"Jelaskan sama Mas, apa benar yang dikatakan Mba Laras? Jawab Asih!" Aku mengguncang-guncangkan tubuhnya.
Emosi ini tak terbendung kala mengingat perkataan Ayu."Dia tidak ada niat belajar. Percuma buang-buang uang saja. Kamu pikir kuliah tidak mahal?" Aku mengusap wajah kasar. Demi keinginan ibu, Asih harus kuliah dan aku yang membiayainya. Namun, aku harus kecewa karena ia membohongiku."Jawab, Mas!""Sudah, kasihan adikmu," ujar Ibu.Tanganku mengepal keras, bisa-bisanya Asih berbohong padaku. Bagaimana bisa dia berbohong selama ini."Jaman sekarang, IPK banyak yang di palsukan. Coba kamu mampir aja ke daerah ujung, pasti deh banyak jasa edit yang pasti persis dengan hasil asli dari kampus." Kini Mba Laras kembali berujar."Mas nggak mau tahu, semester ini, kalau kamu masih saja jelek nilainya, lebih baik kamu selesaikan saja kuliahmu." Semoga saja ancamanku berhasil kali ini."Mar, nggak bisa begitu. Asih harus menjadi sarjana. Itu pesan Bapak sebelum meninggal," ujar Ibu."Bu, kalau nilai seperti itu, bagaimana bisa dia bisa mencari pekerjaan? Dari pada uangku habis, lebih baik dia bekerja saja. Biar berpikir!" Aku menghela napas, rasanya kepala menjadi pening kembali."Kamu tega, Mar. Masa kamu nggak peduli dengan wasiat Bapak." Lagi, Ibu menangis terisak."Bu, coba ibu pikir sekarang. Biaya kuliah mahal, tapi dia malah seperti itu," ujarku."Jahat kamu memang. Kamu lebih baik membelikan baju mahal dan perawatan kulit istrimu dari pada kuliah adikmu, hah?" Ibu meninggikan suaranya.Kutepuk kening ini. Apa mereka tidak berpikir, aku sedang sakit dan butuh ketenangan? Masih saja memikirkan banyak kesenangan untuk mereka sendiri. Kulirik Mba Laras yang menatap dengan biasa saja. Bahkan, tak sedikit pun ia menenangkan ibu atau membela Asih. "Lebih baik ibu pulang ke rumah saja. Dari pada di sini tidak di hargai. Ayo Asih, kita pulang!" titah ibu.Aku hendak menghadang ibu, tetapi Mba Laras mencegahku dengan tangannya. Lalu, ia menggeleng."Biarkan saja," ujarnya pelan.Mana bisa aku membiarkan ibu pergi? Lalu, siapa yang akan mengurusku? Benar saja, ibu dan Asih gegas pergi dari rumah. Aku mengikuti perkataan Mba Laras. Hanya melihat mereka tanpa menahannya."Ibu juga nanti baik lagi. Kalau dia sudah kehabisan uang. Kemana lagi dia akan minta, kalau bukan ke kamu." Mas Anton kini berbicara setelah dia hanya diam saat ada Ibu.Benar juga kata Mas Anton. Nanti juga akan datang kembali. "Mas, mau antar aku ke rumah Ayu, nggak?" tanyaku."Tanya Mba kamu, mau nggak?" Mas Anton malah meminta aku bertanya dahulu pada Mba Laras.Mba Laras mengangkat bahu. Aku sedikit memohon padanya, kalau bukan mereka, siapa yang akan membantuku.