“Terima kasih,” balas Dokter Ardian datar.
“Kalau butuh teman atau apa, Kak Ardian bisa menghubungi aku. Aku akan selalu ada untuk Kakak,” ujar Widia seraya menatap sinis pada Citra.Citra yang ditatap seperti itu tentu saja merasa takut dan segera menundukkan kepalanya.Dokter Ardian tidak menanggapinya dan berlalu pergi. Citra pun mengikuti ke mana Dokter Ardian pergi.Widia merasa dongkol karena Dokter Ardian tidak menyambutnya dengan hangat. Sedari dulu ia sudah mengincar Dokter Ardian, tapi sayangnya Dokter Ardian lebih memilih Nadia dari pada dirinya.“Sebentar lagi aku akan mendapatkanmu Ardian Raditya!” gumam Widia dengan percaya diri dan tersenyum miring.Sementara itu Dokter Ardian masuk ke dalam sebuah kamar di lantai dua. Kamar itu sangat luas dan sudah didesain seperti kamar anak-anak. Di dalam kamar itu terdapat tempat tidur besar, box bayi, mainan, dan semua keperluan bayi ada di dalam kamar itu. Dokter Ardian dan istrinya sudah jauh-jauh hari mempersiapkan kamar itu untuk menyambut kelahiran buah hati mereka.“Ini kamarmu. Semua keperluan bayi sudah tersedia,” tutur Dokter Ardian setelah menidurkan bayinya pada box bayi.“Baik, Dok!” balas Citra patuh.“Kalau ada yang kurang, kamu bisa bilang pada saya. Dan kalau kamu butuh sesuatu atau apa saat saya tidak ada, kamu bisa minta pada Bik Yati di dapur,” lanjut Dokter Ardian lalu pergi dan menutup pintu kamar Citra.Usai Dokter Ardian menutup pintu, mata Citra pun memindai sekeliling kamar itu. Kamar itu lebih besar dari pada kamar kos Citra. Setelah itu Citra merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur.“Hm … nyaman sekali,” gumam Citra seraya membelai kasurnya.***Malam hariSemua tamu, tetangga, dan keluarga sudah pulang setelah pengajian pembacaan tahlil dan surat Yasin di rumah Dokter Ardian. Dokter Ardian masuk ke dalam kamarnya dan duduk di tepi tempat tidurnya. Kemudian ia meraih foto mendiang istrinya yang ada di atas nakas.“Kenapa kamu pergi secepat ini?” gumam Dokter Ardian seraya membelai foto mendiang istrinya yang tengah tersenyum.Kenangan saat mereka pertama kali bertemu pun melintas kembali di ingatan Dokter Ardian. Saat itu Nadia dan Widia tengah berjalan di pinggir jalan seusai jalan-jalan pagi pada hari Minggu.Tiba-tiba ada sebuah sepeda motor yang melaju dengan sangat kencang dan menyerempet mereka. Kebetulan Nadia berada di sebelah kanan. Hingga akhirnya Nadia pun terjatuh. Dokter Ardian yang melihat kejadian itu segera menghampiri mereka dan menolongnya.“Kamu tidak apa-apa?” tanya Dokter Ardian seraya membantu Nadia berdiri.“Tidak apa-apa. Terima kasih,” balas Nadia seraya mendesis karena merasakan perih pada sikunya.“Siku kamu berdarah,” ucap dokter Ardian ketika melihat siku Nadia terluka.“Tidak apa-apa. Hanya lecet sedikit,” sahut Nadia dengan meringis menahan perih.Widia pun tertegun ketika memandang Dokter Ardian. Ia terpesona pada Dokter Ardian. Tidak hanya tampan, Dokter Ardian juga sangat perhatian. Sampai-sampai ia lupa untuk menolong Nadia.Dari situlah awal perkenalan mereka. Dan dari situlah tumbuh perasaan cinta di hati Widia pada Dokter Ardian. Sayangnya, Dokter Ardian lebih tertarik pada Nadia dari pada Widia.Di saat Dokter Ardian tengah mengenang awal pertemuannya dengan Nadia, tiba-tiba terdengar suara tangisan bayi. Dokter Ardian pun segera menaruh kembali foto Nadia di atas nakas. Kemudian ia bergegas keluar dari kamarnya menuju kamar Citra yang berada di samping kamarnya. Dokter Ardian dan Nadia memang sengaja menyiapkan kamar calon anaknya di samping kamar mereka.Ketika sampai di depan pintu kamar Citra, Dokter Ardian segera membuka pintu kamar itu tanpa mengetuknya terlebih dahulu. Kebetulan Citra juga tidak mengunci pintu kamarnya.Citra pun terkejut saat mendengar suara pintu kamarnya terbuka. Ia segera menoleh pada pintu kamarnya dan tampaklah Dokter Ardian berdiri di sana.