BUNGA Lestari, nama gadis itu, bukan Bunga Citra Lestari atau BCL yang menjadi artis. Tetapi, wajahnya memang mirip sekali dengan BCL.
Wajahnya lonjong, hidungnya panjang, dan rambutnya lurus dengan ujung bergelombang. Tetapi yang membuatnya mirip banget dengan BCL adalah tatapan mata dan bentuk bibirnya yang sangat sensual. Mirip banget dengan BCL, apalagi jika bibir itu sedikit terbuka.
Heru yang memandangnya tidak bisa menahan untuk tidak menelan ludah. Bibir itu seksi banget, seakan mengandung madu yang manis dan segar sehingga kalau dikecup bisa melepaskan dahaga seorang perindu!
Tatap matanya agak-agak sayu, membuat orang yang memandangnya akan merasa iba, merasa sayang, dan tidak ingin membiarkannya menderita. Mata itu dihiasi oleh bulu mata yang lentik, dan alis tipis yang melengkung indah.
“Bunga, kamu cantik sekali…” desis Heru sambil memandang gadis itu tanpa berkedip.
Bunga mengangkat matanya menatap Heru, namun tetap diam dan kembali menyedot minumannya.
Gadis itu kayaknya suka angin-anginan juga. Sebentar dia riang dan ceria, sebentar kemudian dia bisa diam seakan tanpa emosi.
Heru penasaran. Dia mencoba meraih tangan Bunga di atas meja, namun Bunga mengelak. “Bunga, boleh aku ke rumahmu?” akhirnya hanya kata itu yang bisa diucapkan Heru.
Bunga kembali menatapnya, lalu tersenyum kecil. “Mau ngapain?” tanyanya.
“Hmm… ngapelin kamu, tentunya,” sahut Heru to the point.
Bunga menggeleng, seperti anak kecil yang manja.
“Please…” rayu Heru dengan suara memelas.
“Tidak! Papa mamaku galak,” kata Bunga.
‘Wah, sulit ini,’ Heru membathin. Tetapi dia tidak ingin menyerah, dia ingin memacari Bunga.
“Oke, kalau gitu kita ke tempatku saja.”
“Mau ngapain?” Lagi-lagi Bunga bertanya seakan-akan dia tidak mengerti tujuan Heru. Sekarang giliran Heru yang bingung menjawabnya. Masak perlu dijelaskan?
Heru mengganti siasat. “Bunga, mau nggak menjadi pacar aku?”
Gila, to the point banget, kan?
Tetapi Bunga yang mendengar itu bersikap biasa saja, bahkan masih sibuk menyedot minumannya. “Yang ke berapa?” tanyanya kemudian.
‘Ya Tuhan,’ seru Heru dalam hati. Anak ini sudah dewasa belum sih? Atau, terlalu polos? Atau, dia ingin mempermainkannya?
“Tentu yang terakhir,” sahut Heru mencoba memberi keyakinan.
“Sekarang ada berapa?” tanya Bunga acuh tak acuh.
“Hmm… tidak ada!”
“Bohong!”
“Sumpah…”
“Tidak mungkin!”
“Bunga, ngapain aku meminta kamu kalau memang ada…”
Bunga memotong alasan Heru. “Mas Heru… mas Heru! Tampangmu itu kelihatan banget kalau kamu itu buaya, hahaha!”
Muka Heru rasanya seperti menjadi beku, kaku, dan tidak bisa digerakkan. Ada rasa malu, kesal, kecewa. Baru kali ini dia bertemu gadis yang menanggapi rayuannya dengan penuh kontrol dan percaya diri. Padahal anak itu masih muda, mungkin baru masuk kuliah atau paling tinggi tingkat dua!
Lama keduanya berdiam diri. Bunga sibuk dengan minumannya sambil melihat-lihat ponsel, sedangkan Heru merasa lemas karena rayuannya tidak berhasil. Dia ingin mencoba lagi, namun bagaimana caranya? Bunga tampaknya tidak berminat, dan mungkin menganggapnya teman atau kenalan biasa saja.
