Seperti hari-hari biasa, Murat berangkat lebih awal dengan penuh semangat ke balai kota Chicago. Dia berpikir bahwa Emily pun akan berangkat pagi karena ada sidang lanjutan kasus Crawford pukul 09.00.Namun, Murat mulai gelisah ketika jaksa wanita itu tidak juga muncul di kantornya sementara ponselnya tidak aktif. Sungguh aneh karena sidang hari ini sangat penting. Emily tidak boleh absen dari persidangan satu kali pun. Posisinya tidak dapat digantikan oleh orang lain sebagai jaksa penuntut umum.Setelah waktu menunjukkan pukul 08.50, Murat pun terpaksa melangkah sendiri menuju ke ruang sidang yang dipadati oleh wartawan berbagai media di depan pintu. Dia masuk sendirian lalu duduk di tempat yang disediakan untuk jaksa dan asistennya, tanpa kehadiran Emily di sisinya.Melihat kejanggalan itu Letnan Benjamin Roosevelt dan Sersan Rodney Bradford pun mendekati mejanya. Kali ini Letnan Ben yang menanyai Murat terlebih dahulu, "Dimana Emily? Kenapa belum hadir di ruang sidang, Murat?"Mura
"Ya, Emily memang berada di Paris. Alamat kediaman Da Busche sudah kutemukan juga melalui data lintas negara yang hanya bisa diakses oleh pejabat tinggi kepolisian. Ayo kita terbang ke Perancis, Murat, Rodney!" tutur Letnan Benjamin Roosevelt bangkit berdiri dari balik meja kerja kantornya."Apa kita akan naik pesawat komersil ke Paris, Letnan?" tanya Murat karena memang rencana penerbangan itu sangat mendadak.Sembari menyusuri koridor markas kepolisian Chicago menuju ke lift, Letnan Benjamin menjawab, "Iya, penerbangan malam ini juga. Kita tak perlu membawa barang apa pun, Murat. Setelah menemukan Emily di Paris, kita langsung terbang kembali ke Chicago.""Baiklah, aku mengerti." Murat pun mengikuti dua petugas polisi itu dengan mobil Honda CRV miliknya yang akan dititipkan di parkiran bandara. Kebetulan surat identitas miliknya ada di tas kerjanya sehingga tak perlu mengambilnya di apartment untuk keperluan check in tiket pesawat.Pukul 19.00 waktu Chicago, ketiga pria tersebut ter
"Buka pintu yang ini atau terpaksa kami dobrak, Mister Dabusche!" seru Murat penuh tekad. Dia amat yakin kalau wanita yang dicintainya itu ada di balik pintu yang dikunci tersebut.Rayden mendengkus kesal, dia enggan membukanya karena memang ada Emily Carter di dalam sana. "Tidak. Itu kamar khusus yang tidak boleh dimasuki sembarang orang. Ada harta berhargaku di dalamnya!" kelit pria itu bersedekap menatap Murat yang mengerutkan alisnya tak ingin mundur.Letnan Benjamin Roosevelt menengahi perdebatan tersebut. "Anda sudah dengar sendiri surat perintah dari Kepolisian Kota Paris. Semua ruangan di rumah ini harus digeledah. Buka!" Namun, Rayden menggelengkan kepalanya. Dia justru mundur menuju ke arah tangga untuk turun. Melihat reaksi penolakan pria itu, Letnan Benjamin dan Murat saling bertukar pandang. Mereka berdua bersama Sersan Rodney mengambil ancang-ancang lalu mendobrak pintu yang tertutup rapat itu dengan kompak."BRAKKK!""BRAKKK!""BRAKKKK!"Engsel pintu pun berhasil dirus
"Emily ... syukurlah kau akhirnya siuman!" ucap Murat dengan sepasang mata merahnya yang kelelahan kurang tidur sejak kemarin.Pria berkebangsaan Turki itu membelai pipi dingin Emily dengan telapak tangannya yang hangat. Dia menunggu wanita yang dicintainya itu di ruang perawatan pasien VIP semalaman. "Murat, kau pasti kelelahan. Apa kita masih berada di Paris?" balas Emily dengan senyum lemahnya. Dia baru saja terbangun dari tidur lelapnya akibat efek samping pengobatannya. Sinar mentari pagi menyusup dari balik tirai putih tipis yang menutupi jendela kamar itu. Emily menduga-duga bahwa hari telah pagi atau mungkin menuju siang. Dia memikirkan persidangan kasus hukum ayah dan anak Crawford."Kita masih di Paris, Emily. Rencananya petang hari ini kita akan terbang bersama Letnan Ben dan Sersan Rodney kembali ke Chicago. Jadi kuatkan dirimu untuk perjalanan udara yang cukup jauh nanti!" jawab Murat memberi tahukan rencana mereka kepada Emily."Kau sebaiknya juga beristirahat yang cuk
