Share

Bab 5 - Hendra Marah

BUNGA Lestari, nama gadis itu, bukan Bunga Citra Lestari atau BCL yang menjadi artis. Tetapi, wajahnya memang mirip sekali dengan BCL.

Wajahnya lonjong, hidungnya panjang, dan rambutnya lurus dengan ujung bergelombang. Tetapi yang membuatnya mirip banget dengan BCL adalah tatapan mata dan bentuk bibirnya yang sangat sensual. Mirip banget dengan BCL, apalagi jika bibir itu sedikit terbuka.

Heru yang memandangnya tidak bisa menahan untuk tidak menelan ludah. Bibir itu seksi banget, seakan mengandung madu yang manis dan segar sehingga kalau dikecup bisa melepaskan dahaga seorang perindu!

Tatap matanya agak-agak sayu, membuat orang yang memandangnya akan merasa iba, merasa sayang, dan tidak ingin membiarkannya menderita. Mata itu dihiasi oleh bulu mata yang lentik, dan alis tipis yang melengkung indah.

“Bunga, kamu cantik sekali…” desis Heru sambil memandang gadis itu tanpa berkedip.

Bunga mengangkat matanya menatap Heru, namun tetap diam dan kembali menyedot minumannya.

Gadis itu kayaknya suka angin-anginan juga. Sebentar dia riang dan ceria, sebentar kemudian dia bisa diam seakan tanpa emosi.

Heru penasaran. Dia mencoba meraih tangan Bunga di atas meja, namun Bunga mengelak. “Bunga, boleh aku ke rumahmu?” akhirnya hanya kata itu yang bisa diucapkan Heru.

Bunga kembali menatapnya, lalu tersenyum kecil. “Mau ngapain?” tanyanya.

“Hmm… ngapelin kamu, tentunya,” sahut Heru to the point.

Bunga menggeleng, seperti anak kecil yang manja.

“Please…” rayu Heru dengan suara memelas.

“Tidak! Papa mamaku galak,” kata Bunga.

‘Wah, sulit ini,’ Heru membathin. Tetapi dia tidak ingin menyerah, dia ingin memacari Bunga.

“Oke, kalau gitu kita ke tempatku saja.”

“Mau ngapain?” Lagi-lagi Bunga bertanya seakan-akan dia tidak mengerti tujuan Heru. Sekarang giliran Heru yang bingung menjawabnya. Masak perlu dijelaskan?

Heru mengganti siasat. “Bunga, mau nggak menjadi pacar aku?”

Gila, to the point banget, kan?

Tetapi Bunga yang mendengar itu bersikap biasa saja, bahkan masih sibuk menyedot minumannya. “Yang ke berapa?” tanyanya kemudian.

‘Ya Tuhan,’ seru Heru dalam hati. Anak ini sudah dewasa belum sih? Atau, terlalu polos? Atau, dia ingin mempermainkannya?

“Tentu yang terakhir,” sahut Heru mencoba memberi keyakinan.

“Sekarang ada berapa?” tanya Bunga acuh tak acuh.

“Hmm… tidak ada!”

“Bohong!”

“Sumpah…”

“Tidak mungkin!”

“Bunga, ngapain aku meminta kamu kalau memang ada…”

Bunga memotong alasan Heru. “Mas Heru… mas Heru! Tampangmu itu kelihatan banget kalau kamu itu buaya, hahaha!”

Muka Heru rasanya seperti menjadi beku, kaku, dan tidak bisa digerakkan. Ada rasa malu, kesal, kecewa. Baru kali ini dia bertemu gadis yang menanggapi rayuannya dengan penuh kontrol dan percaya diri. Padahal anak itu masih muda, mungkin baru masuk kuliah atau paling tinggi tingkat dua!

Lama keduanya berdiam diri. Bunga sibuk dengan minumannya sambil melihat-lihat ponsel, sedangkan Heru merasa lemas karena rayuannya tidak berhasil. Dia ingin mencoba lagi, namun bagaimana caranya? Bunga tampaknya tidak berminat, dan mungkin menganggapnya teman atau kenalan biasa saja.

Pada saat itulah tiba-tiba dua orang pemuda berdiri dekat meja mereka. Salah seorang berkata dengan nada kasar kepada Bunga. “Jadi ini pacar baru lu?”

Bunga terkesiap, memandang kepada pemuda itu dengan kaget. “Apa maksud lu Hendra! Ngapain kamu ngurusin gue?”

Si pemuda malah naik pitam. “Ah dasar kamu tukang selingkuh!”

Hendra menghadap ke arah Heru, lalu berkata sambil menuding dirinya, “Heh! Gue pacarnya Bunga!”

Heru diam saja, tidak tahu harus bersikap apa. Tetapi Bunga yang beraksi, marah!

“Heh, Hendra! Jaga mulut lu! Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa. Kamu kembali saja ke papimu yang sok kaya itu!”

“Tutup mulut lu, Bunga! Kamu hanya mencari alasan saja, karena kamu punya pacar baru!”

Bunga yang merasa tidak ingin meladeni Hendra, bangkit dari kursinya dan menarik tangan Heru. “Ayo mas, kita pergi!”

Tetapi Hendra mencegat Heru. “Eh, enak saja kamu. Sudah merebut pacar orang malah hendak kabur!”

Heru menepis tangan Hendra. “Sorry, aku tidak mengerti masalah kalian…”

Merasa tidak ditanggapi dan hendak ditinggal, Hendra tambah sakit hati. Dia harus melampiaskan kekesalannya pada seseorang, dan tentu sasaran paling tepat adalah laki-laki yang telah merebut Bunga darinya.

“Bangsat kamu!” bentak Hendra sambil memukul ke arah muka Heru. Untung Heru sempat mundur sehingga tidak terkena pukulan, tetapi dia menabrak meja yang lain sehingga hidangan di atas meja itu berantakan dan jatuh.

Keributan itu serta-merta membuat heboh pengunjung kafe. Beberapa orang karyawan kafe tampak meringkus Hendra, namun pemuda itu berontak dan masih ingin menyerang Heru.

Bunga menarik tangan Heru segera keluar dari kafe. Untunglah kafe itu sistim bayar duluan sehingga mereka tidak repot lagi melakukan pembayaran saat keributan terjadi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status