Sidang kedua kasus Crawford pagi itu dimulai dengan sesi pemaparan barang bukti berupa rekaman pembicaraan telepon antara Gordon Crawford dengan Douglas Archer yang isinya tak lain adalah perintah melenyapkan nyawa Cecilia Sommerhalder yang memberikan ancaman bagi karier Henry Crawford, puteranya yang akan maju di bursa pemilihan senator periode selanjutnya."Bisa dipastikan bahwa Tuan Douglas Archer statusnya masih buronan kepolisian Chicago atas tuduhan pembunuhan terhadap Cecilia Sommerhalder dan dua orang pria di toilet sebuah bar yang berlokasi di tengah kota Chicago," ujar Emily dengan jelas dan lugas.Selanjutnya rekaman pembicaraan telepon Gordon Crawford kembali diperdengarkan kali ini kepada Kapten Ryan Falderson yang menyuruh perwira tinggi kepolisian Chicago itu agar melenyapkan barang bukti di kantor Letnan Benjamin Roosevelt. Kemudian disusul dengan rekaman percakapan dengan Brent dan Louis untuk menembak mati Ronald Banning dan Thomas Simpson, dua mendiang ajudan Emily
"Apa kau baik-baik saja, Emily?!" tanya Murat sembari memeriksa kondisi tubuh Emily yang baru saja menjadi sasaran tembak pria yang kemungkinan seorang pembunuh bayaran suruhan keluarga Crawford.Emily merasa jantungnya berdetak kencang, tetapi dia tidak terluka sedikit pun. "Aku baik-baik saja, Murat. Sungguh berbahaya kejadian barusan, untung saja pria tadi meleset membidikkan pistolnya karena jarak yang agak jauh. Kalau tidak mungkin aku sudah tewas," jawab Emily sambil bangkit dari lantai. Mereka melihat pria yang mencoba menembak Emily tadi digelandang keluar meninggalkan ruang sidang oleh Sersan Rodney. Kemudian Emily menoleh ke arah kursi tempat Henry Crawford duduk bersama tim pengacara mahalnya. Pria jahat itu tersenyum mengejek kepada Emily, seolah ia tahu bahwa pembunuh tadi sengaja dikirim. Henry pun berkata tanpa suara dengan gerakan bibirnya ke arah Emily, "Matilah kau, Emily!"Tidak hanya Emily yang melihat hal itu, Murat yang berdiri di sebelahnya pun mengetahuinya.
Masakan chef restoran Perancis memang lezat seperti yang dikatakan oleh Rayden, sesuai dengan pujian berharga yang keluar dari mulut pria yang begitu dominan itu.Emily menghabiskan 3 gelas red wine Portugis yang bercita rasa manis itu, sedikit pahit tapi dia mentolerirnya dengan baik. Alkohol mulai bercampur di dalam aliran darahnya. Tubuhnya terasa ringan hingga ia sulit menyangga kepalanya tetap tegak. Perasaannya ringan dan pandangannya kabur, Emily duduk berhadapan dengan Rayden di meja restoran Perancis itu. Tangannya kanan kiri menyangga dagunya."Emily, kau mabuk. Ayo kita pulang!" ajak Rayden sembari tersenyum menatap wajah kekasihnya yang merah seperti tomat masak.Senyum lebar tersungging di bibir Emily, dia tampak konyol dan pemandangan itu tak biasa bagi Rayden. Emily menjawab, "Ray, kepalaku pusing. Bantu aku berjalan ke mobil—"Dengan segera pria itu bangkit dari kursinya lalu merangkul tubuh Emily untuk meninggalkan restoran. Karena langkah wanita itu sempoyongan maka
"Bienvenue à Paris!" Sambutan selamat datang di Paris itu terdengar sayup-sayup di telinga Emily yang sudah berjam-jam hilang kesadaran. Perlahan kedua mata hazelnya terbuka, ia menatap sekelilingnya dan menyadari bahwa saat ini ia sedang berada di dalam sebuah mobil sedan."Sudah bangun, Sayangku?" sapa Rayden ringan merengkuh tubuh Emily ke dalam pelukan eratnya.Emily segera bertanya, "Dimana kita berada, Ray?""Paris." Rayden menjawab singkat nama kota dimana mereka sedang berada saat ini. Mobil pribadinya yang dikemudikan oleh sopir melaju dengan kecepatan stabil melalui jalanan lengang kota Paris. Hari masih terlalu pagi untuk beraktivitas, penduduk salah satu kota terpadat di dunia itu masih lelap dalam alam mimpi."APA?! Katakan ini tidak benar, Ray—ohh sialan!" Reaksi keras dari Emily disertai respon wanita itu menjauhkan dirinya dari pelukan Rayden membuat pria berdarah Perancis itu tertawa satir."Aku serius, Em. Kita naik private jet dari Chicago dan baru saja mendarat d
