Share

Tiga

"Kata siapa?" Ayu yang lembut dan tenang kini berteriak seolah-olah aku bukan suaminya.

Aku menahan sesak, gemuruh di dada begitu memuncak. Emosi pun kian membuat aku semakin panas berdebad dengan Ayu. Bisa-bisanya dia berteriak di hadapan suaminya.

"Kata Siapa aku berselingkuh, Mas?" Lagi, ia mempertanyakan padaku. Wajahnya semakin memerah menahan marah.

Tidak mungkin aku mengatakan jika ibu dan Arman mengira-ngira saja karena mendengar ceritaku. Ini belum pasti, tetapi aku tak dapat mengontrol emosi.

"Bukan kata siapa-siapa, mana mungkin kamu bisa membeli beberapa barang. Apalagi lagi kamu sempat hangout bersama teman-teman kamu. Sedangkan--"

"Sedangkan kamu hanya memberikan sisa uang gaji setelah kamu berikan pada ibumu dan untuk kau pegang, kan?"

Posisi ini membuat aku serba salah. Tak bertanya, tapi penasaran. Saat bertanya, malah menjadi bumerang untukku. Kenapa lagi-lagi membahas uang gaji, sih? Apa kurang? 

"Aku hanya bertanya, tinggal jawab apa susahnya, sih."

"Susah Mas. Kalau aku mau selingkuh, sih, dari kemarin-kemarin. Secara, aku nggak jelek-jelek banget. Bisa aja aku menghubungi mantanku yang pemilik restoran itu dan mengajaknya kembali. Lebih baik dan uangnya banyak, nggak kaya kamu. Cuma mikir perut keluarga kamu!"

"Jadi kamu ada niat selingkuh?" Aku bertanya balik.

"Tadinya nggak, sekarang aku pikir-pikir dululah. Dari pada tuduhan kamu mubazir, kan kalau bener biar sekalian." 

Ayu benar-benar membuat aku murka. Kuusap wajah kasar, lalu mengempaskan bokong di sofa. Bukannya merasa bersalah, ia malah acuh dan kembali bermain boneka dengan Anita. 

Lucu bukan?

Aku seperti kebakaran jenggot. Eh, dia malah seperti itu. Benar-benar dingin dan malah nantangin.

"Kamu kalau bicara janga asal. Kalau dibalik posisinya, aku yang berselingkuh bagaimana?" 

Ayu menyunggingkan senyum. Lagi aku merasa takut melihat ekspresi wajahnya seperti itu.

"Lalu, kalau kita tukeran tempat bagaimana? Aku bekerja dan Mas di rumah menjaga anak dan kuberikan sedikit uang sayur? Bisa? Tapi, kalau Mas selingkuh, sih, terserah. Kuat berapa lama sih, Mas mengeluarkan uang banyak untuk selingkuhan Mas? Secara, Mas merki bin kudet."

"Ayu!" Aku kembali berteriak hingga membuat Anita loncat ke pelukan Ayu.

"Cup, jangan nangis, Papa lagi main drama sama Mama. Jadi, ya, ada adegan teriaknya."

Anita memindahi wajahku dan Mamanya. Setelah itu, anak itu menjadi tenang dan kembali bermain.

Ayu bangkit dari duduk, ia malah menarikku ke luar.

"Sudah aku katakan, jangan pernah berteriak di hadapan anak-anak. Kamu pikir ini hutan?"

"Ucapan kamu tidak pantas didengar Ayu!"

"Lalu, apa kamu juga pantas menuduhku selingkuh? Pikirkan, sudah menjadi suami yang baik apa belum," ujarnya sambil menepuk pundakku.

Ayu lalu melangkah lagi ke dapur. Entah apa yang ia kerjakan sekarang. Aku hanya bisa mengelus dada menghadapi sikapnya yang semakin membuat kepala ini sakit.

***

[Mar, kemarin Mba lihat istrimu ke salon sore. Manteb banget sekali perawatan sampai dua juta]

Mataku melebar saat mendapat pesan masuk dari Mba Laras--kakakku. Dua juta rupiah dia habiskan untuk ke salon? Nominal berbeda lima ratus ribu rupiah dengan uang yang biasa aku pakai.

Astaga, teka teki ini membuat aku gila. CCTV pun yang kupasang tak menunjukan gerak gerik Ayu yang mencurigakan. Hanya saja ia selalu pulang sore bersama anak-anak. Lalu, sepertinya dia tidak berada di rumah siang hari, kemana dia?

