Share

04. Pengaman Yang Terlupakan

MIL 04 – Pengaman Yang Terlupakan

Pernikahan ini benar-benar absurd.

Brianna—gadis berusia 25 tahun yang baru saja terbangun di hari pertamanya menjadi istri orang lain—membatin.

Sarapan yang dia coba telan ke tenggorokannya terasa seperti segumpalan batu yang dijejalkan masuk ke dalam. Sekali lagi, dia menoleh ke arah pintu, seolah tengah menunggu seseorang. Dan dia memang tengah menunggu.

“Apa ucapanku semalam terlalu kasar baginya?” gumam Brianna dengan rasa sedikit bersalah.

Kemarin hujan, mereka yang seharusnya berangkat ke tempat bulan madu mereka harus menunggu sampai hujan reda, yang tidak juga reda-reda sehingga proses itu diundur sampai keesokan pagi; pagi ini.

Kemudian, pria yang baru saja menjadi suaminya memasuki kamar dalam keadaan mabuk. Teman-teman pria itu katanya merecokinya dengan minuman.

Brianna marah, tentu saja. Pernikahannya dengan Kai Ronan bukan karena cinta, hanya berlandaskan tanggung jawab dan janji yang dibuat oleh Louis Harrison, ayah Brianna. Dan kalau memang Kai Ronan hendak menagih kewajiban Brianna sebagai seorang istri malam kemarin, maka Brianna ingin melakukannya dalam keadaan sadar. Bukan dijajahi di bawah pengaruh alkohol.

Saat Brianna mengatakan pemikirannya itu, Kai Ronan marah dan pergi begitu saja.

Brianna tidak akan senang kalau orang lain tahu di malam pertama pernikahannya dia lalui seorang diri.

Itulah kenapa kini Brianna tampak begitu cemas.

Dan hal ini, Brianna juga tidak ingin ibu tirinya sampai tahu.

Wanita itu menghilang semalam seperti ditelan bumi. Para tamu menanyakannya dan Brianna benci harus menjadi orang yang dijadikan sasaran dari pertanyaan-pertanyaan itu. Ini hari pernikahannya, tapi mereka malah menggosipkan tentang ibu tirinya dengan lebih antusias.

Brianna tidak pernah menyukai Dahlia. Dan kepopuleran wanita itu di kalangan masyarakat adalah salah satu alasannya.

Pintu kamar tiba-tiba saja terbuka. Brianna nyaris tersentak karena terkejut. Dia menoleh dan mendapati seorang pria jangkung dan tampan melangkah mendekatinya.

“Bagaimana tidurmu semalam?” tanya Kai.

Brianna hanya memandangnya sampai pria itu duduk di hadapan Brianna. “Bagaimana denganmu?”

“Aku memiliki malam yang luar biasa.”

Brianna merasa jawaban pria itu adalah sarkas. “Maafkan aku, atas apa yang aku ucapkan semalam,” ucapnya setengah tulus.

“Tidak masalah. Aku mengerti.”

Kai Ronan tidak memiliki reputasi yang baik dalam hal komitmen dan wanita, tapi pria itu juga tidak seburuk yang dikatakan orang-orang.

“Kau mau sarapan?”

Tanpa pikir panjang, Kai Ronan menolak. “Aku sarapan lebih dulu sebelum kau bangun.”

Brianna terkejut. Dia menutup mulutnya dengan mata melebar. “Jangan bilang kau …!”

“Tenang saja, para tamu mungkin terlalu lelah untuk bangun sepagi itu. Tidak ada yang melihatku.”

“Dari mana kau tahu?”

“Aku hapal semua wajah tamumu.”

Brianna masih tidak percaya dan hendak menyalahkan Kai Ronan atas kecerobohan pria itu kepada reputasi pernikahannya. Atau setidaknya reputasi Brianna sebagai seorang wanita.

“Kapan kita akan berangkat?” tanya Kai seolah tidak merasa bersalah dengan apa yang baru saja dia lakukan.

Mendadak rasa nafsu makan Brianna surut. Dia menjawab singkat, “Pukul sepuluh nanti.”

“Hm. Berarti masih ada waktu,” ucap Kai Ronan sembari bangkit berdiri.

Brianna menatapnya tidak mengerti. “Waktu untuk apa?”

“Aku akan pergi bersama Jaden sebentar.”

“Urusan pekerjaan?”

“Ya.”

Lalu setelahnya, pria itu pun pergi. Brianna menghela napas. Dia tidak pernah memimpikan sebuah pernikahan yang harmonis dengan Kai Ronan. Brianna tidak menyukai pria itu, tapi sekarang dia diharuskan untuk menghormatinya sebagai seorang suami.

Suami yang lebih mementingkan pekerjaan ketimbang pernikahannya sendiri.

