Share

BAB 3

Kenapa? Itulah pertanyaan yang ada di benakku saat ini. Kenapa harus istriku yang mengalami ini? Aku seorang Dokter Kandungan yang setiap hari memeriksa puluhan orang hamil dan membantu belasan orang melahirkan, tapi kenapa aku tidak bisa menyelamatkan istriku sendiri?

Aku merasa menjadi dokter yang tidak berguna. Percuma aku menjadi Dokter Kandungan kalau tidak bisa menyelamatkan istriku sendiri.

Nasi sudah menjadi bubur. Istriku sudah pergi untuk selama-lamanya. Meskipun aku seorang dokter, tetap saja aku tidak bisa menghidupkan orang yang sudah meninggal. Yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah mengikhlaskannya agar dia tenang di alam sana.

‘Maafkan aku, Sayang,’ gumamku dalam hati sambil menatap wajah istriku yang semakin pucat.

Pergantian shift pun berlalu. Aku masih termenung meratapi kepergian istriku. Rasanya aku masih belum percaya ia pergi secepat ini. Biasanya ia akan tersenyum hangat padaku ketika aku pulang dari rumah sakit. Kini ia sudah pergi untuk selamanya.

Aku pun merasa haus karena sedari tadi belum minum atau makan apa pun. Kulihat semua orang tengah sibuk mengurus jenazah istriku. Hingga akhirnya tatapanku tertuju pada seorang bidan muda sedang menulis laporan. Aku pun menghampirinya dan menepuk bahunya.

“A-ada yang bisa saya bantu, Dok?” tanyanya padaku. Tampak sekali kalau ia sangat terkejut.

“Tolong belikan saya teh hangat di kantin!” pintaku dengan lirih seraya menyerahkan uang dua puluh ribu padanya. Gadis itu pun setuju dan pergi ke kantin.

Tidak berapa lama kemudian gadis itu kembali dari kantin. “Ini pesanannya, Dok,” katanya seraya menaruh nampan berisi satu gelas teh dan beberapa roti di atas meja yang ada di depanku.

“Aku tidak memesan roti,” ujarku ketika melihat roti di samping teh itu. Karena sudah merasa sangat haus, aku pun meraih gelas berisi teh hangat itu dan meminumnya.

“Iya saya tahu, Dok, tapi Dokter juga harus makan. Anak Dokter membutuhkan Papanya. Jadi, Dokter juga harus punya tenaga untuk merawat dan menjaganya,” tuturnya padaku.

Aku pun menatapnya. Aku bisa melihat ketulusannya. “Terima kasih,” ucapku padanya kemudian.

“Sama-sama, Dok. Kalau begitu saya permisi,” pamitnya.

“Tunggu!” ujarku tiba-tiba menghentikan langkah kakinya.

Gadis itu pun berbalik dan menatapku. “Iya, Dok!” sahutnya.

“Ikut saya ke ruang Perinatologi!” ajakku. Tiba-tiba aku ingin melihat anakku dan mengajak gadis itu.

Sesampainya di ruang Perinatalogi, aku mencuci tangan di wastafel sebelum menyentuh anakku.

Setelah mencuci tangan, aku mendekati ranjang di mana anakku berada. Aku menatapnya lalu mengangkat tubuhnya dan mendekapnya di dadaku. Dia sangat tampan. Andai istriku masih hidup, mungkin ia akan sangat bahagia saat ini. Lagi-lagi dadaku terasa sesak saat mengingat almarhumah istriku yang baru saja meninggal dunia beberapa jam yang lalu. Air mataku pun tak bisa terbendung lagi.

Setelah menidurkan bayiku dan mengusap air mataku, aku pun menatap gadis itu. Tiba-tiba terbesit di pikiranku meminta gadis itu untuk menjadi pengasuh anakku.

Untungnya dia langsung setuju setelah aku menawarkan gaji yang lebih besar dari gajinya di rumah sakit. Bagaimana pun aku harus tetap bekerja untuk menghidupi dan membahagiakan anakku. Karena istriku sudah tiada, mau tidak mau aku harus memperkerjakan seorang pengasuh. Aku rasa dia orang yang tepat karena terlihat belum menikah. Jadi ia bisa fokus mengurus anakku tanpa harus mengurus suami dan anaknya di rumah.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Yah elah dia jg kotor lg keles hbs nyetir
goodnovel comment avatar
dwi nurhayati
mb sifa ngikut
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status