Share

Delapan

"Jelaskan sama Mas, apa benar yang dikatakan Mba Laras? Jawab Asih!" Aku mengguncang-guncangkan tubuhnya. 

Emosi ini tak terbendung kala mengingat perkataan Ayu.

"Dia tidak ada niat belajar. Percuma buang-buang uang saja. Kamu pikir kuliah tidak mahal?" 

Aku mengusap wajah kasar. Demi keinginan ibu, Asih harus kuliah dan aku yang membiayainya. Namun, aku harus kecewa karena ia membohongiku.

"Jawab, Mas!"

"Sudah, kasihan adikmu," ujar Ibu.

Tanganku mengepal keras, bisa-bisanya Asih berbohong padaku. Bagaimana bisa dia berbohong selama ini.

"Jaman sekarang, IPK banyak yang di palsukan. Coba kamu mampir aja ke daerah ujung, pasti deh banyak jasa edit yang pasti persis dengan hasil asli dari kampus." Kini Mba Laras kembali berujar.

"Mas nggak mau tahu, semester ini, kalau kamu masih saja jelek nilainya, lebih baik kamu selesaikan saja kuliahmu." Semoga saja ancamanku berhasil kali ini.

"Mar, nggak bisa begitu. Asih harus menjadi sarjana. Itu pesan Bapak sebelum meninggal," ujar Ibu.

"Bu, kalau nilai seperti itu, bagaimana bisa dia bisa mencari pekerjaan? Dari pada uangku habis, lebih baik dia bekerja saja. Biar berpikir!" Aku menghela napas, rasanya kepala menjadi pening kembali.

"Kamu tega, Mar. Masa kamu nggak peduli dengan wasiat Bapak." Lagi, Ibu menangis terisak.

"Bu, coba ibu pikir sekarang. Biaya kuliah mahal, tapi dia malah seperti itu," ujarku.

"Jahat kamu memang. Kamu lebih baik membelikan baju mahal dan perawatan kulit istrimu dari pada kuliah adikmu, hah?" Ibu meninggikan suaranya.

Kutepuk kening ini. Apa mereka tidak berpikir, aku sedang sakit dan butuh ketenangan? Masih saja memikirkan banyak kesenangan untuk mereka sendiri. 

Kulirik Mba Laras yang menatap dengan biasa saja. Bahkan, tak sedikit pun ia menenangkan ibu atau membela Asih. 

"Lebih baik ibu pulang ke rumah saja. Dari pada di sini tidak di hargai. Ayo Asih, kita pulang!" titah ibu.

Aku hendak menghadang ibu, tetapi Mba Laras mencegahku dengan tangannya. Lalu, ia menggeleng.

"Biarkan saja," ujarnya pelan.

Mana bisa aku membiarkan ibu pergi? Lalu, siapa yang akan mengurusku? 

Benar saja, ibu dan Asih gegas pergi dari rumah. Aku mengikuti perkataan Mba Laras. Hanya melihat mereka tanpa menahannya.

"Ibu juga nanti baik lagi. Kalau dia sudah kehabisan uang. Kemana lagi dia akan minta, kalau bukan ke kamu." Mas Anton kini berbicara setelah dia hanya diam saat ada Ibu.

Benar juga kata Mas Anton. Nanti juga akan datang kembali. 

"Mas, mau antar aku ke rumah Ayu, nggak?" tanyaku.

"Tanya Mba kamu, mau nggak?" Mas Anton malah meminta aku bertanya dahulu pada Mba Laras.

Mba Laras mengangkat bahu. Aku sedikit memohon padanya, kalau bukan mereka, siapa yang akan membantuku.

***

Tidak seperti biasa jantungku berdetak tidak karuan. Apalagi melihat mobil Mas Arfan di halaman rumah. Bisa-bisa aku kena sindiran terus.

"Jadi masuk nggak?" tanya Mba Laras.

"Jadi, tapi ada Mas Arfan," ujarku. 

"Kenapa memang?" Mba Laras kembali bertanya.

"Malu aja." Aku menghela napas panjang dan berusaha masuk ke rumah itu.

Perlahan dibantu Amas Anton, aku masuk ke dalam rumah Ayu. Kebetulan mereka semua berada di ruang tamu. 

"Assalamu'alaikum," ucapku.

"Walaikumsalam." Kompak mereka menjawab salamku.

Ayu bangkit melihat ke hadirankun. Namun, ia bukan menghampiriku. Akan tetapi, ia malah duduk menjauh.

"Kamu ngapain, Mas ke sini?" tanya Ayu dengan sinis.

"Aku mau jemput kamu." Aku menjawab pelan.

"Yu, selesaikan masalahmu." Ibu mertuaku meminta Ayu berbicara denganku.

Aku hanya bisa menunduk saat Mas Arfan menatapku. Seperti sedang berada di kursi persidangan.

"Masih berani datang ke rumah ini?" Mas Arfan akhirnya angkat bicara. 

"Maaf, Mas. Semua kesalah pahaman." Aku mencoba menjelaskan.

"Kesalah pahaman? Jadi, pesan menyakitkan Ibu kamu salah kirim gitu?" 

Ya Allah, aku langsung di tembak. Kenapa Mas Arfan harus tahu masalah kami, sih? Harusnya rahasia kita saja, Yu.

"Kalau kamu sudah tidak bisa menafkahi istri kamu, silahkan kembalikan adik saya ke ibunya!" teriak Mas Arfan.

"Arfan, sudah. Biar mereka bicara berdua dulu," ujar ibu mertuaku.

Ibu mertua masih bisa tenang. Namun, Mas Arfan sejak tadi seperti ingin membunuhku. 

"Sebelumnya, saya minta maaf sama kamu, Yu. Atas perlakuan Ibu saya yang buat kamu sakit hati," ujar Mba Laras.