Pada saat itulah tiba-tiba dua orang pemuda berdiri dekat meja mereka. Salah seorang berkata dengan nada kasar kepada Bunga. “Jadi ini pacar baru lu?”
Bunga terkesiap, memandang kepada pemuda itu dengan kaget. “Apa maksud lu Hendra! Ngapain kamu ngurusin gue?”
Si pemuda malah naik pitam. “Ah dasar kamu tukang selingkuh!”
Hendra menghadap ke arah Heru, lalu berkata sambil menuding dirinya, “Heh! Gue pacarnya Bunga!”
Heru diam saja, tidak tahu harus bersikap apa. Tetapi Bunga yang beraksi, marah!
“Heh, Hendra! Jaga mulut lu! Kita sudah tidak ada hubungan apa-apa. Kamu kembali saja ke papimu yang sok kaya itu!”
“Tutup mulut lu, Bunga! Kamu hanya mencari alasan saja, karena kamu punya pacar baru!”
Bunga yang merasa tidak ingin meladeni Hendra, bangkit dari kursinya dan menarik tangan Heru. “Ayo mas, kita pergi!”
Tetapi Hendra mencegat Heru. “Eh, enak saja kamu. Sudah merebut pacar orang malah hendak kabur!”
Heru menepis tangan Hendra. “Sorry, aku tidak mengerti masalah kalian…”
Merasa tidak ditanggapi dan hendak ditinggal, Hendra tambah sakit hati. Dia harus melampiaskan kekesalannya pada seseorang, dan tentu sasaran paling tepat adalah laki-laki yang telah merebut Bunga darinya.
“Bangsat kamu!” bentak Hendra sambil memukul ke arah muka Heru. Untung Heru sempat mundur sehingga tidak terkena pukulan, tetapi dia menabrak meja yang lain sehingga hidangan di atas meja itu berantakan dan jatuh.
Keributan itu serta-merta membuat heboh pengunjung kafe. Beberapa orang karyawan kafe tampak meringkus Hendra, namun pemuda itu berontak dan masih ingin menyerang Heru.
Bunga menarik tangan Heru segera keluar dari kafe. Untunglah kafe itu sistim bayar duluan sehingga mereka tidak repot lagi melakukan pembayaran saat keributan terjadi.
BUNGA dan Heru berjalan tergesa-gesa keluar dari mall dan Tower A, menghindari pandangan orang-orang yang melihat keributan yang terjadi di kafe tadi. Langkah keduanya seakan tidak ragu mengarah ke Tower C, tempat apartemen Heru berada. “Sialan si Hendra itu,” sungut Bunga. Bagaimana pun, dia dibuat malu di tempat umum, dan merasa tidak enak dengan Heru yang baru dikenalnya. ‘Tukang selingkuh? Hendra bilang aku tukang selingkuh? Sialan bener!’ Menyadari langkahnya yang menuju ke Tower C, Bunga tiba-tiba berhenti. “Ngapain kita ke sini?” tanyanya bingung. “Tidak apa-apa,” sahut Heru. “Kita ke tempatku saja.” “Tempatmu? Kamu tinggal di sini?” “Iya, ayo kita naik.” “Ah!” Bunga tampak ragu-ragu. Melihat itu, Heru segera menarik tangannya dan menggandengnya menuju ke lift. Teteapi Bunga tetap ragu. “Aku tidak mau, aku mau pulang saja!” Heru tidak ingin memaksanya, nanti malah menimbulkan salah pengertian. “Oke, apaka
RUDI langsung datang ke apartemen Heru setelah mendapat khabar dari temannya itu bahwa dia dikeroyok orang dekat mall. Heru menceritakan kronologi kejadian itu. “Kamu punya nomor telepon Bunga?” tanya Rudi. Heru memberikan nomor telepon Bunga. “Tetapi jangan kasih tahu Bunga kalau aku dikeroyok!” pinta Heru. “Hmm, gimana aku bisa cari tahu siapa si Hendra kalau nggak tanya sama Bunga?” tanya Rudi bingung. Tetapi dia kemudian mendapat akal. “Aku akan minta bantuan Astrid, kebetulan aku punya nomor teleponnya.” Heru ingat, Astrid adalah teman Bunga yang mirip artis Luna Maya. ‘Wah, rupanya Rudi sudah menjalin kontak dengan si Luna Maya itu…’ pikir Heru. Heru mengubungi Astrid. “Hallo sayang…” ‘Gila, udah sayang-sayangan saja!’ bathin Heru hampir tidak dapat menahan ketawanya. Dia kenal sifat Rudi, orangnya memang tidak panjang sungkan, mudah akrab dengan orang, dan tidak banyak tedeng aling-aling. Cukup lama juga