Dering ponsel kembali berdering.

"Ya, Bu." Aku menjawab telepon ibu.

"Besok jangan lupa, ya. Kita ada undangan pernikahan. Jemput ibu nanti, sekalian Mba Laras mau ikut." Suara Ibu jelas terdengar di ponselku.

"Iya, aku nggak lupa," jawabku.

Aku menutup ponsel setelah Ibu berbicara. Besok ada acara keluarga, pasti Ayu kembali menjadi perbincangan. Kali ini pasti akan tetang kecantikannya.

Harusnya aku bangga, bukan malah berprasangka buruk. Namun, ia mendapatkan uang sebanyak itu dari mana?

Aku mencari Ayu ke kamar anak-anak, tapi dia tak ada. Lalu, kemana dia?

Gegas aku ke luar halaman. Ah, belum sampai luar, aku sudah melihat istriku sedang bersantai, duduk sambil meminum segelas cokelat hangat sambil membaca buku.

Buku apa yang Ayu baca? Hah, buku semasa sekolahnya dulu, akuntansi perbankan. Apa dia mau kuliah lagi apa hanya sekadar iseng?

"Tumben kamu baca buku kuliah?" tanyaku iseng.

"Nggak ada bacaan lain." Dia hanya menjawab singkat.

"Kan banyak bacaan online di plamfon?" 

"Isinya drama rumah tangga doang. Istri yang stres akibat suaminya selingkuh sama bodoh," ujarnya.

"Bodoh?"

"Iya, bodoh. Lebih mementingkan diri sendiri dan keluarganya. Setelah itu istrinya kabur, baru deh nyesel tujuh turunan dan ngemis-ngemis minta balikan, tapi istrinya nggak mau. Ngenes, kan?" Senyum itu menghias bibir Ayu. Lalu, menyeruput cokelat panasnya.

Aku bergeming. Dia sedang membicarakan satu cerbung atau aku?

***

Aku meremas ujung baju. Kali ini Ayu benar-benar berubah. Dia yang lembut dan sabar, kini berubah dan aku tak mengerti bagaimana bisa ia memutar-mutar kalimat hingga membuat aku tersudut.

"Kamu mengejek, aku?" tanyaku kesal.

"Apanya mengejek? Bukannya kamu tanya, ya aku jawab. Kalau nggak percaya, lihat saja plamfon ijo di ponsel kamu. Baca saja, tapi ingat, jangan baper." Ayu tersenyum lagi.

"Baper gimana?" 

"Karena aku pikir lama-lama kok mirip sama kamu, ya, tokohnya. Cuma, bedanya nggak selingkuh, eh, tapi nggak tahu deh kalau selingkuh apa nggaknya."

Kesal, itu yang aku rasakan. Lebih baik aku tinggalkan istriku yang semakin sableng. Terus saja berbicara hal menyebalkan.

Bukannya membuatkan sesuatu untukku, malah dia santai sendiri. Anak-anak sudah tidur, pantas saja dia bisa santai seperti itu.

Perut lapar, gegas aku ke dapur mencari makanan. Kenapa Ayu hanya memasak telur balado? 

Kuhampiri lagi Ayu, dengan berat hati aku kembali berinteraksi sama istri sableng ini.

"Kamu masak cuma telur balado?" tanyaku.

"Hmm ...."

"Ma, jawab yang benar, dong." Aku kembali mulai kesal.

"Iya, udah jelas kamu lihat adanya itu. Hari ini aku bayar kebersihan 30.000, sedangkan uang masak aku jatah sehari 50.000. Sisa 20.000, jadi aku hanya bisa masak telur saja. Buat anak-anak aku dadar, buat kamu aku sambelin," jawabnya.

"Bukannya ibu bawa sayur tadi?"

"Iya, bawa. Sudah aku buang."

"Kamu buang?"

"Iya. Masa ia masakan basi mau kumakan, atau kamu mau makan. Kayanya masih ada di tong sampah, biar aku ambilkan." Ayu bangkit dari duduk dan hendak ke dapur.

"Cukup, Ayu!"

Ia menatapku heran. Bagaimana bisa masakan ibu basi? 

"Mana mungkin ibu bawa lauk basi?" Aku mulai kesal dengan Ayu.