Beberapa saat dalam diam, interupsi kembali datang dari ponselnya. Brianna mengambil benda itu dan membaca sederet nama yang tertera di layar, senyumnya seketika merekah, dan jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Dia lantas mengangkat sambungan telepon itu tanpa menunggu lebih lama.

“Halo, Sera?”

***

Proses terakhir dari pernikahan itu pun dilangsungkan.

Para tamu lagi-lagi banyak yang mempertanyakan ketidakhadiran ibu tiri dari mempelai wanita. Keluarga besar Harrison juga bertanya-tanya ke mana perginya Dahlia dalam semalam. Mereka tidak bisa menghubunginya bahkan melihatnya dalam prosesi ini.

“Kupikir Dahlia Harrison mungkin malu untuk hadir,” gosip salah satu tamu kepada temannya..

“Kenapa kau berkata begitu?”

Yang lain menyahut, “Atau mungkin sang mempelai wanita tidak membiarkannya hadir. Kau tahu ‘kan kalau hubungan mereka tidak terlalu baik?”

“Itu gosip lama. Dahlia berkata padaku bahwa hubungannya dengan Brianna membaik bahkan sebelum kematian Louis Harrison.”

“Benarkah?”

“Gosip hanyalah gosip.”

“Kudengar Dahlia juga yang membayar semua ini, termasuk gaun pengantinnya. Kau percaya itu?”

“Dia berasal dari kalangan rendah. Dari mana kau pikir dia mendapat uang? Tentu saja dari saku Harrison. Jadi itu sama saja Dahlia tidak memberikan putrinya apa pun.”

“Kau benar.”

Kai Ronan yang berdiri tidak jauh dari empat wanita yang tengah bergosip itu mengepalkan tangannya kuat, menahan diri, dan berpura-pura seolah dia tidak mendengar apa pun.

Di samping Kai, berdiri istrinya, Brianna Harrison.

Oh, dia seharusnya sekarang memanggil nama wanita itu dengan nama akhiran namanya sendiri; Brianna Ronan.

Kai merasa nama itu terdengar tidak terlalu cocok.

Lalu tanpa sadar kepalanya mencetuskan sebuah nama lain yang terdengar lebih pas; Dahlia Ronan.

Senyum terbit di bibir Kai saat itu juga ketika mengingat kemarahan yang dia lihat pagi ini dari ibu mertuanya yang manis. Itu adalah ekspresi pertama yang Kai Ronan lihat darinya.

Dahlia selalu bersikap baik dan ramah kepada siapa pun. Tutur katanya baik dan lemah lembut. Semalam, sekalipun menahan sakit dia berjalan dengan anggun di atas sepatunya yang kata wanita itu kekecilan. Sekalipun menjadi ibu tiri muda yang hanya berbeda dua tahun dari anak tirinya sendiri, Dahlia tidak tampak kesulitan bergaul dengan kalangan atas.

Faktanya, banyak yang menyukai wanita itu karena keramahannya dan kerendahan hatinya.

Dia seperti malaikat. Tidak pernah melakukan kesalahan apa pun dan hanya tahu tentang kebaikan.

Tapi pemikiran itu segera tertepis dari kepala Kai karena mengingat apa yang dia dan wanita itu lakukan semalam. Kai salah mengiranya sebagai seorang wanita suci yang tidak pernah melakukan kesalahan.

Bukannya merasa bersalah, Kai justru merasa bangga. Dia tidak sabar untuk bertemu kembali dengan ibu mertuanya, dan membicarakan tentang apa yang terjadi pada mereka.

Besar kemungkinan wanita itu akan menghindarinya dengan gigih. Tapi itu tidaklah berarti bagi Kai Ronan. Yang menurut Dahlia mudah, akan Kai persulit. Sampai tidak ada lagi jalan keluar selain bertekuk lutut kepadanya.

***

“Kau siap?” tanya Georgia Harrison, bibi Brianna, di samping wanita itu.

Brianna memberikannya anggukan dengan senyuman sekilas.

Sebuah mobil berwarna putih yang telah dihias dengan dekorasi bebungaan yang indah terparkir di depan lobi hotel. Sekali lagi, Brianna menoleh ke sekitar, mencari keberadaan ibu tirinya yang benar-benar seperti menghilang ditelan bumi.

“Di mana Dahlia?” tanya Brianna. Dia memang tidak pernah memanggil Dahlia dengan sebutan Ibu atau Mama. Selain karena usia mereka yang memang terpaut jarak pendek, Brianna juga tidak sudi.

Georgia menggeleng, sama tidak tahunya. “Dia tidak memberitahumu atau menghubungimu?”

Brianna ikut menggeleng.

“Sudahlah, jangan pikirkan dia. Aku akan berbicara dengannya nanti. Berani sekali dia tidak muncul di prosesi pernikahan anaknya sendiri.”

Dengusan tawa lolos dari bibir Brianna. “Anak tiri,” koreksinya pelan.