"Mba nggak usah minta maaf. Mba nggak salah." Kini, Ayu mau membuka suara.

"Pulang saja dulu, Yu. Bicarakan dengan baik-baik. Kalau dia tetep nggak bisa merubah sikap, terserah kamu mau bagaimana." Mba Laras memang top deh. Tahu aja kemauan adiknya.

"Iya, bener kata Mba Laras. Pulang dulu, anak-anak biar di sini. Sekolah pun nggak jauh dari sini. Biar kamu fokus dulu sama Damar. Kasian, kan lagi sakit," ujar Ibu mertuaku.

Semoga saja Ayu mau mendengarkan mereka. Aku tidak perlu susah payah membujuknya. Lagi pula, kan dia pun harus izin ke luar rumah. Masih untung aku mau menjemputnya.

"Ayu nggak mau, Bu. Biar saja ibunya Mas Damar yang mengurusnya. Aku tuh nggak becus ngurus suami, sampai dia aja sakit. Jadi, orang yang paling pantas mengurus Mas Damar itu ibunya atau Asih." Ayu membuang wajah saat aku menatapnya. 

"Ma, aku minta maaf. Ibu nggak bermaksud bicara itu." Aku mencoba membujuknya.

"Nggak bermaksud? Tapi, itu jelas untukku. Wanita mana yang nggak sakit hati, saat dia sudah berkorban dan menuruti suaminya, tapi masih dikatakan nggak becus ngurus suami?"

Suara Ayu kini bergetar, ia menggigit bibir bawah. Netranya mulai berembun, Ya Allah, kenapa sampai seperti ini?

"Aku sudah banyak mengalah sama kamu. Sampai setahun ini aku pendam semua. Dulu, saat kamu di paksa membayar rumah milik Bapak kamu, aku diam. Saat itu juga kamu masih bergaji standar. Kamu turutin orang tua kamu. Sekarang, setelah penghasilan kamu naik, masa ia aku masih di ajak susah? Kamu mikir nggak, sih?" Lagi, Ayu mencurahkan semua isi hatinya.

Ayu mulai menangis di depan kami. Selama ini aku tidak pernah melihat dia menangis. Bahkan, ia malah membuat aku takut dengan sikap cueknya.

"Satu lagi, Mas. Aku mencoba santai selama ini, mencari pekerjaan dan penghasilan sendiri, tapi apa? Kamu malah masih saja seperti itu. Kamu pikir, kamu tahu saat anak-anak kelaparan? Apa kamu tahu saat aku ingin ini dan itu? Hah, aku lupa, kamu hanya tahu kebutuhan ibu dan Asih. Bukan Aku!" Ayu kembali histeris.

Aku mencoba mendekatinya. Namun, Ayu memintaku mundur. Aku sama sekali tidak tahu jika Ayu selama ini memendam semuanya.

Sikap diamnya selama ini hanya untuk menutupi kegelisahannya. Namun, bagaimana pun, ibu dan Asih tanggungjawabku.

"Ma, tapi ibu dan Asih, kan tanggungjawabku juga," ujarku.

"Semua orang juga tahu, Mar. Anak laki-laki harus bertanggungjawab sama keluarganya. Apalagi seorang ibu, tapi lo lupa sama kewajiban lo sebagai seorang suami dan ayah. Ongkos lo aja nggak anak cukup dengan jumlah nafkah yang lo kasih buat adik gue," ucap Mas Arfan.

Apa yang harus aku katakan? Aku tersudut dengan ucapan Mas Arfan. Apa salah aku selama ini? Niatku hanya membahagiakan ibu.

"Ton, ajak Adik ipar lo ke pengajian kalau nggak, suruh dia buka ponselnya. Di sana banyak tausyiah tentang rumah tangga dengan kewajiban pada orang tua setelah menikah." Mas Arfan mengajak bicara Mas Anton.

"Siap, Mas." Aduh, Mas Anton malah mengiyakan.

"Aku minta maaf kalau salah, kasih aku kesempatan merubah semuanya. Akan tetapi, aku minta kamu pulang dulu." Lagi, aku meminta sama Ayu.

"Nggak, Mas. Aku sudah terlanjur sakit hati. Diam terus saat hati ini diinjak-injak. Lebih baik introspeksi diri, Mas. Silahkan pulang." 

Ya Allah Gusti. Kenapa malah Ayu mengusirku? Bukannya ikut pulang ke rumah, ini malah kekeh mau di sini? Bagaimana hidupku nanti?

Semoga saja ini mimpi, coba aku cubit tangan sendiri. Aduh, sakit. Iya ini nyata.

"Yu, aku mohon. Bu, tolong bujuk Ayu." 

"Nak Damar, sepertinya biarkan Ayu di sini dulu. Mungkin dia butuh ketenangan," ujar Ibu mertuaku.

Aku memindahi wajah Mas Anton dan Mba Laras. Mereka pun sudah tidak bisa melakukan apa-apa untuk membujuk Ayu. 

"Kita pulang saja dulu, kamu harus istirahat." Mba Laras memberikan jalan tengah untukku.

Aku pasrah. Aku pulang dengan tangan kosong, Ayu dan anak-anak tidak berhasil aku bawa pulang. Ayu, kenapa kamu tega sekali pada suamimu. Sedang sakit malah kamu tinggalkan.

***Bersambung

Komen (7)
goodnovel comment avatar
h-d
angel wis amgel, otak batu punya damar itu mending buat ganjel pintu aja...
goodnovel comment avatar
Sumi Yatun
rasain gimana klau g dapat perhatian mana lagi sakit?
goodnovel comment avatar
Asep Sablon
suka sekali lanjut terus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status