Share

Bab 1

Banyak orang berlalu lalang dibawah sana, beragam gelagat bisa dilihat dan diperhatikan. Kebanyakan, remaja yang tengah asyik nongkrong. Dahulu, itu adalah bahan yang menjadi bahan tulisannya. Tapi sekarang? Dia menghela nafas, cukup dalam. 'Aku nggak boleh kalah, tidak untuk saat ini. Aku harus menang dalam perjuangan kali ini', batinnya lirih. Lalu disesapnya es tebu dihadapannya. "Makanlah Nay, kau ini makhluk hidup. Buat dirimu berharga". Luah Rena sambil memasukkan ayam goreng ke dalam mulutnya yang dihiasi lipstik berwarna merah jambu. Sejak dulu, Luna's cafe menjadi tempat favorit mereka sejak masih kuliah. Selain harga makanan yang ditawarkan relatif terjangkau, suasana disana sungguh mampu membuatnya lupa dengan segala keletihan hidup yang ia alami. "Kau dan Anita makan saja dulu, aku...aku tak lapar", ujar Nayla berdalih. Dia lebih suka melihat para remaja yang sedang berlalu lalang. 'Ah! mereka tak punya masalah seperti aku', dia tersenyum pahit. 'Masa sih, manusia nggak punya masalah. Mungkin masalah dan beban mereka lebih berat daripada aku. Seharusnya aku bersyukur dengan cobaan yang tak begitu berat ini. Aku masih bisa melanjutkan hidup, pasti bisa. Aku yakin!'. Dia meyakinkan dirinya sendiri.

"Kau makanlah dulu Nay, aku tahu sebenarnya kamu lapar. Tapi kau sengaja ingin menyiksa dirimu sendiri dengan berpikir negatif. Sabarlah Nay, kita pasti bantu kamu", kata Anita. Nayla terdiam, hatinya tersenyum melihat teman-temannya begitu perhatian kepadanya. Dia menyandarkan diri di kursi, perlahan ia meraih kentang goreng diatas meja. Dikunyahnya dengan enggan. Baju biru muda dengan celana hitam favoritnya hari ini tak mampu menaikkan seri kecantikan wajahnya yang nampak pucat itu. "Entahlah Rena, Anita. Aku pun tak tahu apa yang harus aku lakukan saat ini. Mau mengadu pada siapa aku ini..." Nayla meluahkan isi hatinya. Rena dan Anita saling berpandangan. Jarang sekali nayla yang periang ini bersedih. Biasanya dia selalu riang dan tertawa. Tak pernah ada kesedihan seperti ini, bahagia selalu menjadi miliknya. Sepengetahuan mereka, Nayla adalah gadis yang kuat dan penuh semangat. Tapi kini, dia bagaikan kehilangan separuh jiwanya. Rena menggelengkan kepala melihat air muka Nayla yang tampak muram.

"Ari sudah tahu perkara ini Nay?" tanya Anita penuh perhatian. Nayla mendongak mengalihkan pandangannya. Rambutnya ia kibaskan ke belakang lalu menggeleng. Dia mendengus perlahan. Ari adik yang baik, jangan diganggu belajarnya. Biar ia meneruskan sekolahnya, jangan sampai Ari tahu kalau kakaknya ini sudah kehilangan sumber pendapatan. Jangan! Nayla tak sampai hati melukai hati adik tunggalnya itu. Ari yang berpostur tinggi dan dibalut kulit yang hitam namun manis tersebut sangat mirip dengan ayahnya. 'Ayah! Kalau kau ayah masih ada, tentu ayah lebih sedih dari aku', desis hatinya. "Biarlah dia tak tahu, lebih baik seperti itu 'kan". Rombongan pelajar yang berpakaian kasual dengan buku ditangan sedang riang bercanda di hadapan sana menarik perhatian Nayla. Mendadak ia teringat ketika kuliah dulu. Alangkah indahnya ketika itu. Aku, Rena, Anita, Fifi dan...Nando. Nando? Nando...wajah lelaki itu kembali hadir di ingatannya. Lelaki pertama yang berhasil mencuri hati Nayla. Rasanya bukan hanya Nayla, siapa pun pasti akan terpikat olehnya. Kulitnya sawo matang,badannya tegap, pandangan matanya tajam nan memikat. Serta, keningnya yang indah mempertegas maskulinitas seorang Nando. Selain itu, dia juga merupakan seorang pemidato yang handal. Juga pendebat yang sulit untuk dikalahkan. Ketika dia berbicara, ada kharisma kuat yang terpancar. 'Kenapa kita harus berpisah, Nando?'

Nayla teringat kembali peristiwa lama. Semuanya karena Nando cemburu kepada Zaid yang tak kalah tampan. Hanya karena saat itu tengah hujan dan Nayla membonceng motor Zaid setelah satu jam menunggu kedatangan Nando untuk menjemputnya. Nayla menggigil menahan dingin yang menyerang. Dan akibat dari peristiwa membonceng tersebut, satu kampus dihebohkan oleh Nando dan Zaid yang nyaris baku hantam karena Nayla. Beruntung ada pihak yang menengahi sehingga keributan tidak berlarut. Jika tidak, sudah pasti akan ada perang besar. Karena Nayla yang juga pandai bela diri tersebut juga pantang untuk diganggu. Tapi semua itu berhenti ketika Nayla mengalah dan meminta maaf kepada Zaid dan juga Nando. Zaid nampak bingung atas tindakan Nayla yang meminta maaf atas peristiwa yang terjadi. Dia menatap Nayla dalam-dalam seperti hendak mencari sesuatu. Nayla pun jadi serba salah.

"Kenapa kamu yang meminta maaf kepadaku Nay? Kamu nggak salah. Itu tuh, preman Kendal yang sok jagoan itu yang bersalah!" bentak Zaid sambil mengepalkan tangannya. "Sudahlah Zaid, kamu dengan Nando tinggal selangkah lagi lulus. Aku tak mau kalian ribut, gak ada gunanya. Percuma, justru nantinya bisa berbahaya untuk kelulusan kalian. Aku juga nanti akan terseret. Lagipula, kamu kan tahu kalau dia itu memang temperamental". ujar Nayla dengan suara yang rendah. Tak banyak orang saat itu, dia melihat sekitar takut-takut kalau ada Nando disitu, akan ada perang pastinya. "Oh...bukan cuma dia yang temperamen, aku kalau diganggu juga akan terusik temperamen ku. Kau tinggalkan dia saja Nay, aku juga suka kamu kok, dia itu terlalu pencemburu. Terlalu mengedepankan emosi dan tak mau mempertimbangkan apa yang sebenarnya terjadi". Desak Zaid sungguh-sungguh. "Aku kurang apa sih Nay? Rupaku tak begitu buruk, dengan kemampuan bela diri yang aku punya, aku juga bisa melindungimu."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status