***Tidak seperti biasa jantungku berdetak tidak karuan. Apalagi melihat mobil Mas Arfan di halaman rumah. Bisa-bisa aku kena sindiran terus."Jadi masuk nggak?" tanya Mba Laras."Jadi, tapi ada Mas Arfan," ujarku. "Kenapa memang?" Mba Laras kembali bertanya."Malu aja." Aku menghela napas panjang dan berusaha masuk ke rumah itu.Perlahan dibantu Amas Anton, aku masuk ke dalam rumah Ayu. Kebetulan mereka semua berada di ruang tamu. "Assalamu'alaikum," ucapku."Walaikumsalam." Kompak mereka menjawab salamku.Ayu bangkit melihat ke hadirankun. Namun, ia bukan menghampiriku. Akan tetapi, ia malah duduk menjauh."Kamu ngapain, Mas ke sini?" tanya Ayu dengan sinis."Aku mau jemput kamu." Aku menjawab pelan."Yu, selesaikan masalahmu." Ibu mertuaku meminta Ayu berbicara denganku.Aku hanya bisa menunduk saat Mas Arfan menatapku. Seperti sedang berada di kursi persidangan."Masih berani datang ke rumah ini?" Mas Arfan akhirnya angkat bicara. "Maaf, Mas. Semua kesalah pahaman." Aku mencoba menjelaskan."Kesalah pahaman? Jadi, pesan menyakitkan Ibu kamu salah kirim gitu?" Ya Allah, aku langsung di tembak. Kenapa Mas Arfan harus tahu masalah kami, sih? Harusnya rahasia kita saja, Yu."Kalau kamu sudah tidak bisa menafkahi istri kamu, silahkan kembalikan adik saya ke ibunya!" teriak Mas Arfan."Arfan, sudah. Biar mereka bicara berdua dulu," ujar ibu mertuaku.Ibu mertua masih bisa tenang. Namun, Mas Arfan sejak tadi seperti ingin membunuhku. "Sebelumnya, saya minta maaf sama kamu, Yu. Atas perlakuan Ibu saya yang buat kamu sakit hati," ujar Mba Laras."Mba nggak usah minta maaf. Mba nggak salah." Kini, Ayu mau membuka suara."Pulang saja dulu, Yu. Bicarakan dengan baik-baik. Kalau dia tetep nggak bisa merubah sikap, terserah kamu mau bagaimana." Mba Laras memang top deh. Tahu aja kemauan adiknya."Iya, bener kata Mba Laras. Pulang dulu, anak-anak biar di sini. Sekolah pun nggak jauh dari sini. Biar kamu fokus dulu sama Damar. Kasian, kan lagi sakit," ujar Ibu mertuaku.Semoga saja Ayu mau mendengarkan mereka. Aku tidak perlu susah payah membujuknya. Lagi pula, kan dia pun harus izin ke luar rumah. Masih untung aku mau menjemputnya."Ayu nggak mau, Bu. Biar saja ibunya Mas Damar yang mengurusnya. Aku tuh nggak becus ngurus suami, sampai dia aja sakit. Jadi, orang yang paling pantas mengurus Mas Damar itu ibunya atau Asih." Ayu membuang wajah saat aku menatapnya. "Ma, aku minta maaf. Ibu nggak bermaksud bicara itu." Aku mencoba membujuknya."Nggak bermaksud? Tapi, itu jelas untukku. Wanita mana yang nggak sakit hati, saat dia sudah berkorban dan menuruti suaminya, tapi masih dikatakan nggak becus ngurus suami?"Suara Ayu kini bergetar, ia menggigit bibir bawah. Netranya mulai berembun, Ya Allah, kenapa sampai seperti ini?"Aku sudah banyak mengalah sama kamu. Sampai setahun ini aku pendam semua. Dulu, saat kamu di paksa membayar rumah milik Bapak kamu, aku diam. Saat itu juga kamu masih bergaji standar. Kamu turutin orang tua kamu. Sekarang, setelah penghasilan kamu naik, masa ia aku masih di ajak susah? Kamu mikir nggak, sih?" Lagi, Ayu mencurahkan semua isi hatinya.Ayu mulai menangis di depan kami. Selama ini aku tidak pernah melihat dia menangis. Bahkan, ia malah membuat aku takut dengan sikap cueknya."Satu lagi, Mas. Aku mencoba santai selama ini, mencari pekerjaan dan penghasilan sendiri, tapi apa? Kamu malah masih saja seperti itu. Kamu pikir, kamu tahu saat anak-anak kelaparan? Apa kamu tahu saat aku ingin ini dan itu? Hah, aku