Lampu blitz kamera wartawan menyerbu tanpa ampun sosok Jaksa Emily Rosalyn Carter yang melangkah menuju ke ruang persidangan kasus Crawford. Perekam suara dan microfon disodorkan ke wajah wanita yang memasang tampang dingin melenggang tanpa memedulikan hiruk pikuk tersebut."Semua peserta persidangan harap berdiri!" seru petugas ruang sidang ketika Yang Mulia Hakim Malcom memasuki ruangan yang penuh sesak pengunjung. Tiga ketokan palu di meja hakim memulai segala ketegangan yang telah dinantikan oleh sebagian besar warga negeri Paman Sam tersebut. "Silakan saksi dari pihak penuntut untuk dihadirkan dalam persidangan!" ujar Hakim Malcom.Petugas negara berseragam serba hitam mengantarkan saksi Brenda Lindsey Hewitt terlebih dahulu ke kursi saksi. Perempuan muda tersebut akan bersaksi untuk kasus pelecehan yang dilakukan Henry Crawford.Dengan langkah tegap Emily menghampiri bilik saksi lalu menyapa Brenda sebelum menanyakan pertanyaan penting yang akan memberatkan Henry Crawford. "Bre
"TOK TOK TOK." Suara berat palu hakim yang diketok ke kayu terdengar dan membuat seisi ruang sidang menjadi hening."Kita akan memulai untuk mendengarkan pernyataan saksi dari kasus pembunuhan beberapa korban yang didalangi oleh Mister Gordon Crawford!" ujar Hakim Malcom yang berperawakan kurus dengan rambut beruban menipis dan kaca mata berbingkai tebal. Beliau hanya perlu menyelesaikan setahun terakhirnya sebelum memasuki masa pensiun sebagai seorang hakim yang berdinas di Chicago, negara bagian Illinois.Maka Emily pun bangkit berdiri seraya berkata, "Kami memanggil saksi sekaligus tersangka kaki tangan Mister Gordon Crawford yaitu Louis Harison untuk duduk ke kursi saksi."Seorang pria berambut pirang yang tadinya adalah perwira madya kepolisian Chicago dan kini dicopot segala jabatan dan wewenangnya itu duduk di bilik saksi. Emily berdiri di hadapannya dengan tatapan dingin yang tajam usai mendengarkan sumpah Louis Harison untuk memberikan kesaksian sejujurnya di pengadilan."Sir
"Damian, kurasa kita tak akan kesulitan untuk meraih vonis tak bersalah di persidangan mendatang!" ujar Senator Crawford yang sedang dinonaktifkan jabatannya di ruang kunjung tahanan sementara.Pengacara kepercayaannya, Damian Lockheart membenarkan ucapan congkak pria tersebut. Dia memang merasa posisinya di atas angin pasca kesaksian Brent dan Louis yang meringankan posisi kliennya tadi."Tak ada salahnya berharap tak akan ada lagi bukti atau saksi tambahan yang pihak jaksa penuntut umum dapatkan!" sahut Damian disertai kekehan senang.Kemudian Senator Crawford pun diam-diam menerima ponsel berukuran mini dari balik telapak tangan pengacaranya saat mereka bersalaman. "Thanks, Damian. Ini yang kubutuhkan. Kau boleh pergi sekarang!" ujar pria tersebut sebelum petugas polisi menjemputnya kembali ke sel tahanan sementara sebelum resmi menjadi narapidana di penjara negara bagian Illinois.Di sebuah bar berpencahayaan remang-remang, Douglas Archer sedang menikmati segelas bir Carlsberg sam
"Emily, bukti yang dikirim ke alamat emailmu ini sangat penting. Apakah kita bisa menggunakannya dengan keterangan anonim di persidangan?" ujar Murat dengan bimbang usai memeriksa file-file yang dilampirkan di email jaksa cantik itu.Sambil membaca ulang isi percakapan sang senator dengan seorang pria yang dipanggil Doug oleh Gordon Crawford tersebut, dia menyimpulkan sesuatu. "Murat, pria ini adalah pelaku pembunuh Cecilia Sommerhalder. Gambar tangkap layar ini pasti dibuat sendiri oleh pria tersebut," tutur Emily. Dia merasa harus mendiskusikan hal ini dengan Hakim Malcom dan Letnan Benjamin Roosevelt besok pagi."Sepertinya kau benar, Emily. Apa kau ingin membalas email ini dan meminta janji temu dengan pria itu?" tanya Murat dengan risau sembari menatap wajah lelah Emily di mana bayangan hitam nampak jelas di bawah sepasang mata indahnya yang berwarna hazel."Aku akan berkonsultasi terlebih dahulu dengan Letnan Ben dan Hakim Malcom. Kemungkinan besar bukti yang kuterima ini cukup