MEMANG sih Rudi anak orang kaya, bos perusahaan properti yang memiliki perumahan dan apartemen di mana-mana. Tetapi mana bisa dia menyerahkan mobil seperti itu begitu saja? Kawan sih kawan, tetapi apa keuntungan bagi Rudi sehingga begitu baiknya kepada Heru? Tiba-tiba ponsel Rudi berdering. “Ya, hallo?” Sejenak Rudi mendengarkan berita via telepon itu, lalu katanya, “Catcha!!” “Dapat?” tanya Heru. “Yoi! Dia lagi pesta di daerah Tebet, sama kawan-kawannya.” Mobil mereka pun meluncur ke daerah Tebet, masih di area Jakarta Selatan. Oleh karena sudah malam, sudah jam sebelas malam, jalanan sudah mulai sepi sehingga tidak lama mereka sudah sampai di TKP. Seorang lelaki tinggi besar dan beberapa orang lainnya menghampiri mobil mereka. Lelaki tinggi besar itu layaknya si BA di dalam film jadul “The A Team”. Pantas saja namanya Samson! Tetapi ketika berbicara, si Samson ini berlogat seperti orang Batak (sebuah suku di Sumatera Utara, I
RUDI mengantar Heru kembali ke apartemen. Di dalam mobil, Heru hanya diam, tidak tahu harus ngomong apa. Peristiwa tadi benar-benar mencekam bathinnya. Walaupun dia yang menjadi korban pengeroyokan dan mengalami sakitnya, namun dia tidak akan memberikan hukuman sekeras itu. “Sudahlah, Her. Nanti kamu akan terbiasa juga,” kata Rudi memecahkan kekakuan di antara mereka. “Aku tidak tahu kamu bisa sekejam itu,” sahut Heru dengan suara yang tercekat. Rudi menyeringai. “Aku terlalu kejam, ya?” Heru tidak menjawab, jadi Rudi melanjutkan ucapannya, “bukan aku yang melakukannya, kan?” “Tapi atas perintahmu,” tukas Heru. “Her, dunia ini lebih kejam lagi. Samson dan anak buahnya itu hanya mencari makan dengan cara itu, mereka tidak bisa yang lain. Mereka mau kerja kantoran tidak bisa. Lalu siapa yang memberi makan mereka? Aku hanya memanfaatkan jasa mereka, memberi mereka pekerjaan. Aku juga mendidik anak-anak kurang ajar macam Hendra itu agar ti
“MAS, ada apa?” tanya Mila melihat Heru yang berubah jadi murung.Heru menghela nafas, lalu mencoba tersenyum kepada Mila. Kasihan gadis itu, dia pasti sudah jatuh cinta kepadanya.Bagi Heru, Mila cukup manis, dan mempunyai daya tarik atau sex appeal yang sangat tinggi terhadap Heru. Melihatnya saja sudah membuat Heru birahi, apalagi berdekatan, mencium bau harum di rambut dan badannya, menyentuhnya!Heru merasakan kelezatan yang tiada tara ketika mengecup bibir Mila, mengejar-ngejar lidahnya yang menari-nari di rongga mulutnya! Heru merasakan kasih sayang yang luar biasa ketika memeluk Mila, mendekapnya seerat-eratnya, menindihnya. Walaupun sampai saat ini mereka belum sampai bersenggama, hampir-hampir saja karena mereka sudah mabok birahi, namun ada saja yang menghalangi hal itu terjadi.Tetapi, dibandingkan dengan Bunga, Heru lebih memilih Bunga!Bunga termasuk gadis impiannya. Gadis itu tampak lebih putih dan ranum, lebih sumringah.