"Mungkin saja. Aku sudah bilang, sejak dulu kalau ibumu memerikan makanan, selalu bekas makan mereka yang tidak habis." Ayu menjawab santai.

Akan tetapi, aku mulai tak santai dengan perdebatan ini. Kupikir lagi, memang pernah aku makan bekal yang dibawakan ibu. Setelah itu, aku bulak balik ke kamar mandi. Ah, kalau aku ceritakan, pasti Ayu semakin jadi. 

"Ak pusing menghadapi kamu. Perut lapar, malah di kasih ocehan." Aku berlalu meninggalkan Ayu.

Nafsu makan pun hilang, tetapi perut malah krucuk-krucuk. Di rumah bukan santai malah dibuat senam otak sama senam jantung.

***

"Kita mau pergi ke acara saudaraku. Rapihkan anak-anak. Jam 09.00 kita jalan," tuturku pada Ayu.

Ayu yang sedang mencuci piring segera menyelesaikan cuciannya. Ia menghampiriku yang berdiri di ruang TV.

"Kok dadakan?" tanyanya sambil mengelap tangan pada tisu.

"Lupa bilang. Sudah, siap-siap sana. Mana sarapanku?" 

"Di meja makan."

Syukur deh dia sudah kembali waras. Gegas aku melangkah ke meja makan karena sudah lapar. Semalam aku menahan lapar karena kesal dengan Ayu. Ternyata dia tak peduli, malah asik tidur pulas. Semantara, aku harus mendengar perut berbunyi.

Nasi goreng telor ceplok. Untung dia masih ingat dengan kesukaanku. Awas saja sampai dia menyajikan aku kerikil di depan rumah!

Perut sudah kenyang, lebih baik aku menunggu mereka di halaman rumah. 

"Mas, ke rumah Pa Rt dulu, aku lupa bilang katanya ada data yang harus di isi," ucap Ayu.

"Pagi-pagi gini emang sudah bangun? Lagian data apaan, sih?" tanyaku malas.

"Sensus kali." Ayu menjawab asal.

"Ya, sudah aku ke rumah Pak RT."

Aku bergegas ke rumah Pak RT yang tidak jauh dari rumah. Kalau tentang sensus penduduk kenapa bukan petugas yang datang ke rumah? Bukan aku yang harus ke sana.

"Assalamu'alaikum, Pak." Kebetulan Pak RT sedang di luar.

"Walaikumsalam, Pak Damar. Wah, padahal semalam saya tungguin, loh. Kok baru datang?" tanya Pak RT.

"Istri saya baru menyampaikan, kayanya lupa." 

"Oh, nggak apa-apa, kok. Gini, semalam itu beberapa warga mengusulkan aka diadakan ronda malam karena satpam kompleks akan cuti. Saya mau tanya Pak Damar bisa nggak? Kalau bisa saya masukan daftar hari, bagaimana?"

Waduh, ronda? Aku paling malas kalau acara ronda seperti itu. Adanya paginya aku ngantuk. 

"Pak, bagaimana?"

"Eh, iya boleh."

"Baik. Saya salut sama Bapak, masih mau walau sibuk. Sama seperti istri Bapak, pinter Bapak nyari istri, setiap hari Jumat dia berbagi rezeki sama pemulung dan beberapa warga yang kurang mampu."

"Berbagi?" 

"Iya, nasi kotak yang setiap Hari Jumat nggak pernah absen dari Bu Ayu. Wah, hebat Pak Damar mendidik istri."

Aku terperangah mendengarnya. Ini pujian untukku dari hal yang sama sekali aku tidak tahu. Istriku berbagi rezeki? 

Masih terkesiap dengan penuturan Pak RT. Aku melangkah pulang dengan terus saja memutar otak, dari mana istriku mendapatkan uang untuk hal semacam itu?

Bertanya padanya sama saja mengajak perang! Lalu, bagaimana cara mencari tahunya?

***Bersambung

Komen (9)
goodnovel comment avatar
Wahyu Desta Andiki
semakin ke sini kok semakin penasaran ya...lanjut ba dulu ahh
goodnovel comment avatar
Zabdan N Iren
kadang banyak suami yg lupa dengan tanggung jawab nya.istring nuntut macam macam,malah keperluan pribadi nya dia yg nyari sendiri masih suka nyakiti istri .
goodnovel comment avatar
Sumi Yatun
penasaran juga dari mana ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status