Share

Bab 2

"Dia cemburu tandanya dia sayang, aku tidak menyalahkan dia", luah Nayla lagi. Sementara Zaid tersandar di kursi. Dia mendapati dirinya benar-benar hampa. Tapi, api kemarahan antara Zaid dengan Nando tak pernah benar-benar sampai pada klimaksnya. Fakta bahwa segalanya telah usai, meskipun ada beberapa teman yang mengatakan bahwa Zaid dan Nando tidak boleh bertatap muka secara langsung masih tetap membuat Nayla cemas. Ia khawatir jika suatu saat akan ada perkelahian yang disebabkan oleh dirinya. Dua hari setelah itu, Nayla terpeleset karena menuruni bukit. Zaid yang kebetulan sedang mengobrol dengan teman-temannya memapah Nayla bangun, kemudian memijat pegelangan kaki Nayla. Wajah Nayla meringis menahan sakit. Tanpa sadar, Nando lewat disitu dengan sepeda motornya. Dengan tergesa-gesa, ia turun dari motor. Mukanya mulai memerah. Zaid sudah keterlaluan! hajar dia! "Hei, Zaid! sudah berapa kali aku katakan, jangan ganggu Nayla." Zaid terkekeh mendengar ucapan Nando. Dia tak mempedulikan Nando dan masih tetap mengurut kaki Nayla. Sementara Nayla yang memperhatikan mereka mulai merasa serba salah.

"Siapa bilang aku ganggu dia? Aku cuma membantu mengobati kakinya yang terkilir". Zaid menjawab dengan santai. Nando semakin marah. Nayla mencoba menepis tangan Zaid tapi tidak dipedulikan sama sekali oleh Zaid. Beberapa mahasiswa yang kebetulan lewat disitu berhenti dan mulai memperhatikan pertengkaran Zaid dengan Nando. "Dengar ya Zaid, aku tak suka kau mengikuti Nayla pergi" Bentak Nando dengan geram. "Siapa juga yang mengikuti Nayla. Aku pikir, aku dengan Nayla berjodoh. Itu sebabnya kemana aku pergi, Nayla ada disitu. Tapi kamu? Kamu kemana saja?" Zaid mengejek Nando dengan sinis. Nando membulatkan matanya, dagunya menggeretak menahan geram yang kian memuncak. Dia menggigit bibirnya. "Jaga bicaramu Zaid!!" Nando menghampiri, Nayla memekik. Dia ingin menghentikan pertengkaran ini. Namun apa daya, dia tak mampu melakukannya. "Apa? Kau kira aku takut, hah? Kalau berani sini!" Buk! Zaid tersungkur tapi dia bangun lagi. Nampak darah segar menetes dari hidungnya, tapi dia masih bersabar. Dia tidak mau membalas Nando karena dia tahu betul jika itu dia lakukan, maka tak ada bedanya antara dirinya dengan Nando. Dan hal itu tentu akan membuat Nayla tak berpihak kepadanya.

Zaid menyeka darah yang mengalir dengan tengannya. "Oke Nando, jujur aku memang menyukai Nayla. Lebih tepatnya, aku mencintai Nayla. Dan aku tak peduli apapun yang akn kau katakan. Tenang dulu kawan, kau harus terima kenyataan ini." Ejek Zaid. "Tapi aku lebih dulu mengenal dia. Kau jangan bermimpi." Nayla menunduk kaku, tiba-tiba rasa malu menerpa dirinya jika dua pria tersebut berkelahi di muka umum. Kemana harus kusembunyikan muka ini? Nampak salah seorang mahasiswa yang memperhatikan kegaduhan tersebut menyeringai. Ya Tuhan, kalau ada satpam yang dipanggil untuk melerai, matilah mereka. "Sudah sudah, jangan ribut lagi. Apa kalian nggak malu jadi tontonan orang banyak ?" Nayla membentak, Zaid dan Nando saling berpandangan dengan sisa dendam yang masing-masing. "Malulah sedikit, ini tempat umum. Banyak orang berlalu lalang disini." Ujarnya dengan nada yang mulai merendah, mengharap pengertian dari Nando dan Zaid. Sedetik kemudian Zaid mulai mundur dan bergegas memunguti buku-bukunya yang tergeletak di tanah. Sedangkan Nando mendengus kesal dan mulai membantu Nayla bangun. Air mata Nayla hampir saja menetes.

"Malu kenapa Nay?"