“Kenapa dia menangis?” tanya Dokter Ardian sembari berjalan mendekat ke arah Citra lalu mengambil alih bayi itu dari tangan Citra.“Mungkin dia merindukan Mamanya, Dok,” jawab Citra dengan ragu. Sedari tadi ia sudah berusaha merawat dan menjaga anak Dokter Ardian agar tidak sampai menangis kencang.“Apa kamu sudah mengganti popoknya?” tanya Dokter Ardian seraya meraba diapers yang dipakai anaknya.“Sudah, Dok. Bahkan susu pun baru saja ia habiskan,” jawab Citra menjelaskan.Dokter Ardian pun berusaha menenangkan bayi itu dengan menimang-nimangnya. Namun, hasilnya nihil. Ia pun berpikir bagaimana caranya membuat bayi itu berhenti menangis. Tiba-tiba terbesit sebuah ide ya
Setelah semua masakannya matang, Widia menata makanan itu di atas meja makan sambil menunggu Dokter Ardian turun.Tidak berapa lama kemudian Dokter Ardian menuruni anak tangga sambil mengancingkan lengan kemejanya. Hari ini ia akan mulai bekerja seperti biasa. Di rumah sakit sudah banyak pasien yang menunggunya.Widia yang melihat Dokter Ardian menuruni anak tangga, dengan segera ia membenahi pakaian dan merapikan rambutnya. Kemudian ia menyambut Dokter Ardian di anak tangga terakhir.“Selamat pagi, Kak …,” sapa Widia dengan tersenyum riang.“Pagi,” balas Dokter Ardian singkat seraya melewati Widia dan berjalan menuju meja makan.Widia pun cemberut lalu mengikuti Dokter Ardian menuju meja makan.“Aku sudah memasak semua ini untuk Kak Ardian loh. Biar aku ambilkan, ya,” tutur Widia menawarkan diri seraya mengambil piring yang ada di depan Dokter Ardian. Ia ingin menggantikan pekerjaan Nadia mengurus Dokter Ardian saat ini.“Terima kasih, tapi aku bisa mengambilnya sendiri. Mulai besok t
Setelah menghabiskan sarapannya, Widia buru-buru mencari Dokter Ardian. Ia sudah tidak betah berlama-lama berhadapan dengan Citra di meja makan. Ia merasa kehadiran Citra sangat mengancam posisinya yang ingin menggantikan Kakaknya menjadi istri Dokter Ardian. Namun, ia harus bersabar. Tanah kuburan Kakaknya masih belum kering. Tidak mungkin ia membicarakan pernikahan di saat semua orang masih berduka.Citra baru saja menghabiskan makanannya. Ia bingung harus mencari Dokter Ardian ke mana. Ia baru sampai di rumah ini kemarin dan belum sempat berjalan-jalan untuk mengetahui denah tata letak rumah ini. Ia pun pergi ke dapur untuk menanyakannya pada Bik Yati. Kebetulan Bik Yati sedang mencuci piring.“Bik, di mana Dokter Ardian?” tanya Citra pada Bik Yati.Bik Yati pun menoleh dan tersenyum pada Citra. “Ada di taman belakang, Mbak,” jawab Bik Yati.“Oh iya. Terima kasih, Bik,” balas Citra lalu mencari pintu yang menuju ke taman belakang.Ketika Citra sudah menemukan pintu itu, ia mendengar
Dokter Ardian baru saja sampai di rumah sakit. Setelah keluar dari dalam mobilnya, ia berjalan menyusuri area parkir menuju ruang poli kandungan.Sepanjang perjalanan, semua mata yang berpapasan dengan Dokter Ardian merasa heran. Mereka tidak menyangka Dokter Ardian akan masuk bekerja secepat ini. Istrinya baru saja meninggal dua hari yang lalu, tapi Dokter Ardian terlihat tegar.Selama Dokter Ardian tidak masuk bekerja, Dokter Amanda lah yang menggantikannya memeriksa pasien di rumah sakit. Dokter Amanda adalah kakak kandung Dokter Ardian.Dokter Amanda biasanya bekerja di Rumah Sakit Bunda. Sedangkan Dokter Ardian bekerja di Rumah Sakit Husada. Ketika Dokter Ardian tidak masuk bekerja karena kematian istrinya kemarin, Dokter Amanda harus membagi waktunya bekerja di dua rumah sakit untuk menggantikan Dokter Ardian sementara.Ketika Dokter Ardian masuk ke dalam ruang poli kandungan, Dokter Amanda sedang memeriksa seorang pasien dengan alat USG.“Maaf, aku datang terlambat,” ucap Dokter