lupa, kamu hanya tahu kebutuhan ibu dan Asih. Bukan Aku!" Ayu kembali histeris.Aku mencoba mendekatinya. Namun, Ayu memintaku mundur. Aku sama sekali tidak tahu jika Ayu selama ini memendam semuanya.Sikap diamnya selama ini hanya untuk menutupi kegelisahannya. Namun, bagaimana pun, ibu dan Asih tanggungjawabku."Ma, tapi ibu dan Asih, kan tanggungjawabku juga," ujarku."Semua orang juga tahu, Mar. Anak laki-laki harus bertanggungjawab sama keluarganya. Apalagi seorang ibu, tapi lo lupa sama kewajiban lo sebagai seorang suami dan ayah. Ongkos lo aja nggak anak cukup dengan jumlah nafkah yang lo kasih buat adik gue," ucap Mas Arfan.Apa yang harus aku katakan? Aku tersudut dengan ucapan Mas Arfan. Apa salah aku selama ini? Niatku hanya membahagiakan ibu."Ton, ajak Adik ipar lo ke pengajian kalau nggak, suruh dia buka ponselnya. Di sana banyak tausyiah tentang rumah tangga dengan kewajiban pada orang tua setelah menikah." Mas Arfan mengajak bicara Mas Anton."Siap, Mas." Aduh, Mas Anton malah mengiyakan."Aku minta maaf kalau salah, kasih aku kesempatan merubah semuanya. Akan tetapi, aku minta kamu pulang dulu." Lagi, aku meminta sama Ayu."Nggak, Mas. Aku sudah terlanjur sakit hati. Diam terus saat hati ini diinjak-injak. Lebih baik introspeksi diri, Mas. Silahkan pulang." Ya Allah Gusti. Kenapa malah Ayu mengusirku? Bukannya ikut pulang ke rumah, ini malah kekeh mau di sini? Bagaimana hidupku nanti?Semoga saja ini mimpi, coba aku cubit tangan sendiri. Aduh, sakit. Iya ini nyata."Yu, aku mohon. Bu, tolong bujuk Ayu." "Nak Damar, sepertinya biarkan Ayu di sini dulu. Mungkin dia butuh ketenangan," ujar Ibu mertuaku.Aku memindahi wajah Mas Anton dan Mba Laras. Mereka pun sudah tidak bisa melakukan apa-apa untuk membujuk Ayu. "Kita pulang saja dulu, kamu harus istirahat." Mba Laras memberikan jalan tengah untukku.Aku pasrah. Aku pulang dengan tangan kosong, Ayu dan anak-anak tidak berhasil aku bawa pulang. Ayu, kenapa kamu tega sekali pada suamimu. Sedang sakit malah kamu tinggalkan.***BersambungPOV ibu Damar"Mas kamu kebangetan. Dia malah membela istrinya dari pada ibu." Aku mulai kesal karena Damar sekarang malah memilih Ayu dari apa aku.Aku pun kesal dengan Laras. Sejak dulu dia selalu bertentangan denganku. Seperti sekarang, dia sepertinya lebih berpihak pada Ayu dari pada aku. Kasihan sekali Asih, jatah uang jajannya harus berkurang."Iya, aku juga kesal. Masa jatah jajanku berkurang. Bagaimana aku bisa kuliah, Bu? Mana Mba Laras bongkar semuanya. Sebenarnya dia anak ibu apa bukan, sih. Kok malah membela si Ayu itu." Asih pun sama kesalnya denganku.Laras anakku, tapi sikapnya berbeda memang. Ia diasuh ibuku dulu karena aku bekerja dan Laras tak mau kembali tinggal bersamaku. Setelah ibuku meninggal, barulah ia kembali tinggal bersamaku.Namun, ia sangat berbeda. Entah, apa yang ibuku ajarkan padanya. Tak pernah mau menuruti kemauanku. Bahkan, memberikan sebagian gajinya saja tidak ma
