ingin berbagi pemandangan indah tubuhmu dengan orang lain." Hendry membuka pintu penthouse-nya mempersilakan Emily untuk masuk kemudian menutupnya lagi.

Mereka berjalan bergandengan tangan menuju ke meja makan dimana sudah tersaji begitu banyak menu makan malam mewah masakan chef. Seorang pramusaji berdiri di samping meja makan untuk melayani acara makan malam mereka berdua, sebuah romantic dinner.

Emily hanya tersenyum menatap Henry ketika mereka sudah duduk bersisian di meja makan bundar itu.

"Kita mulai saja makan malamnya, Emily Sayang. Tolong tuangkan champagne-nya, Bernie!" ucap Henry dengan elegan.

Mereka berdua pun mendentingkan gelas dan mengatakan 'cheers'. Dengan penuh perhatian, Henry mengambilkan menu appetizer ke piring Emily, sebuah canape udang alpokat dengan keju.

"Masakan chef ini sungguh lezat, Henry," puji Emily setelah menghabiskan canape itu.

"Ya, dia memang rising star chef, apa kau pernah mendengar namanya ... Chef Olaf Loubotin. Dia kenalanku, pria yang sangat baik dan sangat berbakat di bidang kuliner," ujar Henry menceritakan chef yang menyiapkan makan malam mereka berdua. 

"Biarkan aku mengambil makananku sendiri, Henry. Aku tak ingin merepotkanmu untuk melayaniku terus-menerus," sergah Emily ketika Henry akan mengambilkannya menu main course.

"Baiklah, silakan saja, Em. Jangan sungkan ya," balas Henry menyeringai geli.

Emily pun mengambil sepotong lamb chop panggang dengan mashed potato dan sauted vegetables. Ternyata rasanya enak sekali, dia akan mengingat nama chef tadi, Chef Olaf Loubotin. Nanti dia akan meminta nomor kontaknya pada Henry bila suatu hari dia ingin makan malam bersama ayahnya.

Seusai makan malam, Henry menyuruh pramusaji itu meninggalkan mereka berdua. Dia mengajak Emily duduk di sofa sambil menonton televisi yang menyiarkan acara berita dalam negeri. Wajar karena dia harus selalu update dengan berita sosial politik sebagai calon senator berikutnya.

"Em, bolehkah aku bertanya sesuatu yang agak serius?" tanya Henry sambil merengkuh tubuh ramping Emily di sisinya saat mereka duduk di sofa.

"Tanyakan saja, Henry."

"Apa kau mau menerimaku seandainya aku melamarmu untuk menjadi istriku?" ucap Henry dengan suara baritonnya yang merdu.

Emily sontak menoleh terkejut dengan pertanyaan Henry. Dia terperangah seakan tak percaya dengan apa yang dia dengar.

"Apa aku tidak salah dengar, Henry? Kau ingin melamarku menjadi istrimu?" ulang Emily.

Hendry merapikan rambut cokelat panjang bergelombang milik Emily ke sisi kiri wajahnya lalu mengecup ceruk leher wanita itu yang beraroma parfum mahal.

"Kau tidak salah dengar, Em. Aku serius."

Dengan perlahan Emily beringsut menjauh dari tubuh Henry. "Aku tak bisa menerima lamaranmu, Henry. Maafkan aku ...," jawab Emily dengan raut wajah datar. Dia sangat menyukai kebebasannya, menikah berarti terikat pada satu pria seumur hidupnya. Padahal dia mudah bosan. Bercerai tak semudah yang dipikirkan orang dan bukan solusi bila suatu ketika dia bosan.

Hendry memajukan tubuhnya hingga berada di atas tubuh Emily yang terbaring di sofa karena terdesak ke belakang. Dia membelai wajah Emily dengan punggung tangannya. "Kenapa tidak bisa? Aku sanggup memuaskanmu di ranjang, Cantik. Status kita di masyarakat pun sepadan, tentu akan menjadi pasangan idaman. Kau cantik dan cerdas serta berkarir gemilang sebagai jaksa, sedangkan aku pria tampan dan berkuasa, calon senator berikutnya. Apa lagi yang membuatmu ragu?"

Bibir Henry menyusuri garis rahang Emily lalu turun ke lehernya yang jenjang dan terus turun hingga gundukan kembar yang membulat penuh di dada wanita itu. 

Sentuhan itu memang membuat Emily sedikit melayang rasanya. Namun, dia tidak ingin memiliki suami dalam waktu dekat. Dia memutuskan untuk bersikap elegan, tidak ada gunanya menjawab tawaran Henry dengan frontal. Itu akan membuatnya mengalami kesulitan di masa depan, pikir Emily.

"Henry ... bisakah kita membicarakannya nanti saja. Aku ingin menikmati malam indah ini bersamamu. Apa boleh?" rayu Emily berkelit.

Pria itu tentunya tidak dapat menolak permintaan Emily yang serasa melambungkan angannya. Wanita yang mempesona mengajaknya bercinta, apa dia akan melewatkan kesempatan seperti ini begitu saja, pikirnya.

Henry pun menggendong tubuh Emily yang ramping ke ranjangnya. Dia akan memastikan wanita itu puas dan menerima lamaran pernikahannya.

Dia melepaskan setelan jas dan kemajanya hingga seluruh tubuhnya polos sembari menatap  Emily yang sedang tersenyum menunggunya di atas ranjang. Seingatnya Emily adalah partner ranjang yang aktif dan menyenangkan, bukan tipe wanita pemalu dan sangat berpengalaman memperlakukan seorang pria yang bergairah.

Emily pun membiarkan tangan Henry menelusuri tubuhnya dan melepaskan gaun merahnya yang menantang itu. Tangannya pun menyentuh tubuh Henry dengan belaian lembut dari belakang kepala pria itu turun ke leher lalu dada dan perut Henry yang berotot naik dan turun dengan menggoda. Menatap mata biru pria itu sembari tersenyum menggoda. Mereka berpagutan bibir dengan lapar, menautkan lidah satu sama lain sembari saling menyentuh menggoda satu sama lain. 

Henry membawa tangan Emily untuk menyentuh bukti gairahnya yang begitu kuat dan siap untuk membawanya ke puncak keindahan percintaan mereka malam ini. Dia mendesis merasakan sentuhan tangan Emily yang begitu lembut dan berpengalaman. Dia merasa tak tahan lagi untuk menyatukan asa yang ada. Maka dia pun melebarkan paha Emily dengan lututnya dan memposisikan miliknya di liang cinta wanita itu.

"Emily ... apa kau siap?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status