POV ibu Damar
"Mas kamu kebangetan. Dia malah membela istrinya dari pada ibu." Aku mulai kesal karena Damar sekarang malah memilih Ayu dari apa aku. Aku pun kesal dengan Laras. Sejak dulu dia selalu bertentangan denganku. Seperti sekarang, dia sepertinya lebih berpihak pada Ayu dari pada aku. Kasihan sekali Asih, jatah uang jajannya harus berkurang."Iya, aku juga kesal. Masa jatah jajanku berkurang. Bagaimana aku bisa kuliah, Bu? Mana Mba Laras bongkar semuanya. Sebenarnya dia anak ibu apa bukan, sih. Kok malah membela si Ayu itu." Asih pun sama kesalnya denganku. Laras anakku, tapi sikapnya berbeda memang. Ia diasuh ibuku dulu karena aku bekerja dan Laras tak mau kembali tinggal bersamaku. Setelah ibuku meninggal, barulah ia kembali tinggal bersamaku.Namun, ia sangat berbeda. Entah, apa yang ibuku ajarkan padanya. Tak pernah mau menuruti kemauanku. Bahkan, memberikan sebagian gajinya saja tidak mau. Dasar anak durhaka, sekarang malah membawa Damar juga. "Bu, aku nggak mau dikurangi uang jajanku. Mana bisa aku dengan uang sekecil itu. Belum ongkos, makan sama yang lain. Lebih baik aku nggak usah kuliah." Asih mengerucutkan bibir.Aduh, kalau dia tidak mau kuliah, bagaimana nanti masa depannya? Aku nggak mau terus membiayainya. Atau aku suruh nikah sama laki-laki kaya raya saja. Biar dia hidup enak dan aku pun enak."Kamu masih mau kuliah, nggak sih?" tanyaku."Hmm ... sebenarnya males, sih, Bu. Apalagi Mas Damar saja sudah mengancam aku. Mau belajar sampai kapan pun, otakku nggak akan nyampe," ujar Asih. "Kalau gitu, kamu nikah saja. Cari orang kaya, bagaimana?" Wajah Asih terlihat kebingungan. "Maksud Ibu, aku berhenti kuliah dan menikah saja?" tanya Asih."Iya. Bagaimana? Kamu hidup enak, nah, pasti ibu juga bakal hidup enak." Asih tak menanggapi ucapanku. Anak itu malah masuk ke kamarnya. Hah, sama saja dia seperti Laras. Kuberikan masukan baik, malah tidak mau dengar.Laras juga, dulu aku bilang menikah saja dengan juragan Ajung, eh malah menolak dan memilih si Anton itu. Nah, hidup mepet, memberi uang pun dijatah. Dia saja harus bekerja, tidak nurut dengan orang tua, sih.***Sudah dua hari aku bungkam dan tak mau mengirimkan kabar pada Damar. Tadi dia mengirim pesan untukku. Tidak mungkinlah aku meminta maaf pada Ayu. Bagaimana derajatku sebagai orang tua.Semua gara-gara Ayu. Sejak dulu aku tidak suka padanya. Sudah kukatakan, menikah dengan wanita kaya saja. Malah lebih memilih wanita itu. Mana sekarang lebih cantik dan semua barangnya terlihat mewah. Pasti Ayu meminta macam-macam pada anakku. Awas saja, kubuat dia meminta cerai pada Damar. Lebih baik kukirim pesan atau kutelepon saja, ya, sih Ayu?Kuputuskan berkirim pesan padanya. [Kamu sengaja, ya, Ayu. Membuat Damar benci sama ibu? Dasar istri nggak tahu diri, suami lagi sakit malah kabur. Sudah nggak becus merawatnya. Malah kabur dan nggak mau urusi Damar.]Kukirim dan sepertinya sudah dia baca. Pasti dia langsung panik. Ternyata cepat juga dia membalasnya. Cepat aku membuka pesan dari Ayu.