Share

Bab 3

Fifi mengemudikan mobilnya dengan hati-hati, apalagi dengan kondisinya yang tengah hamil seperti ini. Tak cukup keberanian untuk melajukan mobilnya dengan cepat. Nayla yang di sepanjang perjalanan membiarkan dirinya terdiam, hanya mendengarkan musik dari radio yang diputar didalam mobil itu. Pikirannya menerawang jauh entah kemana. Sesekali Fifi menoleh ke arah Nayla. Dia cukup bersimpati atas kondisi yang dialami sahabat baiknya tersebut. Dia tahu betul kisah hidup Nayla yang telah banyak menanggung penderitaan dan telah banyak berubah sekarang. Tubuhnya kian susut, wajahnya nampak pucat. Hanya senyumnya yang masih tetap sama seperti dahulu. Senyum yang membuat dua jagoan kampus memperebutkannya hingga terjadi baku hantam diantara mereka. Fifi tersenyum ketika mengenang hal itu. 'Ah! Nando dan Zaid sama-sama keras kepala. Tak seorang pun diantara mereka berdua yang sudi mengalah. Pada akhirnya, Nayla juga yang harus menanggung luka. Kasihan dia.

Sejak hubungannya dengan Nando kandas, Nayla seperti kehilangan perasaannya untuk dapat menerima cinta dari lelaki lain. Banyak lelaki yang mencoba mendekati Nayla, namun selalu mendapati penolakan. Meski paham akan keadaan Nayla, terkadang Fifi dan teman Nayla juga merasa bingung dengan sikap Nayla. Memasuki Jalan Gajahmada, Fifi mulai mengomel karena jalan yang sesak dengan kendaraan. Nayla hanya tersenyum melihat bibir mungil itu meracau. "Apa lagi sih ini...sudah sore juga, masih mau macet lagi. Ini yang buat aku malas buat nyetir. Huh!" Fifi menarik Hand break kemudian mendinginkan suhu didalam mobil Honda Civic berwarna putih tersebut. Nayla bergumam dalam hati, 'macet ini akan menjadi halangan untuk perjumpaanku dengan Arif. Biar dia menunggu, kan dia yang mau ketemu aku.' Dia menarik nafas, Nayla memijit kepalanya sendiri yang masih terasa agak pusing. Dia mulai terbayang Arif, lelaki yang ia kenal sejak setahun yang lalu. Bos dari Fifi yang pada awalnya ia anggap sebagai rekan biasa namun pada akhirnya menaruh hati padanya. 'Mustahil aku menerima cintanya, aku tidak pernah menaruh hati kepadanya. Lagipula, aku sudah berjanji. Ya, hanya Nando saja yang aku cinta, tiada yang lain. Sekuntum rindu ini masih aku simpan untuknya, tak akan kuberikan kepada lelaki manapun. Tapi, dimana Nando kini?'

Sempat ia mendengar kabar bahwa Nando pergi ke Australia untuk melanjutkan studinya. Sudah empat tahun berlalu dan Nayla masih juga mengharapkan dia kembali. Bisa jadi Nando sudah menikah dan hidup bahagia bersama keluarganya. 'Mengapa cuma aku saja yang menunggunya? Aku terlalu sayang padanya,' bisik hatinya perlahan. Masih teringat dengan jelas di ingatannya, betapa perhatiannya Nando telah mampu mencuri hatinya. Ketika itu, Nayla demam tinggi, dan Nando lah orang yang merawatnya. Dia membawanya berobat ke klinik, menyiapkan segala kebutuhan. Bahkan ia rela mondar mandir hanya untuk memastikan Nayla baik-baik saja. Sampai membolos kuliah! Semua itu Nando lakukan dengan senang hati dan tanpa keluhan. Baginya, kesehatan dan keamanan Nayla adalah segalanya. Dia tak mau Nayla sakit apalagi disakiti.

Terlalu banyak kenangan manis yang tertinggal dihatinya. Seperti ketika ia menerima bunga matahari berwarna kuning sempurna dengan kartu ucapan yang diletakkan diatas tempat duduknya saat kuliah. Sontak hal tersebut menjadi bahan tertawaan teman-teman sekelasnya. "Hahaha, orang lain dapat bunga mawar merah di hari valentine. Tapi kamu malah dapat bunga matahari berwarna kuning, seperti bunga untuk orang mati saja" ejek teman-temannya disertai gelak tawa. Tapi Nayla tak ambil pusing dengan itu semua. Dia bahagia dengan pemberian Nando. Dia tahu, bunga mawar jadi lebih mahal ketika hari valentine. Bunga matahari boleh lah. Sama-sama bunga. Nayla senyum sendiri. Nando adalah tipe lelaki yang pandai menciptakan kejutan-kejutan yang tak terduga. Hal itulah yang membuat hubungan mereka kian erat. Nayla tersenyum puas mengenang nostalgia yang dapat menenangkan pikirannya. Ah! itu hanya kenangan, lupakan sajalah kalau bisa.

"Nay, kamu tak berniat mengakhiri masa lajangmu ini ?" Fifi bertanya setelah melihat Nayla tersenyum sediri. Nayla menoleh ke arah Fifi, pertanyaan itu sering ia dapatkan dari teman-temannya. Nayla menggelengkan kepalanya kemudian membuka kaca jendela mobil untuk menadahkan tangannya keluar. " Gerimis, Fi." ujarnya pelan lalu menaikkan kembali kaca mobil. "Kamu mau tunggu siapa lagi Nay? Bukannya tak ada yang menyukaimu dengan serius, tapi kamunya yang tak mau dengan mereka. Jangan gitu lah Nay..." 

"Jodoh belum datang, Fifi sayang, habis mau gimana lagi? Biar aja lah, aku nggak mau terlalu sibuk mikirin soal jodoh. Aku yakin kok, Allah sudah menyiapkannya untukku. Tinggal nunggu datangnya pertemuan aja. Cepat atau lambat pasti bakal ketemu kok." Nayla tersenyum melihat Fifi tertawa kecil dan kemudian disusul tawa yang keras. Ketika mobil mulai bergerak, Fifi kembali mengemudi, tetapi baru beberapa meter berjalan mobil sudah berhenti lagi. Lagi-lagi Fifi hanya bisa mendengus kesal. "Tapi Tuhan menyuruh kita untuk berusaha, bukan hanya pasrah saja. Setahuku nih, banyak kok yang ngejar-ngejar kamu. Bahkan sejak masih kuliah dulu. Lihat saja Makhfudin, bahkan setelah lulus dari kampus dia juga masih mengharap cintamu." Nayla tertawa, "Makhfudin? Yang bener aja Fi. Kenapa juga kamu gosipkan aku dengan dia, setahuku dia sekarang ada di Jepang." Masih ada sisa tawa dari Nayla ketika mengatakan kalimat tersebut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status