Share

07. Desakan Perasaan

Dahlia benar-benar datang ke kamar Brianna dan seperti dugaannya, wanita itu tengah sibuk membereskan isi kopernya dibantu oleh seorang pelayan.

Diketuknya pintu perlahan untuk menarik perhatian mereka.

“Bolehkah aku bergabung membantu kalian?” ucap Dahlia, tersenyum ramah.

Si pelayan mendongak diam-diam menatap ke arah sang nona, seolah untuk meminta persetujuan.

“Yah, terserah kau saja,” sahut Brianna acuh.

Dahlia pun masuk dan ikut duduk di lantai di mana Brianna tengah mengeluarkan pakaiannya dari koper yang kemudian dirapikan oleh pelayan yang membantunya.

“Di mana Kai?”

Dahlia melirik Brianna, terdiam sesaat sebelum menjawab, “Masih di ruang makan.”

“Dia harus merapikan pakaiannya juga,” ucap Brianna.

Dahlia mengernyit, lalu menoleh pada sebuah koper berwarna hitam yang terletak di dekat ranjang. “Kenapa tidak kau lakukan itu untuk suamimu?” kata Dahlia.

Sesaat setelah dia mengatakan itu, Brianna memberikannya pandangan tidak suka. “Aku istrinya, bukan pembantunya.”

“Ya, tapi tidak ada salahnya juga ‘kan?”

“….” Brianna tidak menjawab.

Menyadari ucapannya sendiri yang mungkin terdengar tidak mengenakkan, Dahlia segera mengoreksi. “Maksudku, tidak ada salahnya untuk seorang istri membahagiakan suaminya. Sekalipun pernikahan kalian tidak dilandasi cinta, kalian tetap pasangan suami istri di mata hukum dan agama.”

“Apa sekarang kau tengah mengajariku tentang pernikahan, Ibu? Aku sangat yakin tidak membutuhkan ilmu apa pun darimu mengenai hal itu,” sindir Brianna.

Dahlia menunduk, menyembunyikan senyum ironinya. “Kau benar,” ucapnya sembari terkekeh.

Bagaimana bisa dia yang selama ini tidak memiliki pernikahan yang normal memberikan nasihat semacam itu kepada orang lain? Dahlia malu sekali, tapi dia menenangkan dirinya.

Setidaknya kau pernah mencoba menghibur Louis selama masa hidupnya. Menemaninya membaca buku dan membuatkannya teh bunga yang sangat dia sukai juga termasuk kebahagiaan, batin Dahlia pada dirinya sendiri. Sekalipun dia tidak tahu apakah upaya itu berhasil atau tidak.

“Kenapa tidak kau saja yang merapikannya?”

Awalnya Dahlia mengira ucapan itu ditujukan Brianna kepada pelayan yang ada bersama mereka di sana, tapi ketika melihat pandangan Brianna tertuju padanya, Dahlia sadar bahwa dirinyalah yang wanita itu maksud.

Lantas diliriknya koper itu. “Sir Ronan …,” gumamnya, tidak tahu harus bagaimana mengatakannya bahwa dia tidak ingin menyentuh barang-barang pria itu, atau apa pun yang menyangkut milik pria itu.

Bagaimana kalau di dalamnya terdapat sesuatu yang pribadi? Bukankah sebaiknya istrinya yang melakukan itu?

“Kau ibu mertuanya, tidak ada salahnya juga membantu anak menantumu sendiri.”

Entah kenapa, Dahlia merasa tidak nyaman setiap kali panggilan ibu mertua dan menantu dibawa-bawa. Dia selalu teringat akan dosa yang telah dia lakukan.

“Itu terkesan tidak sopan. Sir Ronan pasti tidak akan suka,” jawab Dahlia pada akhirnya, memberikan Brianna senyuman lembut dan berharap semoga dia mengerti. “Tapi kau lain. Kau istrinya,” lanjut Dahlia.

Dengan gerakan kasar, Brianna melempar bajunya dengan kasar ke lantai, mengungkapkan rasa kesalnya, tapi dia tidak mengatakan apa-apa setelah itu.

Kai Ronan tiba-tiba saja masuk ke kamar dan langsung duduk di sofa yang ada di kamar itu, memperhatikan dua wanita yang mendadak senyap. Satu menundukkan wajahnya, satunya lagi berwajah masam.

Dia duduk di sana selama dua wanita itu—ditambah seorang gadis pelayan—merapikan baju-baju ke dalam kloset dan lemari.

Saat semuanya sudah selesai, Dahlia berdiri dengan canggung di tengah ruangan. Brianna masuk bersama pelayannya ke kloset, meninggalkan Dahlia berdua di kamar dengan Kai Ronan yang masih di sana.