[Jangan salahkan aku, Bu. Silahkan Ibu urus anak ibu sepeti dulu. Sudah cukup, aku akan ikuti kemauan ibu. Kukembalikan Mas Damar pada Ibu.]Benar-benar menantu tidak tahu diri. Begini balasan pada ibu mertuanya? Tidak ada sopan santun sekali si Ayu.Kesal aku dibuatnya. Jadi, dia mau menceraikan Damar? Kabar baik kalau begitu. Jadi, Damar biar fokus padaku saja. Toh, anak juga akan ikut si Ayu. Kasih saja nafkah seadaanya. Kalau si Ayu menikah lagi, pasti nanti juga ada yang menafkahinya"Terima kasih, ya." Aku mendengar suara Asih dari luar. Sepertinya dia habis di antar seseorang. Kuhampiri anak itu yang baru pulang kuliah."Sama siapa tadi, Sih?" tanyaku sambil melongok kanan kiri. "Teman kampus." Asih menjawab sekenanya."Jangan yang naik motor, Sih. Yang punya mobil kalau mau minta anterin. Nggak ada masa depan, sama aja kaya si Anton." Wajah Asih kembali di tekuk. "Bu, kalau mau numpang ya, sama siapa aja. Siapa suruh uang jajanku berkurang."Asih langsung masuk ke kamar. Langsung saja aku ikuti dia."Bu, Asih mau mandi. Ibu ngapain di sini?" tanya Asih."Kamu minta maaf ke rumah Mas kamu, sana. Ini, kan sudah tanggal 31. Mas kamu gajian, nanti dia lupa ngaasih ke Ibu." Sengaja aku meminta Asih menelepon Damar."Ibu saja. Makanya jangan seperti itu. Ibukan masih butuh Mas Damar, pakai ngambek segala," ujar Asih. Benar, sih. Yang susah aku juga kalau seperti ini. Apa aku harus ke rumah Damar saja. Atau bagaimana, ya?Kuputar otak bagaimana caranya Damar bisa datang ke rumah. Kembali aku menemui Asih."Sih, telepon Masmu. Bilang ibu sakit, ini." Kuberikan ponselku pada Asih. Wajahnya masih saja cemberut saat aku meminta dia menelepon Damar."Kalau susah saja, Asih yang di suruh-suruh."Walau mengeluh, Asih sama seperti Damar. Dia selalu menuruti kemauan ibunya. Aku mendengarkan saja saat dia menelepon."Kata Mas Damar, ibu ke dokter saja sama aku. Dia belum pulih benar, dia aja tinggal sama Mba Laras sekarang.""Kok, sama Mba Laras?""Iya, kan, istrinya kabur. Ibu nggak mau ngurusin dia, jadi dia tinggal di rumah Mas Anton.""Dia nyuruh ke dokter, uangnya bagaimana?" tanyaku."Nanti sekalian di transfer, atau kalau ke rumah."Halah, gagal deh nyuruh si Damar ke rumah. Biasanya hari ini dia sudah mentransfer sejumlah uang dan aku bisa makan enak di luar.Nasib, punya anak kok durhaka. Kok nggak ada nyenengin ibunya. Awas saja kalau nggak datang ke rumah. ***Saat kudengar mobil Laras, gegas aku berbaring dengan tempelan koyo di kanan kiri dahi. Tidak lupa aku tutup tubuh ini dengan selimut."Ibu mana, Sih?" terdengar suara Damar bertanya pada Asih."Di dalam, Mas." Derap langkah semakin mendekati kamar. Seperti akan ada yang masuk, segera saja aku pura-pura batuk."Bu," panggil Damar. "Kamu sama siapa?" tanyaku."Diantar Mba Laras." Damar duduk di pinggir ranjang sembari menatapku yang terbaring."Tuh, bener, kan ibu paling meriang." Suara Laras tiba-tiba memecah keheningan. Merusak suasana saja si Laras ini. Datang bukannya cemas sama