Share

Bab 4

"Terus siapa dong, Iqbal? Dia itu ganteng banget lho!"

"Buat apa ganteng kalau lebih pendek dari aku." Kali ini Nayla dan Fifi kompak untuk tertawa. Lucu rasanya, ketika mengenang sosok Iqbal. Lelaki yang lebih muda dan lebih pendek dari Nayla namun tetap coba memikat hati Nayla. Sebenarnya dia lelaki yang cukup menarik, dia tampan, kulitnya kuning langsat. Dia juga termasuk mahasiswa yang populer di kampus. Karena dia sosok yang aktif dengan organisasi pecinta alam. Seringkali ia melakukan kegiatan diluar ruangan. Yang paling sering adalah mendaki gunung. Karena alasan tersebutlah dia populer dikalangan mahasiswa yang lain. Hanya saja, dia memiliki tubuh yang pendek yang membuatnya tampak tak begitu menarik dimata Nayla. Pada akhirnya, dia harus menarik diri ketika Nando memberikan sedikit gertakan. "Halah Nay...aku tahu kau mencoba untuk menunggu Nando. Pria tampan idaman kaum hawa. Kenapa kamu masih mau menunggunya sih?" Mobil kembali melaju. "Aku antar sampai depan hotel ya Nay?" Ucap Fifi sembari terus mengemudi. "Aku bahagia dengan penantian ini Fi, biar kutunggu selagi aku masih mampu. Akan ku buktikan bahwa aku adalah penanti yang handal." Nayla menjawab pertanyaan Fifi. Kemudian, tepat di depan Hotel Gumaya mobil yang dikemudikan Fifi berhenti. Nayla keluar dari mobil, "Makasih ya Fi, kamu hati-hati dijalan. Jangan ngebut, masih hujan jalan licin."

Nayla kemudian berlari menerobos hujan yang mulai agak lebih lebat dibandingkan tadi dan menuju ke dalam Hotel Gumaya yang berdiri kokoh dihadapannya. Dia mengeluarkan sehelai tisu lalu disekanya air hujan yang masih tersisa di wajahnya. Langit nampak mulai gelap ketika jam di pergelangan tangannya menunjukkan pukul 18.17 waktu setempat. Cuaca semakin dingin, Nayla hampir menggigil dibuatnya. Dia mengeluarkan kacamatanya dari dalam tas selempang berwarna hitam yang ia bawa. Maklum, penglihatannya menurun ketika malam hari. Nayla melangkah masuk ke dalam hotel, tak butuh waktu lama matanya manangkap sosok lelaki yang dikenalinya. Ya, lelaki itu tak lain adalah Arif yang sedang asyik membaca surat kabar. Dia duduk di sudut sebelah kanan yang berdekatan dengan dinding kaca yang menampilkan pemandangan luar yang bernuansakan perkampungan yang asri. Sementara diluar hujan masih terus membasahi bumi di Kota Semarang. Kembali kepada Arif, lelaki keturunan Tionghoa tersebut nampak begitu fokus membaca surat kabar.

"Assalamualaikum..." sapa Nayla. Arif mengalihkan pandangannya ke sumber suara lalu menampilkan senyum. Sepasang lesung pipit terlihat dari kedua pipinya. Dia mendorong sedikit kursi ke belakang, memberi ruang kepada Nayla untuk dapat duduk dengan nyaman. "Maaf ya Mas, sudah membuatmu menunggu lama. Macet parah." Nayla memberi penjelasan. Arif yang tenang itu hanya membalas dengan senyuman. Sejujurnya, dia begitu bahagia melihat gadis yang ada didepannya tersebut. Matanya yang bening itu seakan menyimpan rahasia. Salam Nayla dijawabnya didalam hati. Gadis ini sangat ia cintai, meskipun dia tahu bahwa dengan kedudukan yang dimilikinya dia bisa mendapatkan gadis yang jauh lebih menggoda dan bergaya. Tetapi justru kesederhanaan lah yang membuat Arif jatuh cinta kepada Nayla. "Tak apa Nay, aku juga baru sampai kok. Kamu kehujanan kah? Aku khawatir kamu kehujanan dan basah kuyup." Nayla tersenyum, 'kenapa lelaki ini menaruh perhatiannya padaku. Aku bukan anak kecil yang tak boleh kena air hujan.'

Nayla tersenyum singkat, dia menggelengkan kepala sambil mengelap sisa air hujan yang masih menempel di rambutnya. "Hujannya nggak terlalu lebat kok, biasa saja. Lagian juga hujannya masih air, bukan hujan batu. Bukan masalah kok." Nayla bersuara lembut. Alunan musik dari musisi lokal di ruang tengah begitu mengasyikkan. Salah seorang musisi yang sedang memainkan piano mengangkat tangannya. Arif membalasnya kemudian mengacungkan ibu jarinya. Nayla paham betul dengan isyarat yang diberikan Arif. Hal itu berarti perintah untuk memainkan lagu kesukaan Nayla, yaitu 'Always on my mind'. "Masih belum bosan dengan lagu itu?" Nayla membuka percakapan hanya dengan maksud untuk memecah kesunyian diantara mereka agar suasana tidak terlalu canggung. Entah mengapa hatinya seolah-olah dipanggil pulang ke Kendal, tempat dimana ia lahir lalu dibesarkan. Arif berdehem kemudian memalingkan pandangannya ke arah gadis yang sungguh mampu memikat hatinya itu. Raut wajah tersebut nampak begitu tenang. "Kau tahu, aku tak pernah bosan sedikitpun mendengar lagu ini. Dan aku juga tak pernah bosan menunggu." Dengan rendah diri ia berseru. Lidah Nayla menjadi kelu. Aduh! kalimat macam apa yang tepat untuk saat ini? Kenapa juga dia masih bersikukuh menagih keputusanku? Nayla mulai gelisah.

Disaat genting ini, seorang pramusaji datang menjadi penyelamat. Pramusaji tersebut menghampiri Arif dan Nayla dengan memamerkan seberkas senyum. "Hot chocolate, please," kata Nayla. Sesaat kemudian, musisi yang tadi terlihat sudah mulai memainkan lagu yang sangat ia kenal, 'Always On My Mind' yang tadi di minta oleh Arif. Senyum puas nampak dari paras seorang Arif, 'Lagu untukmu, Nayla' desisnya dalam hati. Suasana kembali hening, Nayla nampak menikmati lagu tersebut. Ya, lagu tersebut juga merupakan kenangan baginya. Nando pernah menyanyikan lagu ini untuknya ketika suasana hujan seperti ini. Dengan diiringi gitar dan sekuntum bunga matahari yang diselipkan ke telinga Nayla, alunan suara Nando yang merdu terngiang hingga kini ditelinga Nayla. Entah mengapa justru Nando yang hadir di otaknya padahal ia tengah berhadapan dengan Arif. Mungkin sekuntum rindu ini memang masih menjadi milik Nando seorang. Sehingga momen seperti ini menjadi terasa seperti de javu untuknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status