"Malu lah, dilihatin banyak orang"

"Malu? Kenapa makan pun harus malu, kan ini bukan bulan Ramadhan." Hah..makan? Nayla baru tersadar dari lamunannya. Bayangan Zaid dan Nando hilang entah kemana. Muncul wajah Anita, Rena dan Fifi yang tersenyum manis. Wajah Fifi nampak bulat berseri. 'Jauhnya aku melamun', bisik hati Nayla. "Eh, kapan kamu sampai?" tegur Nayla dengan lembut. Fifi yang mudah tertawa itu pun langsung terpingkal sembari membetulkan kerudung yang ia pakai. Dalam pertemanan empat sekawan tersebut, hanya Fifi yang sudah menikah mendahului ketiga sahabatnya. Dan sekarang tengah mengandung anak pertamanya. "Ya Tuhan, mamah muda satu ini, sejak hamil bawaannya ketawa mulu. Buat jealous saja ih." Rena berseloroh sambil mencolek perut Fifi yang nampak mulai membuncit. Tingkah Rena kembali membuat Fifi tertawa. "Biar nggak jealous lagi, buruan nikah. Jangan tunggu lama-lama, bahaya!" Mereka berempat tertawa serempak. Sesaat Nayla pun terlupa akan masalah yang sedang merundung jiwanya. Dia tersenyum lalu menggelengkan kepala menyaksikan candaan sahabatnya tersebut. Sedetik kemudian Fifi meraih ayam goreng di depan Rena. "Kamu gimana Nay? Sudah ada titik terang?" Tanya Fifi singkat. Nayla mengangkat bahunya. Dia mengeluh dengan malas kemudian menatap Fifi lagi. "Entahlah Fi, aku belum dapat kerja lagi. Masih jadi pengacara. Pengangguran banyak acara." Jawab Nayla mencoba bergurau. Fifi tersandar dan terdiam. Nayla memainkan sedotan dengan jari telunjuknya. Sementara Anita dan Rena hanya terdiam seribu bahasa.

"Nay, sebenarnya ada yang mau bantu kamu.." Fifi bersuara pelan. Nayla mendongak, pandangan mereka bertemu satu sama lain. Dibenaknya terbayang sosok Arif, pemilik perusahaan arsitek yang terkenal di Semarang. Nayla mengatupkan bibir lembutnya. "Kau tahu kan siapa dia?" Fifi bertanya dan dibalas dengan anggukan oleh Nayla. "Kenapa kamu ceritakan masalah ini kepada dia? Aku nggak mau pertolongan dia."

"Awalnya aku juga nggak mau cerita Nay. Tapi waktu aku mau izin pulang awal hari ini, dia terus mendesak aku buat cerita. Dia bersimpati kepadamu Nay. Terima saja bantuan dari Arif, dia ikhlas kok" desak Fifi. Nayla menelan salivanya. "Seikhlas apapun dia, tetap saja suami orang. Aku nggak mau kalau nantinya dituduh yang bukan-bukan."

"Siapa yang mau menuduh kamu Nay. Istrinya juga nggak peduli dengan dia kok. Mereka itu cuma statusnya saja yang suami istri, tapi urusannya masing-masing." ujar Anita dengan bibir yang agak dimajukan. "Darimana kamu tahu Ann ?' tanya Rena penasaran. "Tahu dong, kakak aku kan sahabat baiknya Devi, istri Arif." Pernyataan Anita membuat Nayla kembali terdiam. 'Arif, kau tak pernah jemu untuk mendapatkan cintaku. Tapi...' belum selesai membatin, Fifi kembali bersuara "Nay, Arif mau ketemu kamu sore ini." Nayla terdiam sejenak lalu menjawab, "Ketemu...kapan?" "Sore ini, jam setengah lima di hotel Gumaya. Arif sungguh ingin ketemu kamu Nay, boleh ya? Kasihan dia Nay.." Nayla melenguh pelan lalu mengangguk perlahan.

"Oke, nanti kita bareng saja ya. Nanti aku mau ke Johar, bisa antar kamu dulu. Setuju?" Fifi tertawa mesra, diikuti anggukan Nayla sebagai tanda persetujuan. "Kita pergi sekarang aja yuk!" Ajak Fifi sembari menarik lengan baju Nayla. Sebagai jawaban, Nayla bangkit dari duduknya dengan malas sambil meraih tasnya. "Rena, Anita...Kita pergi dulu ya." Rena dan Anita hanya menjawab dengan anggukan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status