Share

PAUSE

Nayla melangkah dengan hampa. Didalam tubuhnya seakan tertinggal satu rongga kosong yang tak terjamah. Kadang kala bila ia rasakan dapat membuatnya tumbang lalu merebah. Baju gamis hijau yang ia kenakan dibuai angin sore itu. Ketika dia menyusuri jalan di tepi sungai yang berdekatan dengan sebuah Masjid. Dia kemudian memandang ke arah yang berlawanan, sebuah toko atau lebih tepatnya gerai makanan yang sesak oleh pelanggan. Seketika itu ia sadar kalau perutnya belum terjamah oleh apapun sejak malam tadi. Dia kehilangan selera makannya. Dia meneruskan langkahnya sambil memeluk erat tas punggungnya. Beberapa ekor merpati nampak turun memungut sisa makanan kecil yang berurai di jalanan. Ketika melewati mereka, Nayla tersenyum pahit. Ia sudah menghubungi beberapa kantor penerbit dan media lokal untuk mencoba peruntungannya mencari pekerjaan, namun semuanya terasa percuma. "Maaf, kami sedang tidak membuka lowongan pekerjaan". Jawaban seragam yang ia dapat dari beberapa perusahaan.

Arif duduk di sofa sambil membaca koran yang ia beli sore tadi. Sesekali ia melirik jam tangan yang melingkar di tangannya lalu menengok ke arah kamar Devi. Dia hendak mengantar Devi ke bandara segera. Siapa tahu kalau nanti kena macet dijalan. Devi yang tengah bersiap-siap, bersenandung pelan lagu eternal flame milik The Bangles yang digemarinya sejak remaja. Hatinya berbunga-bunga penuh kegembiraan. Rindunya sudah menebal kepada Dedi. "Sudah siap, Dev?" Arif berpaling kepada istrinya yang baru saja melangakah keluar dari kamarnya. Arif meraih tas yang berukuran cukup besar namun tampak sederhana dari tangan Devi. Devi yang berparas cantik jelita pun membalas dengan senyuman manis yang disertai anggukan. Dia nampak begitu ceria.

"Arif, kapan kamu mau ketemu pengacara? Aku tadi malam sudah ketemu." jelas Devi tanpa diminta sembari merapikan hijab putih yang ia lingkarkan di lehernya yang jenjang. Arif berpikir sejenak, teringat dengan janjinya kepada Pak Eric, pengacaranya. "Aku sudah berjanji untuk bertemu lusa, akan kuatasi semuanya. Kau berliburlah. Mari ku antar kau ke bandara. Oh iya, jangan lupa sampaikan salamku kepada Dedi." Devi mengangguk, dari sinar matanya tampak jelas bahwa ia tengah terharu. "Kau terlalu baik Arif, hanya saja kita tak saling mencintai satu sama lain."

Sementara itu, angin malam menerobos masuk ke dalam sebuah kamar. Nyaman dan tenang. Nando memandang jauh keluar, ingatannya kepada gadis itu begitu kuat. Tak ada satupun yang terlewat, setiap detilnya sungguh masih melekat dalam ingatannya. Meskipun seharusnya kini ia telah melupakan gadis tersebut, namun bagi Nando gadis itu adalah cintanya. Dia adalah segalanya, hidup dan matinya. 'Aku tetap menantimu', bisik hatinya. Tapi, bagaimana pula dengan gadis yang baru hadir ini? Ah...mustahil.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status