Share

Bab 6

Di suatu sore, di sebuah kawasan perumahan mewah di Bukit Kendal Asri suasana nampak tenang dan nyaman. Dari balkon rumah Pak Abdi pemandangan sungguh nampak elok, dimana Gunung Ungaran, Gunung Merapi, Gunung Merbabu dan Gunung Andong terpapar dengan jelas. Nando yang sedang menghadap kopi panas dan kue coklat kesukaannya tengah berbincang dengan Ibu dan Ayahnya. Di sekitar tempatnya duduk terdapat susunan pot yang berisi bunga matahari. Nando tersenyum, 'biarpun aku tak disini selama empat tahun namun bunga ini tetap mekar. Ah! bunga kenangan yang mempesona. Nayla, bunga ini ibarat dirimu, walaupun tidak dalam jangkauan mata namun tetap ada dalam ingatan'. Kopi yang terletak dihadapan pun ia raih lalu perlahan ia hirup sambil melanjutkan gumaman nya dalam hati. 'Nayla, ini semua kesalahanku.'

"Nando, kamu setuju atau tidak dengan tawaran Ayah untuk bekerja di perusahaan teman Ayah? Kalau setuju, nanti kita ngobrol bareng beliau," suara ayahnya memecah keheningan. Nando hanya mengangkat bahunya yang tegap, 'Ah! kerja lagi, kerja lagi. Ayah memang tak penah bosan kalau urusan kerja. Empat tahun kuliah di Semarang. Ditambah empat tahun lagi di Australia. Kenapa aku tak diberi waktu untuk mengistirahatkan otak ini?' Nando berbicara dalam hati. Diletakkannya kembali cawan berisi kopi itu ke meja baca yang ada di depannya. Sementara Ibunya tengah memotong kue coklat kemudian diberikan kepada Nando. Nando menyambutnya dengan tersenyum. Bu Heksi memandang anak sulungnya tersebut dengan penuh kasih. Anak lelaki yang menjadi harapan keluarga. Dia juga berencana untuk menjodohkan Nando dengan anak sahabat karibnya. Apalagi, Nando juga mengenal gadis tersebut.

"Nanti dulu lah Yah, mungkin bulan depan baru saya mau kerja. Lagian, otak masih capek nih. Mau istirahat dulu. Nando kan baru selesai kuliah, butuh udara segar. Nando punya rencana mau jalan-jalan dulu, atau liburan." ucap Nando. Dia kemudian mengambil koran yang ada di bawah meja itu. Mungkin ada berita yang menarik. Sejak kembali ke Indonesia seminggu yang lalu, dia masih belum kemana-mana, hanya menghabiskan waktu untuk membaca dan menelepon teman-teman lamanya. "Capek atau malas?" usik ayahnya sambil tertawa. "Tak masalah kalau mau istirahat, istirahat lah dulu. Kalau sudah siap, bilang ke ayah ya." Sambung Pak Abdi. Kembali nando mengangkat bahu, entah kapan aku akan siap. Nando menyibakkan rambutnya yang agak panjang itu ke belakang. Nando sedikit berubah dibandingkan dulu, kini tubuhnya semakin tegap dan kulitnya menjadi lebih cerah. "Erwin pergi dulu Bu, Ayah, Kakak. bye..." adik Nando tiba-tiba muncul di pintu sambil membawa raket di tangannya. Adik bungsunya yang berusia 18 tahun itu selalu bermimpi untuk menjadi juara bulu tangkis. Nando terkekeh, Erwin paham betul tawa yang mengejek itu.

"Sudahlah Win, kamu itu nggak pinter-pinter. Empat tahun main badminton masih aja ditempat yang sama. Sekali-kali juara Popda kek. Masuk PB. Djarum atau klub elit gitu." Nando tertawa. Erwin juga tertawa, sampai ia lupa dengan teman yang menunggunya diatas sepeda motor. "Oh, Kak Nando nggak tahu aja. Empat tahun latihan bukannya tak ada hasil, adik pelatih yang ngajarin Erwin itu cantiknya kebangetan Kak. Itu yang membuat latihan erwin jadi lama." Erwin kemudian berlalu, namun suara tawanya masih terdengar. Beberapa saat kemudian deru sepeda motor membelah kesunyian daerah perumahan Bukit Kendal Asri. Nando menyuapkan sepotong kue coklat yang manis itu. Erwin adalah adik satu-satunya. Tak seperti dirinya yang tertarik dengan hukum, adiknya lebih menyukai musik dan juga olahraga. Kadang kala, ia merasa sangat beruntung karena dilahirkan di keluarga yang tidak pernah dilanda permasalahan yang besar. Segalanya tersedia, karenanya pula ia dia amat menghargai segala yang ada. Karena ia sadar, bahwa rezeki itu milik Allah. Jika hendak diambil kembali, maka tak ada yang bisa menghalangi.

"Seperti itulah adikmu, sudah kenal dengan perempuan. Sudah tahu cara membedakan yang cantik dan yang nggak. Padahal dulu nggak pernah, cuma fokus ke raketnya saja." Ucap ayahnya sambil menyalakan rokok. Nando tersenyum. "Halah, Erwin itu cuma mengikuti contoh yang diberikan kakaknya saja." Ibunya ikut menimpali. Nando menggelengkan kepala sambil tersenyum mesra. Ayahnya menepuk bahunya perlahan dan ikut tertawa. "Apa sih Bu, saya dulu kan cuma satu orang saja." Ucap Nando perlahan. Dia lalu menatap jauh ke arah gunung di depan sana. 'seorang saja yang anak ibu cinta,' bisik hatinya. Cangkir kopi ia ambil lagi. 'Ah, sekarang mulai lagi topik yang paling tidak aku sukai.' Baru saja ia hendak berdiri, namun dihalangi oleh ibunya yang telah lebih dulu bersuara. Aduh, sudah terlambat rupanya!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status