ibunya, malah bikin Damar tidak cemas lagi, kan."Sudah ke dokter belum, Bu?" tanya Laras."Sudah, ke puskesmas." Aku manjawab datar."Katanya ke dokter?" Wajahnya seperti mengintimidasiku. "Mana uangnya?" Aku mengulurkan uang pada Laras. "Punya ibu kok matre amat. Pakai aja uang ibu, nanti, kan bisa diganti," ucapnya tanpa berdosa."Mulut kamu tuh pedes, amat, sih, Ras," kataku kesal."Lah, turunan ibu ini." Dia malah tertawa. Aku tersenyum kecut. Begitulah anak pertamaku yang selalu berbeda pendapat. Bukannya kasihan melihat ibunya sakit, eh malah seperti itu."Bu, setelah sembuh, ikut aku ke rumah Ayu. Minta maaf sama dia, Bu. Aku mau memperbaiki rumah tangga dengannya," pinta Damar."Apa?Minta maaf? Mau taruh di mana harga diri ibu, harusnya dia yang datang meminta maaf. Nggak becus urus kamu, malah kabur dengan alasan nggak cocok sama ibu." Aku membuang wajah. Demi apa pun, aku tidak sudi meminta maaf."Bu, tolong sekali saja." Wajah Damar memelas. Alah, hanya karena wanita seperti itu dia sampai memohon padaku. Enak saja aku meminta maaf. Sampai kapan pun tidak akan sudi.Sejenak Damar tak memohon karena dia mendapat telepon. Dia bangkit dan keluar dari kamar.Biar saja kalian bercerai. Toh anakku juga tidak jelek banget. Bisa mencari wanita lain yang lebih baik dan penurut. Tidak seperti Ayu yang pembangkang.Damar masuk ke kamarku. Namun, ada yang aneh, wajahnya terlihat begitu emosi. Ada apa dengan anakku?"Bu, apa maksud ibu mengirimi Ayu pesan ini? Belum selesai masalahku, sudah dibuat panas lagi dengan pesan ibu. Ibu mau aku bercerai sama Ayu, hah?" Damar begitu emosi padaku."Iya, ceraikan saja wanita pembangkang kaya dia. Di dunia ini pun banyak wanita, bukan hanya satu!" Brakk ....Damar memukul keras pintu kamar hingga membuat aku ketakutan. Astaga, dia benar marah padaku?***Bersambung"Perkara wanita banyak di dunia itu masalah kesekian. Harusnya Ibu membantu mempertahankan pernikahanku dengan Ayu. Bukan malah mendukung perceraian kami. Apa Ibu nggak mengerti perasaanku?" Aku menahan emosi yang memuncak di dada.Bisa-bisanya Ibu berlaku seperti itu. Salah apa Ayu padanya, selama menikah istriku tak pernah berkata kasar padanya. Baru kali ini Ayu mengatakan hal yang benar-benar sudah ia pendam selama ini.Keluhan demi keluhan Ayu selalu aku abaikan. Aku tidak suka saat ia mengatakan Ibu begini dan begitu. Kupikir semua mengada-ada. Nyatanya, semua terjadi seperti itu."Untuk apa Ibu mendukung kamu. Istri kamu pembangkang, apa yang harus dibanggakan? Kecantikan luar tidak menjamin hatinya baik." Lanjut Ibu lagi.Kulirik Mba Laras yang mulai gusar. Ia memilih ke luar dari kamar Ibu. Kupikir dia malas mendengar perdebatan kami. Kalau seperti ini, Ayu akan menjadi benci padaku."Ini rumah tanggaku. Ibu nggak