Kai bertanya padanya, nada suaranya terdengar serius. “Kau membutuhkan sesuatu, Ibu Mertua?” Dan dapat dilihatnya bahu Dahlia sedikit menegang. Wanita itu meliriknya sekilas, kemudian menggeleng.

“Aku sudah selesai. Aku akan kembali ke kamar. Selamat siang,” ucapnya dan bergegas melangkah keluar dari kamar Brianna dan menantunya.

Namun, saat dia hampir mencapai kamarnya sendiri, tiba-tiba saja tangannya ditarik, dan dia didorong masuk ke kamarnya oleh tubuh kekar yang tidak bisa dia lawan sedikit pun.

“Lepaskan aku!” seru Dahlia pada Kai Ronan yang berdiri di hadapannya dengan tatapan dingin. Dahlia mengernyit marah sekaligus bingung akan maksud pria itu. “Apa maumu?!” tukasnya.

“Seharusnya kau berhenti mencoba mendekati anak tirimu yang bermulut pedas itu. Dia jelas-jelas lebih suka kau tidak ada di pandangannya,” ucap Kai, suaranya terdengar rendah dan berat, juga terdapat amarah yang terselip di sana.

Kernyitan di dahi Dahlia semakin dalam. “Kau tidak berhak mengaturku,” balasnya.

“Oh ya? Apakah kau lupa tentang apa yang kita lakukan malam itu? Secepat itukah kau melupakan kenikmatan yang kita bagi bersama?”

“Sir Ronan!”

“Kau memanggilku Sir Ronan sekarang, padahal saat itu kau meneriaki namaku dengan sangat lantang saat mencapai pelepasanmu. Apa kau ingat?” Kai semakin menipiskan jarak di antara mereka.

Sementara Dahlia langsung mengalihkan pandangnya dengan cepat saat tatapan pria itu terasa semakin intens tertuju padanya.

“Aku … tidak ingat,” cicit Dahlia pelan. “Malam itu aku mabuk berat dan bagaimana aku bisa tahu atau sadar siapa kau dan apa yang kita lakukan?” lanjutnya.

Sebuah senyum miring terbit di sudut bibir Kai Ronan. Dia memajukan wajahnya dan berbisik di telinga Dahlia, sengaja menyentukan bibirnya ke bagian itu dengan seringan bulu dan dia berbisik, “Apa kau yakin?”

Dahlia merasakan gelenyar aneh menyebar ke seluruh tubuhnya, dan membuat punggungnya nyaris memberontak untuk menjauh dari pintu dan mendekati pria itu, menempelkan tubuh mereka berdua.

Saat Dahlia sadar dengan pikirannya sendiri, dia mencoba untuk mendorong Kai dari hadapannya, tapi tenaganya yang tidak seberapa tidak berhasil membuat pria itu menjauh bahkan seinci pun.

Kai Ronan tertawa. “Perlukah kita melakukannya ulang untuk menyegarkan ingatanmu, Ibu Mertua?”

“Jangan macam-macam! Brianna ada di sini.”

Namun alih-alih menjauh, tatapan mata pria itu justru terasa semakin tegas dan dalam. Ada kernyitan samar di dahinya dan ekspresinya menyatakan seolah dia tengah memikirkan sesuatu yang rumit.

“Bagaimana perasaanmu saat berbicara dengan anakmu sendiri, yang suaminya telah kau tiduri itu, Dahlia?”

Dahlia menggigit bagian dalam bibirnya dengan keras. Pandangannya tidak beralih, dia ingin tahu apa maksud Kai Ronan menanyakan hal itu padanya.

“Bagaimana bisa kau menghadapinya setelah dosa kotor yang kau lakukan di belakangnya?” kata Kai lagi.

Dahlia melotot terkejut karena amarah dan juga rasa malu. “He-hentikan!”

Tapi Kai semakin mendesak. “Apakah kau senang? Apakah kau menyukai sensasi itu? Apakah puas rasanya menghukum anakmu yang tidak bisa diatur dengan tidur bersama suaminya?”

“Hentikan!” seru Dahlia dengan lebih lantang. Matanya berkaca-kaca dan kedua tangannya di dada Kai—yang dia gunakan untuk mendorong pria itu—terkepal dengan erat.

“Apa yang harus aku hentikan? Sekalipun aku tidak mengucapkannya lagi nyatanya kau masih memiliki fantasi itu dalam dirimu. Iya ‘kan, Dahlia?”

Air mata mengalir dengan deras di kedua pipi Dahlia yang memerah. Matanya terpejam, tidak kuasa menahan tekanan yang Kai berikan padanya.

Namun alih-alih menjauh, pria itu justru menariknya ke dalam pelukan dan berbisik dengan lembut di atas kepalanya. “Oh, ibu mertuaku yang manis. Apa yang harus aku lakukan padamu?”

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status