"Perkara wanita banyak di dunia itu masalah kesekian. Harusnya Ibu membantu mempertahankan pernikahanku dengan Ayu. Bukan malah mendukung perceraian kami. Apa Ibu nggak mengerti perasaanku?" Aku menahan emosi yang memuncak di dada.Bisa-bisanya Ibu berlaku seperti itu. Salah apa Ayu padanya, selama menikah istriku tak pernah berkata kasar padanya. Baru kali ini Ayu mengatakan hal yang benar-benar sudah ia pendam selama ini.Keluhan demi keluhan Ayu selalu aku abaikan. Aku tidak suka saat ia mengatakan Ibu begini dan begitu. Kupikir semua mengada-ada. Nyatanya, semua terjadi seperti itu."Untuk apa Ibu mendukung kamu. Istri kamu pembangkang, apa yang harus dibanggakan? Kecantikan luar tidak menjamin hatinya baik." Lanjut Ibu lagi.Kulirik Mba Laras yang mulai gusar. Ia memilih ke luar dari kamar Ibu. Kupikir dia malas mendengar perdebatan kami. Kalau seperti ini, Ayu akan menjadi benci padaku."Ini rumah tanggaku. Ibu nggak
Sebelum ke rumah Ayu, aku mampir ke rumah ibu untuk mengajaknya untuk meminta maaf pada Ayu. Hanya berharap semua selesai hari ini. Kupastikan Ibu harus ikut denganku kali ini."Bu, ikut aku ke rumah Ayu." Tanpa basa-basi aku langsung berbicara niatku untuk datang sore ini."Ibu sudah bilang nggak akan mau ke sana. Dia siapa memang, harus gitu ibu meminta maaf. Adanya dia, mantu nggak berguna," oceh ibu.Aku tidak mau berdebat lagi. Cara halus tidak berhasil, sepertinya Ibu harus mendapat terapi sedikit."Terserah, kalau Ibu nggak mau datang, ya, sudah. Mulai bulan besok, aku tak mau memberi Ibu jatah uang bulanan. Apa itu yang Ibu mau?" Kupastikan dia akan setuju.Raut wajahnya masam. Sepertinya kesal dengan ancamanku. Harusnya sejak kemarin aku melakukan itu. Kenapa baru terpikir kali ini?Aku beri waktu berpikir lima menit. Kerutan di wajahnya sudah begitu terlihat. Bibirnya komat kamit sendiri. Entah apa yan
POV AyuSetelah kemarin membuat mentalkudown,kini aku harus kembali bekerja. Kesepakatan dengan Mas Anton membuat aku harus bertemu juga dengan Mba Laras. Namun, sepertinya mereka biasa saja.Pukul 09.00 aku sudah sampai di kantor mereka. Sebuah perkantoran kecil yang mereka bangun berdua, seperti yang kini aku lakukan bersama Mas Arfan.Untuk sementara, Mas Arfan memperbolehkan aku mengambil beberapa job untuk menambah wawasan dan pengetahuanku di bidang keuangan. Apalagi, kami perusahaan baru yang tidak begitu banyak pekerjaan.Aku butuh uang untuk membesarkan kedua anakku. Sementara, ayahnya tidak bisa aku andalkan. Biarkan saja dia menghidupi ibu dan adikknya. Mau lihat akan sehebat apa Asih nanti.Kalau memang berhasil, kuancungkan jempol karena dia membela mati-matian untuk kepentingan kuliah Asih. Namun, jika sebaliknya, ingin sekali aku tertawa di depan Mas Damar da
POV AYUMobil Mas Damar terus saja memepet mobil Pak Erik. Bagaimana ini? Aku takut terjadi sesuatu yang membahayakan.Mobil berhenti saat Mas Damar sudah menepi di depan mobil yang kami tumpangi. Bagaimana bisa akan terjadi pertumpahan darah.Mas Damar turun dari mobil dan menggedur kaca ini."Sebaiknya selesaikan masalah kalian, Bu Ayu," pinta Pak Erik."Baik, Pak, maaf."Aku turun dari mobil, begitu juga Pak Erik. Dia bilang tidak akan ikut campur, tapi hanya berjaga-jaga supaya Mas Damar tak berlaku kasar padaku."Turun juga kalian! Kamu ikut aku Ayu!" Mas Damar menarik lenganku kasar."Lepas, Mas!" titahku.Mas Damar seperti kesetanan. Ia masih saja mencengkram lenganku dengan kencang. Pak Erik mencoba membantu, tetapi Mas Damar seperti tidak terima."Lepas, Mas! Kamu menyakiti aku!" Lagi, aku mencoba berteriak."Bukan