Usai mandi, Dokter Ardian keluar dari dalam kamarnya lalu masuk ke dalam kamar Citra.Di sana tampak Citra sedang duduk di sofa sambil memainkan ponselnya.“Di mana anakku?” tanya Dokter Ardian ketika melihat Citra tidak memangku anaknya.“Ada di tempat tidurnya, Dok,” jawab Citra sembari menyimpan ponselnya ketika melihat Dokter Ardian masuk ke dalam kamarnya.“Mm … maaf ya, untuk yang tadi malam,” ucap Dokter Ardian merasa tidak enak pada Citra.“Tidak apa-apa, Dok. Saya mengerti,” balas Citra dengan sopan.Di depan pintu kamar Citra, Widia mendengarkan pembicaraan mereka dan mengernyitkan dahinya.‘Apa yang terjadi di antara mereka tadi malam?’ batin Widia. Ia pun semakin penasaran ada hubungan apa antara Dokter Ardian dan Citra.Widia pun masuk ke dalam kamar Citra dengan membawa secangkir kopi untuk Dokter Ardian.“Ini, aku buatkan kopi khusus untuk Kak Ardian,” ucap Widia seraya menaruh secangkir kopi di atas meja.“Terima kasih,” balas Dokter Ardian.“Saya mau ke kamar dulu,” pa
BAB 11Minggu, 07 Juni 20xxHari ini suamiku libur bekerja. Aku pun mengajak-nya untuk berbelanja keperluan calon bayi kami. Tentu saja suamiku sangat antusias karena ini anak pertamanya.Dia terlihat sangat senang saat memilih pakaian dan keperluan bayi. Aku bisa melihat kebahagiaan terpancar di wajahnya.Dokter Ardian membaca buku diary milik Nadia dengan menitikkan air mata. Saat ini, ia sangat merindukan istri yang setiap hari menemani hari-harinya itu.Ia pun menatap tempat tidur yang ada di sampingnya, tampaklah kenangan saat Nadia berbaring dan tersenyum padanya.Biasanya Nadia akan berbaring sembari mengelus perutnya yang buncit dan mengajak bicara janin yang ada di dalam kandungannya.Kemudian Dokter Ardian membelai bantal yang biasa dipakai Nadia. Ia mencium bau bantal itu. Wangi rambut dan tubuh Nadia masih melekat di bantal itu. Ia pun mengambil bantal itu lalu meremas dan memeluknya.“Kenapa kamu pergi secepat ini?” gumam Dokter Ardian dengan tubuh bergetar dan menangis di
BAB 13Sesampainya di lantai dua, Dokter Ardian masuk ke dalam kamar Citra untuk menidurkan Nizam. Di sana, Citra sedang merapikan kamarnya dan mainan Nizam. Dokter Ardian pun bisa melihat bahwa Citra lebih tulus dari pada Widia.***Empat bulan kemudianKarena selalu didesak, akhirnya Dokter Ardian pun setuju untuk menikah lagi. Ia melakukan semua itu untuk Nizam.Kini Nizam sudah berusia enam bulan. Dokter Ardian pun mengajaknya berziarah ke makam istrinya, dengan mengajak Citra tentunya.Setelah mengaji dan berdoa, Dokter Ardian pun membelai batu nisan almarhumah Nadia.“Apa kabarmu, Sayang?” tanya Dokter Ardian.“Apa kamu baik-baik saja di sana? Aku harap demikian. Setiap malam aku selalu berdoa semoga kamu bahagia di sana,” imbuh Dokter Ardian. “Hari ini aku mengajak anak kita. Dia sudah besar sekarang,” tutur Dokter Ardian seraya menatap Nizam di gendongan Citra.“Oh iya, Papa menyuruhku menikah lagi. Apa kamu setuju kalau aku menikah dengan dia?” tanya Dokter Ardian meskipun ia
BAB 15 Citra pun terpaksa menyetujuinya untuk menghormati para tamu yang sudah datang. Dua jam berlalu. Para tamu sudah pulang ke rumah masing-masing. Kini tinggallah keluarga Dokter Ardian dan Bu Ratna, tapi Bu Ratna tidak bisa tinggal lebih lama lagi karena ia datang dengan mobil sewaan beserta sopirnya. “Yan, bisa jelaskan tentang semua ini?” tanya Pak Aryo. Sedari tadi ia juga ingin mendengarkan penjelasan dari Dokter Ardian, tapi ia tahan dan bersabar menunggu para tamu undangan pulang. “Ardian lelah, Pa. Ardian janji akan menjelaskan semuanya, tapi tidak sekarang,” balas Dokter Ardian lalu naik ke atas di mana kamarnya berada. Sedangkan Citra sudah naik ke atas terlebih dahulu untuk menidurkan Nizam yang rewel karena mengantuk. Pak Aryo pun mendesah pelan. Setelah itu ia pun memutuskan pulang ke rumahnya untuk beristirahat. Setelah Nizam tertidur, Citra mencubit pipi dan punggung tangannya sendiri. Ia mengira ini semua hanyalah mimpi. Namun, setelah ia mencubit pipi dan pu