Sebelum ke rumah Ayu, aku mampir ke rumah ibu untuk mengajaknya untuk meminta maaf pada Ayu. Hanya berharap semua selesai hari ini. Kupastikan Ibu harus ikut denganku kali ini."Bu, ikut aku ke rumah Ayu." Tanpa basa-basi aku langsung berbicara niatku untuk datang sore ini."Ibu sudah bilang nggak akan mau ke sana. Dia siapa memang, harus gitu ibu meminta maaf. Adanya dia, mantu nggak berguna," oceh ibu.Aku tidak mau berdebat lagi. Cara halus tidak berhasil, sepertinya Ibu harus mendapat terapi sedikit."Terserah, kalau Ibu nggak mau datang, ya, sudah. Mulai bulan besok, aku tak mau memberi Ibu jatah uang bulanan. Apa itu yang Ibu mau?" Kupastikan dia akan setuju.Raut wajahnya masam. Sepertinya kesal dengan ancamanku. Harusnya sejak kemarin aku melakukan itu. Kenapa baru terpikir kali ini?Aku beri waktu berpikir lima menit. Kerutan di wajahnya sudah begitu terlihat. Bibirnya komat kamit sendiri. Entah apa yan
POV AyuSetelah kemarin membuat mentalkudown,kini aku harus kembali bekerja. Kesepakatan dengan Mas Anton membuat aku harus bertemu juga dengan Mba Laras. Namun, sepertinya mereka biasa saja.Pukul 09.00 aku sudah sampai di kantor mereka. Sebuah perkantoran kecil yang mereka bangun berdua, seperti yang kini aku lakukan bersama Mas Arfan.Untuk sementara, Mas Arfan memperbolehkan aku mengambil beberapa job untuk menambah wawasan dan pengetahuanku di bidang keuangan. Apalagi, kami perusahaan baru yang tidak begitu banyak pekerjaan.Aku butuh uang untuk membesarkan kedua anakku. Sementara, ayahnya tidak bisa aku andalkan. Biarkan saja dia menghidupi ibu dan adikknya. Mau lihat akan sehebat apa Asih nanti.Kalau memang berhasil, kuancungkan jempol karena dia membela mati-matian untuk kepentingan kuliah Asih. Namun, jika sebaliknya, ingin sekali aku tertawa di depan Mas Damar da
POV AYUMobil Mas Damar terus saja memepet mobil Pak Erik. Bagaimana ini? Aku takut terjadi sesuatu yang membahayakan.Mobil berhenti saat Mas Damar sudah menepi di depan mobil yang kami tumpangi. Bagaimana bisa akan terjadi pertumpahan darah.Mas Damar turun dari mobil dan menggedur kaca ini."Sebaiknya selesaikan masalah kalian, Bu Ayu," pinta Pak Erik."Baik, Pak, maaf."Aku turun dari mobil, begitu juga Pak Erik. Dia bilang tidak akan ikut campur, tapi hanya berjaga-jaga supaya Mas Damar tak berlaku kasar padaku."Turun juga kalian! Kamu ikut aku Ayu!" Mas Damar menarik lenganku kasar."Lepas, Mas!" titahku.Mas Damar seperti kesetanan. Ia masih saja mencengkram lenganku dengan kencang. Pak Erik mencoba membantu, tetapi Mas Damar seperti tidak terima."Lepas, Mas! Kamu menyakiti aku!" Lagi, aku mencoba berteriak."Bukan
Mundur perlahan, dari pada aku dibuat malu dan di maki di depan umum oleh Mas Arfan. Sungguh emosi saat melihat Ayu bersama dengan Pak Erik. Bagaimana tidak, Ayu meminta cerai dan hari ini aku melihatnya dengan bosku.Aneh bukan? Namun, kali ini aku tidak berhasil mengungkap perselingkuhan mereka. Lihat saja Ayu, kalau sampai benar dugaanku, hak asuh Bagas dan Anita akan kuambil.Getar ponsel menghentikan langkahku. Pesan dari Arman membuat aku tertegun.[Bro, di mana? Gila Lo, main kabur aja. Kerjaan belum kelar. Mana main baku hantam si bos pula! Mati aja karir Lo]Aku mengacak rambut kasar. Sial sekali hari ini. Cemburu buta membuat aku tak berpikir siapa yang aku hantam tadi. Ayu, kenapa kamu buat aku seperti orang gila?Melangkah cepat untuk ke parkiran dan langsung melajukan mobil kembali ke kantor. Harap-harap cemas dengan apa yang sudah kulakukan. Sial sekali hidupku saat ini, kehilangan istri, bahkan seperti