Hanya Bibi Georgia yang selalu bisa Brianna andalkan. Hanya wanita itu yang peduli dan perhatian padanya, di saat ibu dan ayahnya kini sudah tidak ada dan menyisakan seorang ibu tiri dari antah berantah yang kini menggilai harta keluarganya.

Brianna merasakan sebuah sentuhan di tangannya. Dia pun menoleh, mendapati Kai Ronan berdiri di sampingnya. Para tamu sudah menunggu untuk kepergian kedua mempelai ke tempat mereka akan berbulan madu.

Saat Kai menggandengnya pergi ke arah mobil pengantin yang sudah disiapkan, Brianna menoleh ke belakang. Matanya bertemu pandang dengan seorang wanita berambut pendek yang menatapnya dari kejauhan dengan ekspresi datar. Wanita itu adalah Sera Vincent, sahabatnya.

Brianna tersenyum pada wanita itu dan melambai.

Namun Sera justru melengos dan berbalik pergi.

Brianna menatapnya tidak mengerti. Dia ingin melihat sahabatnya itu lagi, tapi tubuhnya telah lebih dulu ditarik lembut dan masuk ke dalam mobil.

Brianna masuk ke dalam mobil, melambai kepada tamu yang lain dan memaksa senyum. Dia masih kepikiran dengan perubahan Sera.

***

“Anda yakin tidak berniat untuk pergi ke dokter, Ma’am?” tanya Kaira kepada Dahlia saat mereka berdua berada di dalam lift menuju apartemen milik Dahlia.

Dahlia menggeleng. Menatap pada pantulan dirinya di dinding lift, lalu mengalihkan pandang.

“Tapi ….”

“Aku akan baik-baik saja setelah istirahat selama beberapa saat,” sahut Dahlia.

Kaira ingin membantah, tapi menahan dirinya sendiri. Sekalipun Dahlia tidak pernah marah padanya, tapi dia tetap merasa segan kepada bossnya tersebut. Namun Kaira merasa khawatir. Sangat jarang Dahlia mengeluh sakit. Apalagi ini adalah hari penting bagi wanita itu.

Sedikit banyak Kaira tahu mengenai hubungan tidak harmonis antara Dahlia dan putri tirinya. Mungkin itu kenapa dia memilih untuk pergi lebih dulu.

Setelah mengantar Dahlia ke apartemennya, Kaira pamit undur diri.

Pintu tertutup di belakang. Dahlia pun kini akhirnya seorang diri lagi di tempat teraman yang dia miliki. Punggungnya bersandar pada pintu, menghela napas.

Selama perjalanannya dengan Kaira tadi, Dahlia menahan rasa gugupnya dengan susah payah. Dia takut kalau memunculkan sedikit saja keanehan yang tidak biasa, Kaira atau orang lain akan tahu bahwa semalam dia telah melakukan dosa besar.

Itu konyol memang, bahkan Dahlia menyadarinya. Tapi dia tidak bisa menepis perasaan cemas itu.

Dia pun segera pergi ke kamar dan menjatuhkan dirinya ke atas ranjang.

“Akhirnya …,” desah Dahlia lega. Aroma kamarnya yang khas dan permukaan empuk ranjangnya membuat rasa pusing di kepala Dahlia sedikit terobati. Dia tidak sadar bahwa tubuhnya sangat kelelahan.

Selama beberapa hari ini, dia sibuk menyiapkan pernikahan Brianna. Lalu semalam, dia dan menantunya sendiri ….

Dahlia menggeleng, menepis pemikiran itu dari kepalanya. Lama kemudian, dia pun menutup mata.

Namun mendadak kemudian kedua netra bermanik hijau itu kembali terbuka. Dahlia terkesiap dan langsung duduk di ranjang. Dia tiba-tiba teringat bahwa semalam dia dan Kai Ronan melakukan hubungan intim tanpa pengaman.

Apa yang dia pikirkan? Kenapa dia membiarkan lelaki itu tidak mengenakan pengaman?

Dan yang lebih utama dari semua itu; kenapa dia membiarkan Kai Ronan menyentuhnya?

Kau mabuk, Dahlia. Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja.

Dahlia mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri. Ruangan mendadak terasa berputar di sekitarnya. Dia memejamkan mata dan menjatuhkan tubuhnya ke ranjang.

Jantung Dahlia kini berdentum dengan keras. Sebuah mimpi buruk terbayang-bayang di depan matanya yang terpejam.

Apakah dia akan hamil?

Hamil anak menantunya sendiri?

***

[to be continued]

Uwoowwh! Kalau Dahlia hamil anak menantunya, gimana tuh jadinya? Dia manggil apa ntar ke Dahlia? Ibu atau Nenek? Hihihi~

Penasaran nggak sama kelanjutannya? Nantikan terus yaaa~

Follow IG @deltaxia untuk info update dll.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nong Atet Channel
wah... ada apa dgn sera ya?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status