Mundur perlahan, dari pada aku dibuat malu dan di maki di depan umum oleh Mas Arfan. Sungguh emosi saat melihat Ayu bersama dengan Pak Erik. Bagaimana tidak, Ayu meminta cerai dan hari ini aku melihatnya dengan bosku.Aneh bukan? Namun, kali ini aku tidak berhasil mengungkap perselingkuhan mereka. Lihat saja Ayu, kalau sampai benar dugaanku, hak asuh Bagas dan Anita akan kuambil.Getar ponsel menghentikan langkahku. Pesan dari Arman membuat aku tertegun.[Bro, di mana? Gila Lo, main kabur aja. Kerjaan belum kelar. Mana main baku hantam si bos pula! Mati aja karir Lo]Aku mengacak rambut kasar. Sial sekali hari ini. Cemburu buta membuat aku tak berpikir siapa yang aku hantam tadi. Ayu, kenapa kamu buat aku seperti orang gila?Melangkah cepat untuk ke parkiran dan langsung melajukan mobil kembali ke kantor. Harap-harap cemas dengan apa yang sudah kulakukan. Sial sekali hidupku saat ini, kehilangan istri, bahkan seperti
Mba Laras dan Mas Anton sudah menungguku di depan UGD rumah sakit. Sementara, Ibu sepertinya berada di dalam menemani Asih sebab tidak terlihat berada di sana."Asih kenapa?" tanyaku.Wajah Mba Laras tak begitu enak di pandang. Ada sesuatu yang membuat dia seperti itu, pastinya Asih berulah sampai dia kesal."Seharusnya kita tidak usah peduli. Bikin waktu Mba terbuang saja." Bukannya menjawab pertanyaanku, Mba Laras malah terus ngedumel."Ada apa, Mba?" Aku mencoba bertanya lagi."Temannya bilang, Asih di hajar orang," ujar Mas Anton.Mendengar itu, aku merasa geram. Siapa yang berani berbuat hal separah itu pada Asih, adikku."Siapa?""Nggak usah emosi, Asih yang salah. Lagian pacaran sama laki orang. Resiko dihajar istri sah sama anaknya. Heran, masih muda kok ada ya, pikiran jadi pelakor! Nggak ada otaknya!" Mba Laras terus saja mengumpat."Apa? Jadi, Asih jalan sa
POV AYUAku dan Mas Arfan menemui Pak Erik di kantornya. Namun, aku sama sekali tidak melihat Mas Damar. Ah, biarkan sajalah. Toh, kami sudah harus berpisah.Kedatanganku untuk meminta maaf pada Pak Erik tentang kejadian beberapa hari lalu. Memang dia bilang tidak masalah, tetapi kami merasa tidak enak.Mas Arfan pun mengajakku datang ke kantor itu. Walau beberapa orang menatap aneh, aku tak peduli. Mungkin masih masalah kemarin, sungguh Mas Damar membuat keributan yang sangat parah."Saya, kan sudah bilang nggak masalah Pak Arfan. Bukan Bu Ayu yang salah, tapi Damar yang salah," ujar Pak Erik."Saya tetap nggak enak, gara-gara adik ipar saya. Dan maaf juga karena saya nggak bilang kemarin, kalau Damar suami Ayu karena saya pikir tidak usahlah. Toh, mereka akan berpisah."Aku menyenggol Mas Arfan. Tidak usahlah masalah seperti itu dibahas. Lagi pula, tidak baik juga."Damar sudah mengundurk