Mba Laras dan Mas Anton sudah menungguku di depan UGD rumah sakit. Sementara, Ibu sepertinya berada di dalam menemani Asih sebab tidak terlihat berada di sana."Asih kenapa?" tanyaku.Wajah Mba Laras tak begitu enak di pandang. Ada sesuatu yang membuat dia seperti itu, pastinya Asih berulah sampai dia kesal."Seharusnya kita tidak usah peduli. Bikin waktu Mba terbuang saja." Bukannya menjawab pertanyaanku, Mba Laras malah terus ngedumel."Ada apa, Mba?" Aku mencoba bertanya lagi."Temannya bilang, Asih di hajar orang," ujar Mas Anton.Mendengar itu, aku merasa geram. Siapa yang berani berbuat hal separah itu pada Asih, adikku."Siapa?""Nggak usah emosi, Asih yang salah. Lagian pacaran sama laki orang. Resiko dihajar istri sah sama anaknya. Heran, masih muda kok ada ya, pikiran jadi pelakor! Nggak ada otaknya!" Mba Laras terus saja mengumpat."Apa? Jadi, Asih jalan sa
POV AYUAku dan Mas Arfan menemui Pak Erik di kantornya. Namun, aku sama sekali tidak melihat Mas Damar. Ah, biarkan sajalah. Toh, kami sudah harus berpisah.Kedatanganku untuk meminta maaf pada Pak Erik tentang kejadian beberapa hari lalu. Memang dia bilang tidak masalah, tetapi kami merasa tidak enak.Mas Arfan pun mengajakku datang ke kantor itu. Walau beberapa orang menatap aneh, aku tak peduli. Mungkin masih masalah kemarin, sungguh Mas Damar membuat keributan yang sangat parah."Saya, kan sudah bilang nggak masalah Pak Arfan. Bukan Bu Ayu yang salah, tapi Damar yang salah," ujar Pak Erik."Saya tetap nggak enak, gara-gara adik ipar saya. Dan maaf juga karena saya nggak bilang kemarin, kalau Damar suami Ayu karena saya pikir tidak usahlah. Toh, mereka akan berpisah."Aku menyenggol Mas Arfan. Tidak usahlah masalah seperti itu dibahas. Lagi pula, tidak baik juga."Damar sudah mengundurk
"Bu, nggak masak?" Aku bertanya kala bangun tidur belum ada sarapan untukku.Malas pulang akhirnya memilih menginap di rumah ibu saja. Lagi pula pulang ke rumah pun tidak ada yang dirindukan. Kangen anak-anak juga. Mau bagaimana lagi, Ayu tetap kekeh meminta cerai."Bu, kok ditanya malah diam saja." Kembali aku menyapa Ibu."Kamu, kan belum kasih jatah bulan ini. Bagaimana bisa makan?""Emang masak mie atau beli nasi uduk aja nggak ada uang, Bu? Harus nunggu jatah bulanan gitu? Ibu tahu aku lagi nggak kerja." Kuambil uang di kantung, 2 lembar 10.000."Beli apa segini?" tanyanya dengan wajah kesal."Nasi uduk aja, dapat 4 kalau masih 5.000-an," jawabku asal.Tanpa menjawab ibu pergi dari hadapanku. Pusing juga kalau nasi uduk yang murah saja harus aku yang mengeluarkan uang. Duh, nasib otw bujang.Sejak tadi notifikasi grup alumni SMA tak kunjung berhenti. Sejenak aku tengok sudah 300