KETIKA keluar dari kamar mandi, Heru tidak melihat Mila lagi. Gadis itu sudah pergi meninggalkan apartemennya. Heru buru-buru menelepon Mila, tetapi teleponnya di-reject! Beberapa kali Heru mencoba, kuatir ada masalah sambungan telepon, tetapi tetap saja, teleponnya memang di-reject oleh Mila. Heru akhirnya mengirim pesan WA saja. “Mil, kok pergi?” Muncul jawaban dari Mila. “Sudahlah, mas. Jika sudah ada orang lain, lupakan aku!” Astaga! Heru terkulai, duduk di tempat tidurnya walaupun masih bersarung handuk. Dia melempar ponselnya ke atas tempat tidur. … Mila tentu saja mendengar Heru berbicara di telepon dalam kamar mandi. Apartemen Heru hanya sebuah studio kecil, mirip kamar hotel saja. Walaupun dia tidak bisa mendengarkan pembicaraan itu dengan jelas, namun hati kecilnya sudah merasakan bahwa ada seorang wanita lain yang sedang menghubungi Heru. Pantas saja Heru mematikan telepon itu tadi. Pantas saj
SETELAH sampai di mobil, Heru menelepon Bunga. Tidak lama, telepon itu diangkat. “Ya?” terdengar suara Bunga namun ketus.Heru mengatur nada suaranya. “Hallo sayang…”Diam. Bunga tidak menyahutnya.“Bunga sayang, aku sudah di mobil. Siap meluncur ke tempat kamu.”Sesaat Bunga diam saja, tetapi kemudian menyahut, “emang tahu rumahku di mana?”Heru tersenyum. Sebuah lampu sudah menyala, tinggal menyalakan lampu-lampu yang lainnya.“Justru karena itu aku telepon, sayang…”“Sayang… sayang… gombal!”Heru tertawa geli, tetapi menutup mic di ponselnya agar tidak terdengar Bunga.“Bunga sayang, kasih tahu alamatmu biar aku segera jalan nih,” rayu Heru. Tetapi, Bunga malah menutup telepon!Heru kaget lalu melihat ponselnya. Apakah terputus?Tiba-tiba sebuah pesan WhatsApp masuk, dari Bunga. Isinya adalah s
“BY THE WAY, kok kamu marah sih di telepon tadi pagi?” tanya Heru ingin membuka simpul kesalahpahaman mereka. Tetapi Heru lupa kalau Bunga itu orangnnya cerdas dan teliti. Pertanyaan itu seperti menggali kuburnya sendiri! Sejenak Bunga menatap Heru. Pandang mata Bunga begitu teduh, menenggelamkan, namun indah karena dihias oleh bulu mata yang lentik. Tetapi, pandangan itu mampu menyelami hati hingga yang paling dalam. “Kamu tadi sama siapa?” akhirnya dia bertanya, sambil tangannya menopang dagu. Pertanyaan itu tentu saja mengejutkan Heru, betapa stright to the point-nya, menembak dengan sangat jitu! Heru tidak bisa menjawabnya. Jika dia bohong, Bunga akan tahu! Tetapi jika dia jujur, sedang bersama Mila sahabat Bunga sendiri, maka kiamat akan segera tiba! Terpaksa Heru berlagak bego! “Waktu kamu telepon, aku lagi di kamar mandi,” jawab Heru, jauh dari konteks pertanyaan. Memang seperti itulah cara lelaki menghadapi todongan se