Seperti hari-hari biasa, Murat berangkat lebih awal dengan penuh semangat ke balai kota Chicago. Dia berpikir bahwa Emily pun akan berangkat pagi karena ada sidang lanjutan kasus Crawford pukul 09.00.Namun, Murat mulai gelisah ketika jaksa wanita itu tidak juga muncul di kantornya sementara ponselnya tidak aktif. Sungguh aneh karena sidang hari ini sangat penting. Emily tidak boleh absen dari persidangan satu kali pun. Posisinya tidak dapat digantikan oleh orang lain sebagai jaksa penuntut umum.Setelah waktu menunjukkan pukul 08.50, Murat pun terpaksa melangkah sendiri menuju ke ruang sidang yang dipadati oleh wartawan berbagai media di depan pintu. Dia masuk sendirian lalu duduk di tempat yang disediakan untuk jaksa dan asistennya, tanpa kehadiran Emily di sisinya.Melihat kejanggalan itu Letnan Benjamin Roosevelt dan Sersan Rodney Bradford pun mendekati mejanya. Kali ini Letnan Ben yang menanyai Murat terlebih dahulu, "Dimana Emily? Kenapa belum hadir di ruang sidang, Murat?"Mura
"Ya, Emily memang berada di Paris. Alamat kediaman Da Busche sudah kutemukan juga melalui data lintas negara yang hanya bisa diakses oleh pejabat tinggi kepolisian. Ayo kita terbang ke Perancis, Murat, Rodney!" tutur Letnan Benjamin Roosevelt bangkit berdiri dari balik meja kerja kantornya."Apa kita akan naik pesawat komersil ke Paris, Letnan?" tanya Murat karena memang rencana penerbangan itu sangat mendadak.Sembari menyusuri koridor markas kepolisian Chicago menuju ke lift, Letnan Benjamin menjawab, "Iya, penerbangan malam ini juga. Kita tak perlu membawa barang apa pun, Murat. Setelah menemukan Emily di Paris, kita langsung terbang kembali ke Chicago.""Baiklah, aku mengerti." Murat pun mengikuti dua petugas polisi itu dengan mobil Honda CRV miliknya yang akan dititipkan di parkiran bandara. Kebetulan surat identitas miliknya ada di tas kerjanya sehingga tak perlu mengambilnya di apartment untuk keperluan check in tiket pesawat.Pukul 19.00 waktu Chicago, ketiga pria tersebut ter
"Buka pintu yang ini atau terpaksa kami dobrak, Mister Dabusche!" seru Murat penuh tekad. Dia amat yakin kalau wanita yang dicintainya itu ada di balik pintu yang dikunci tersebut.Rayden mendengkus kesal, dia enggan membukanya karena memang ada Emily Carter di dalam sana. "Tidak. Itu kamar khusus yang tidak boleh dimasuki sembarang orang. Ada harta berhargaku di dalamnya!" kelit pria itu bersedekap menatap Murat yang mengerutkan alisnya tak ingin mundur.Letnan Benjamin Roosevelt menengahi perdebatan tersebut. "Anda sudah dengar sendiri surat perintah dari Kepolisian Kota Paris. Semua ruangan di rumah ini harus digeledah. Buka!" Namun, Rayden menggelengkan kepalanya. Dia justru mundur menuju ke arah tangga untuk turun. Melihat reaksi penolakan pria itu, Letnan Benjamin dan Murat saling bertukar pandang. Mereka berdua bersama Sersan Rodney mengambil ancang-ancang lalu mendobrak pintu yang tertutup rapat itu dengan kompak."BRAKKK!""BRAKKK!""BRAKKKK!"Engsel pintu pun berhasil dirus
"Emily ... syukurlah kau akhirnya siuman!" ucap Murat dengan sepasang mata merahnya yang kelelahan kurang tidur sejak kemarin.Pria berkebangsaan Turki itu membelai pipi dingin Emily dengan telapak tangannya yang hangat. Dia menunggu wanita yang dicintainya itu di ruang perawatan pasien VIP semalaman. "Murat, kau pasti kelelahan. Apa kita masih berada di Paris?" balas Emily dengan senyum lemahnya. Dia baru saja terbangun dari tidur lelapnya akibat efek samping pengobatannya. Sinar mentari pagi menyusup dari balik tirai putih tipis yang menutupi jendela kamar itu. Emily menduga-duga bahwa hari telah pagi atau mungkin menuju siang. Dia memikirkan persidangan kasus hukum ayah dan anak Crawford."Kita masih di Paris, Emily. Rencananya petang hari ini kita akan terbang bersama Letnan Ben dan Sersan Rodney kembali ke Chicago. Jadi kuatkan dirimu untuk perjalanan udara yang cukup jauh nanti!" jawab Murat memberi tahukan rencana mereka kepada Emily."Kau sebaiknya juga beristirahat yang cuk